“Kamu mau nonton bola bareng Riz???” wajah Toth Peter terheran-heran, “Dia itu hooligan!” tambahnya. Peter tentu heran, Ia sudah heran saat saya bilang akan pergi ke stadion menyaksikan pertandingan dua tim yang—saat itu—menyebut namanya saja saya tidak bisa.
Siapa Riz? Dia adalah asisten editor di rumah produksi yang mempekerjakan saya di
Saya tiba lebih cepat di kandang Kispest, sekitar dua jam sebelum pertandingan dan menemukan Riz sedang bersiap menjadi dirigen para supporter. Di stadion yang berkapasitas hanya 8000 orang ini saya bertemu dengan pendukung setia Kispest yang siap dengan atribut suporternya. Tak satupun dari mereka bisa berbahasa Inggris, Riz pun bisa tergolong terbata-bata. Komunikasi yang kami lakukan tak jauh dari bahasa tarsan dan sepakbola.
“Apakah orang Indonesia bermain sepakbola?” Tanya mereka, sambil bercerita betapa hebatnya tim Magic Magyars di era 50-an. Saya selalu membalas dengan “Kami pernah tahan Uni Sovyet tahun 1956!” Satu hari setelah pertandingan semua orang di studio bagai gempar saat tahu saya pergi nonton sepakbola bersama “Bunches of hooligan,”
Seperti di negeri saya, di Hongaria sepakbola hanya orang-orang gila yang pergi ke stadion menyaksikan tim kesayangannya. “Tak ada yang bisa dibanggakan dari sepakbola Hongaria,” kisah Horvath Miklos, kalimat yang sering sekali saya jumpai di
Sepakbola adalah olahraga kaum pekerja, industri sepakbola modern lah yang mengubah segalanya. Jika pada dasarnya sepakbola tidak mengenal batas kelas di
Saya merasakannya suatu malam di
Bisa jadi ia salah bicara, tapi bagi saya dan mereka yang kemudian walk out setelah film yang mereka inginkan selesai kalimat tersebut sama dengan ingin berkata “Sori, ini seni, saya tak yakin kalian mengerti jadi tolong jangan berisik ya,” atau menurut seorang pencinta sepakbola Indonesia yang beranjak keluar “Sama aja dia mau bilang, ‘kalo gak ngerti jangan datang ya’,” ujarnya ketus sambil ngeloyor tidak menyelesaikan rangkaian film pendek di acara tersebut.
Saya yang merasa “teman-teman” saya diremehkan langsung protes langsung pada Direktur Festival keesokan harinya, dan saya bersyukur masih ada jiwa besar di negeri ini untuk berkata “Maaf,” tanpa perlu perdebatan soal siapa yang kampungan atau siapa yang kotaan.
Bagi saya, sepakbola adalah seni yang tinggi, produk budaya modern yang memassal. Masalahnya, perbedaan selera dan status sosial menjerumuskan manusia untuk tidak menghargainya.
0 komentar:
Post a Comment