9/15/06

Uruguay 2 – Indonesia 240

“Saya iri!” ujar Gustav Olden kepada Nicolas Ciganda. “Negeri kalian hanya berpenduduk 2 juta orang, tapi udah dua kali jadi juara dunia… sementara kami punya 9 juta orang tapi sekalipun belum pernah juara,” tambah anak muda asal Stockholm ini. Gustav adalah warga Swedia yang hari itu baru saja terpukul atas kekalahan timnasnya di babak kedua Piala Dunia di Jerman. Sementara Nicolas adalah lelaki asal Uruguay yang kali ini negerinya sama sekali tidak hadir di Jerman.
Saya berada di tengah-tengah mereka dan sempat menyergah, “Tapi Uruguay sudah terlalu lama tidak lagi jadi juara dunia?” Masih dengan segelas bir di tangannya, Gustav tersenyum pada saya, “Tak masalah, paling tidak mereka bisa bercerita bahwa mereka pernah jadi yang terbaik,” Dalam hati saya berpikir “Bagaimana dengan negara saya? Di sana ada sekitar 240 juta orang, dan tak sekalipun pernah lolos ke Piala Dunia (saya tidak menghitung kehadiran Dutch Indies di Perancis 1938, bagi saya saat itu belum ada konsep negara Indonesia)
Musim panas adalah musimnya karnaval, festival dan kegiatan-kegiatan luar ruang lainnya. Piala Dunia 2006 disebut sebagai “mother of all summer,” oleh masyarakat Eropa. Sementara itu, geliat tim panser juga membuat gairah masyarakat Jerman tiba-tiba melonjak setinggi langit.
“Finale… finale…” (dinyanyikan mirip dengan lagu Polare-nya Gypsy King) terdengar dimana-mana. Saya, Gustav, Nicolas, Alejandro (dari Mexico) dan Marc (asal Jerman) berada di bus yang sama dengan anak-anak muda yang terus bernyanyi “Finale… finale…” Gustav yang memang rajin tersenyum berteriak pada mereka “Dan kalian kalahkan kami, Swedia!” Saya menengok ke arahnya dan ia menyambung kalimatnya “Kami punya segalanya untuk bisa lebih dari sekedar menjadi finalis (1958), tapi sepakbola memang tidak adil,”
Benar, sepakbola adalah permainan paling tidak adil sedunia. Anda bisa bermain baik namun belum tentu bisa memenangkan permainan. Tanyakan pada Brasil yang memberikan keindahan di Spanyol 1982 atau Belanda di Jerman 1974, atau mungkin pada Zidane yang merasa terhina dan ‘membela kehormatan’ namun tetap diusir keluar lapangan.
Sepakbola juga tidak adil pada orang Asia, Indonesia misalnya, kurang lebih 240 juta manusia hidup menjadi warga di negeri ini. Setidaknya 48% diantaranya adalah lelaki dan katakanlah 20% diantaranya berada pada usia matang dan produktif. Kita tidak sendirian, Republik Rakyat Cina mungkin memiliki masalah yang sama dengan kita. Lima belas persen darai jumlah penduduk dunia adalah bangsa Cina, tapi pernahkah mereka menjadi jawara di lapangan sepakbola?
“Di olahraga kami yang terbaik di Asia dan mampu mengalahkan dunia, tapi di sepakbola kami bukan siapa-siapa,” ujar Ma Lin mantan penyerang tim negeri Tirai Bambu di era 1980-an. “Negeri yang mampu bergaul dengan dunia adalah negeri yang memiliki tim sepakbola yang kuat,” cetus para petinggi JAF (Federasi Sepakbola Jepang) saat meresmikan Japan League yang profesional penuh 13 tahun lampau.
Cina dan Jepang adalah raksasa di Asia. Geliat Cina secara ekonomi sanggup membuat orang Eropa menolehkan kepalanya pada mereka. Jepang tak perlu ditanya lagi, bahkan Amerika, Jerman dan banyak negeri Eropa Timur mengharapkan investasi dari mereka. Cukupkah menjadi digdaya secara ekonomi saja? Jepang menjawabnya dengan tidak.
Dibangunlah system berkepanjangan dengan target realistis, menghadirkan pemain berkelas dunia dan lolos ke Piala Dunia. Empat tahun lalu dunia melihat kiprah mereka tanpa sama sekali tampil memalukan. Cina memiliki masalah yang hampir sama dengan Indonesia, ekonomi yang berkembang lambat. Tapi itu dulu sekitar 24 tahun lalu, saat justru Indonesia dianggap sebagai macan ekonomi Asia. Berbanding terbalik dengan apa yang kita alami 24 tahun lalu, tim nasional mereka nyaris lolos ke Spanyo 1982 sebelum dihentikan oleh Selandia Baru (yang juga baru melumat kita dua kali).
Dengan kemauan mereka menata kekuatan sepakbola sekaligus ekonominya. Sementara kita malah melakukan hal sebaliknya. “Jangankan ekonomi, bahkan negara saja mungkin kami baru punya,” ujar Rafael Costa, pria kulit hitam asal Angola pada saya menjelang pertandingan Portugal melawan tim negerinya.
Angola dilanda perang saudara berkepanjangan, konon mereka malah sulit mencari lapangan sepakbola. Namun mereka mampu membina pemainnya dengan baik dan menerbangkan kebanyakan mereka ke Portugal dan beberapa Negara Eropa lainnya. Demikian juga dengan Pantai Gading, negeri ini baru saja lepas dari perang saudara, tapi lihat aksi mereka di groups of death, C.
Saya bisa jadi dianggap berlebihan karena secara fisik dan geografis orang-orang Afrika memang lebih tinggi dan besar dibanding kita. Tapi, saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ukuran tubuh bukan ukuran dalam sepakbola. Iran boleh bertubuh besar, berteknik tinggi dan sebagian pemainnya pernah bermain di tim nasional U-21 Jerman. Lihat apa yang Meksiko perbuat pada mereka di partai awal group D?
“Yusuf, seharusnya sekurangnya kita-kira ini mendengar kiprah Indonesia setidaknya di Piala Asia,” ujar Alejandro rekan dari Meksiko pencinta Pumas “Jika kamu benar Indonesia punya 240 juta penduduk, setidaknya sesuatu harus bisa dilakukan disana,” tambahnya.
Saya hanya mengangkat bahu dan tersenyum sembari menubrukkan gelas bir saya pada gelasnya. Terlalu malas untuk menjawab, yang pasti kalimat Gustav di awal tulisan ini seperti menendang kepala saya “Apa guna jumlah sumber daya manusia yang selalu diandalkan dalam setiap SWOT setiap kali orang Indonesia mendapat pelatihan ilmiah?”


1 komentar:

Anonymous said...

isinya menarik, tapi tampilan fontnya yg rapet2 itu bikin mata juling... bikin males baca ampe slese. (weitsss... eike udah baca sampe selesai waktu tulisan ini masih draft. jd tau isinya menarik).
gimana klo jarak antar paragraf direnggangin? pasti lbh nyam nyam!
jjj