1/11/07


Seteleh 20 jam berharap bisa cepat sampai, akhirnya saya tiba di Nabire, tujuan utama perjalanan ke Papua ini. Praktis saya tidur berat sepanjang perjalanan Biak-Nabire, tentu bukan karena pesawatnya nyaman, tapi memang karena saya kurang tidur. Pemberhentian di Biak gagal saya pakai untuk jalan-jalan keliling kota karena capek, mau tidur di bandara malah main game laknat bernama Football Manager 2007!!!

Kita mundur dulu sedikit. Dari Jakarta pesawat saya sudah tunda sampai dua jam, lalu di Surabaya pesawat selanjutnya juga tunda yang untungnya hanya 30 menit. Di Makassar tak ada masalah karena semua berjalan cepat dan saya langsung minggat ke Biak hanya dalam waktu tunggu normal. Nah….di Biak inilah penundaan berjalan mantap, nyaris lima jam dari waktu seharusnya, itu tidak termasuk waktu tunggu saya ke jadwal seharusnya yang memakan sampai 6 jam!!!!

Nabire kota kecil yang memukau, letaknya (katanya) tepat di leher pulau Papua yang besar itu. Posisinya sangat menyenangkan, pantai disana-sini, kerinduan saya terhadap pantai terbayar (walau belum lunas). Tiap hari saya berlari dari satu pantai ke pantai yang lain, anda saja saya tahu ada sepeda di rumah sudah pasti saya akan bersepeda ke pantai.

Sejak pergi ke Eropa sekitar 1 tahun lalu, saya tidak pernah melihat pantai. Teman-teman di Budapest selalu mengajak saya ke pantai yang ternyata cuma pinggi kali Danube. Saya mencintai hidup saya di Eropa saat saya merasa seperti manusia yang bisa menikmati segalanya, tapi di Papua saya menemukan bahwa kecintaan saya pada hidup dan keteraturan juga bisa saya dapatkan.
Orang menyeberang jalan hanya saat lampu hijau menyala, kendaraan bergerak hanya saat lampu hijau menyala. Orang-orang Papua yang berjalan kaki sangat tertib, sekali dua kali saya melihat pengendara mobil nyaris berkelahi tapi bagi saya hal itu lumrah dan biasa terjadi bahkan di Eropa sekalipun. Di Jakarta saya menemukan keributan serupa tapi sering diakibatkan oleh hal-hal yang tidak penting. Pengendara motor yang dengan kurang ajarnya merasa memiliki jalanan atau bajaj yang seenaknya menyerobot dan pemilik mobil yang tak lebih pintar dari mesin mobilnya adalah penyebab utama.

Pantai di Nabire terserak dari timur ke barat, saya sempat menyeberangi pulau menuju sebuah pulau kecil bernama Pulau Babi. Alih-alih banyak babi, saya malah menemukan banyak kambing! Pulau ini mungkin sudah tidak perawan, tapi pantainya masih bersih dan kuning, air di pantainya masih tembus pandang sampai ke dasar. Kecipak kecipuk air saya mainkan di pantai Pulau Babi, sangat menyenangkan dan mengasyikkan.

Saya jadi teringat ucapan Michael Mandl seorang kawan dari Jerman saat saya berada di Regensburg beberapa tahun lalu “So you can’t swim, but you’re Indonesian, how come?” Malu juga rasanya jadi orang Indonesia yang negerinya dikelilingi air tapi tak bisa berenang.

0 komentar: