11/12/06

Menghargai Sepakbola

“Kamu mau nonton bola bareng Riz???” wajah Toth Peter terheran-heran, “Dia itu hooligan!” tambahnya. Peter tentu heran, Ia sudah heran saat saya bilang akan pergi ke stadion menyaksikan pertandingan dua tim yang—saat itu—menyebut namanya saja saya tidak bisa.

Siapa Riz? Dia adalah asisten editor di rumah produksi yang mempekerjakan saya di Budapest. Riz selalu menolak masuk kantor di hari timnya bertanding, “Saya pernah ke Roma menyaksikan Kispest melawan Lazio sepuluh tahun lalu,” ujarnya bangga.

Saya tiba lebih cepat di kandang Kispest, sekitar dua jam sebelum pertandingan dan menemukan Riz sedang bersiap menjadi dirigen para supporter. Di stadion yang berkapasitas hanya 8000 orang ini saya bertemu dengan pendukung setia Kispest yang siap dengan atribut suporternya. Tak satupun dari mereka bisa berbahasa Inggris, Riz pun bisa tergolong terbata-bata. Komunikasi yang kami lakukan tak jauh dari bahasa tarsan dan sepakbola.

“Apakah orang Indonesia bermain sepakbola?” Tanya mereka, sambil bercerita betapa hebatnya tim Magic Magyars di era 50-an. Saya selalu membalas dengan “Kami pernah tahan Uni Sovyet tahun 1956!” Satu hari setelah pertandingan semua orang di studio bagai gempar saat tahu saya pergi nonton sepakbola bersama “Bunches of hooligan,”

Seperti di negeri saya, di Hongaria sepakbola hanya orang-orang gila yang pergi ke stadion menyaksikan tim kesayangannya. “Tak ada yang bisa dibanggakan dari sepakbola Hongaria,” kisah Horvath Miklos, kalimat yang sering sekali saya jumpai di Jakarta. “Biasanya cuma orang kampung yang nonton liga lokal disini,” tambahnya.

Sepakbola adalah olahraga kaum pekerja, industri sepakbola modern lah yang mengubah segalanya. Jika pada dasarnya sepakbola tidak mengenal batas kelas di Indonesia yang terjadi adalah kebalikannya. Pertentangan antar kelas yang terjadi di masyarakat terbawa sampai ke minat pada sepakbola. Pencinta Liga Eropa akan terangkat stratanya ke atas, sebaliknya dengan pencinta Liga Indonesia.

Saya merasakannya suatu malam di Jakarta. Sekelompok supporter sepakbola Indonesia yang datang ke sebuah bioskop kelas atas di sebuah pusat kesenian di ibukota disambut kurang arif oleh sosok yang saat itu sebenarnya sedang mewakili sebuah festival film berskala nasional. “Film adalah karya seni, seni itu harus dihargai dan diapresiasi, jangan diteriaki atau diberi komentar yang menyinggung, kadang tidak semua seni bisa diapresiasi karena seni itu kompleks,” begitu kira-kira ucapan si pembawa acara yang berdiri di ruang studio bernuansa merah tersebut.

Bisa jadi ia salah bicara, tapi bagi saya dan mereka yang kemudian walk out setelah film yang mereka inginkan selesai kalimat tersebut sama dengan ingin berkata “Sori, ini seni, saya tak yakin kalian mengerti jadi tolong jangan berisik ya,” atau menurut seorang pencinta sepakbola Indonesia yang beranjak keluar “Sama aja dia mau bilang, ‘kalo gak ngerti jangan datang ya’,” ujarnya ketus sambil ngeloyor tidak menyelesaikan rangkaian film pendek di acara tersebut.

Saya yang merasa “teman-teman” saya diremehkan langsung protes langsung pada Direktur Festival keesokan harinya, dan saya bersyukur masih ada jiwa besar di negeri ini untuk berkata “Maaf,” tanpa perlu perdebatan soal siapa yang kampungan atau siapa yang kotaan.

Bagi saya, sepakbola adalah seni yang tinggi, produk budaya modern yang memassal. Masalahnya, perbedaan selera dan status sosial menjerumuskan manusia untuk tidak menghargainya.

dimuat di majalah freeKICK! edisi Desember 2006


0 komentar: