3/27/09


"Tuhan mungkin tidak pernah mengkotakkan manusia, justru manusialah yang selalu mengkotakkan dirinya sendiri," saya lupa siapa yang pernah mengatakan kalimat ini dengan persis. Mungkin Umar Kayam di satu bagian kecil novel legendarisnya Para Priyayi atau mungkin penulis lain atau bisa jadi ia cuma seseorang yang kebetulan pernah berbicara dengan saya. Kalimat ini adalah pernyataan yang paling saya rasakan dari kisah Romeo & Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare ratusan tahun lampau. Naskah yang versi panggungnya telah berulang kali dimainkan dan di era modern bentuk audio visualnya telah muncul di layar lebar beratus kali.

Once Upon a Time In Rio karya Breno Silveira adalah salah satunya. Saya menemukan film ini di katalog Hongkong International Film Festival yang menyejajarkannya dengan karya saya, Romeo Juliet. Intinya jika menyaksikan salah satunya, maka film lainnya direkomendasikan oleh kurator. Saya datang tanpa pretensi apa-apa, yang saya yakini adalah layaknya film-film asal Brasil lainnya, saya pastikan sekurangnya akan ada adegan sepakbola yang bisa muncul dalam bentuk apapun.

Dari situlah cerita digulirkan, jika versi Shakespeare dimulai dengan adegan adu pedang antara keluarga Capulet dan Montague, versi Luhrmann dengan baku tembak di pompa bensi antara kedua keluarga tadi dan versi saya dengan perkelahian jalanan antara Jakmania dan Viking, maka Bruno dengan cerdik memasukkan unsur lokalitasnya dalam filmnya. Sebuah adegan sepakbola jalanan antara dua geng penguasa favela yang dipuncaki dengan sebuah aksi kekerasan.

Saat kisah berjalan, kisah yang ditulis oleh Patricia Andrade ini kemudian berkelok dengan cerdik. Alih-alih berkisah tentang cinta terlarang antara dua geng, ia justru bergerak di antara dua status sosial. De (Thiago Martins) yang miskin serta tinggal di Favela yang jatuh cinta dan kemudian berbalas pada Nina (Vitoria Frate) yang kaya raya serta tinggal di Ipanema. Inilah kisah yang bagi saya tak hanya bersandarkan pada sebuah karya Shakesperean, tapi juga bergerak pada sebuah kisah prasangka kelas. Bagaimana kalangan bawah menganggap kalangan atas sebagai angkuh dan sebaliknya kelas atas yang sering menganggap kelas bawah sebagai kelas yang sangat tidak tahu tata krama serta praktis dekat dengan kriminalitas.

Dengan titik tolak seperti ini, film ini kemudian mampu bergerak lincah pada sebuah potret kehidupan sosial masyarakat Brasil saat ini. Kehidupan di Favela yang keras dan memang dekat dengan kriminalitas dan kehidupan kaum jet set yang memang selalu menjauhkan diri dari mereka yang tinggal di Favela. Dengan cerdik juga, adegan balkon yang legendaris itu berhasil dimasukkan tanpa harus merusak alur cerita (elemen penting dari Romeo & Juliet yang gagal saya adaptasi) De dan Nina kemudian menjadi sepasang kekasih yang buta, dua remaja yang juga memutuskan untuk menikah dan lari dari kehidupan mereka sebelumnya.

Namun, seperti kisah aslinya yang ditulis sekitar tahun 1610 ini, Once Upon a Time In Rio memilih untuk setia pada ending yang telah diciptakan oleh sang sastrawan besar. Ia bahkan dengan sempurna mampu membuat versinya sendiri dengan isi ketragisan yang bagi saya justru lebih kuat.

0 komentar: