"Indonesia is the weirdest country I ever visited," kata Pierre Caule. Dia bukan satu kali itu saja datang ke Jakarta, dalam kurun 16 tahun terakhir dia sudah mengunjungi Indonesia selama 5 kali, 2 kali ke Jakarta, 1 kali ke Kalimantan, 1 kali ke Bali dan sisanya ke Yogyakarta. Saya setuju pada pendapatnya, negeri saya adalah negeri yang dahsyat. Di Sumatra, di bawah tanah dan di atas pohon berserakan minyak yang bisa dengan mudah dijual. Di Kalimantan ada jutaan pohon yang siap dijadikan barang ekspor segala produk kayu, di Papua ada emas yang sanggup membuat siapapun meneteskan ilernya sepanjang hari. Lalu di Aceh, Bali, Sulawesi dan lautan Indonesia ada banyak kekayaan alam dan kekayaan pemandangan yang bisa diolah jadi kekayaan negara.
"Andai saja
negeri ini bener diurusnya, Amerika Serikat dijamin lagi ngutang sama kita," ujar saya beberapa kali. Kawan sepeminuman saya Aheng Suhendar pun pernah berkata "Bisa jadi malah kita yang sekarang lagi nyerang Irak," umbarnya.
Well....Indonesia negeri yang dahsyat tapi siapa yang akhirnya menikmati kekayaan-kekayaan tersebut? Emas Papua lenyap entah kemana, kayu-kayu di Kalimantan lebih gaib lagi sifatnya, minyak di Sumatra cuma memenuhi cerita-cerita di buku-buku pelajaran sekolah dan bahkan Bali yang dahsyat itu sering kalah keren di mata orang Eropa dibanding Thailand misalnya.
Itu dalam skala besar, karena Indonesia memang terlalu besar untuk dibicarakan "Indonesia terlalu besar, jadi ngurusnya susah," jelas Jaidi Sahar orang Malaysia teman saya, jika kalimat ini keluar dari bangsa sendiri saya pasti diam, tapi karena dia bangsa lain tentu saja saya bete.
Di skala kecil saja, saya mengenal Jakarta seperti saya mengenal dialog-dialog dalam film The Jak.
Di ibukota negeri ini saya lahir dan besar, hanya sedikit saja interval hidup saya dihabiskan di Bandung, Jambi, London dan Budapest. Saya memahami lekuk Jakarta sampai saya tidak membutuhkan lagi peta untuk mencari jalan-jalan sampai sejauh level 3 kota ini (kalo nama jalannya Jl Anggrek Gg II Rt 03 Rw 05, wah....nyerah deh) Jadi, saya tahu pasti kalau di Jakarta inilah Belanda menanamkan pengaruh mereka yang sebenarnya. Kota ini mereka dirikan, bangun dan kembangkan sesuai dengan pemahaman mereka atas apa itu air, apa kelebihannya dan bagaimana menanggulangi.
Belanda adalah bangsa yang ratusan tahun hidup di tanah dengan permukaan tanah lebih rendah daripada laut. Di semua kota di negeri itu dibangun kanal-kanal dan bendungan untuk menghalau air. Konon sekitar 1500 tahun lampau nenek moyang mereka terusir dari pegunungan Jerman menuju tanah tersisa di sudut Eropa ini. Pada abad ke 17 mereka datang ke Nusantara dan menguasai perdagangan di wilayah ini sampai tahun 1942.
Mereka membangun Jakarta dengan cermat, mereka menyiapkan masterplan yang matang agar Jakarta bebas dari banjir dan bisa menyerupai Amsterdam.
Stasiun Kota mereka bangun dengan tingkat kemiripan tinggi dengan stasiun di Amsterdam, bahkan saya yakin format bangunan di sekitarnya pun mereka "curi" dari kampung halaman mereka. Di masa Belanda berdiam di Jakarta, situasi pun tak beda jauh, Nusantara adalah Nusantara, the ring of fire yang memang sudah rajin bergolak dari jutaan tahun lampau. Ledakan besar di Sumatra telah menciptakan Danau Toba, letusan Krakatau memisahkan Jawa dan Sumatra. Well....mereka bisa menanggulanginya dan i
tu dilakukannya di masa lalu.
Hari ini saat kita sudah kenal internet, telepon genggam, ipod dan berjuta perangkat elektronik lainnya, lalu kenapa harus menyerah pada sekedar hujan yang jika hari panas terik.
Saya jadi membayangkan, apa kira-kira yang akan disampaikan oleh Gubernur Jendral Jakarta 100 tahun lalu tentang musim hujan. Bandingkan dengan apa yang disampaikan oleh pajabat Pemda DKI masa kini "Musim hujan sudah tiba, siapkan diri Anda dari bencana banjir,"
Lho....bukannya coba menghalangi banjir kok malah minta kita siap-siap sendiri???
"Andai saja

Well....Indonesia negeri yang dahsyat tapi siapa yang akhirnya menikmati kekayaan-kekayaan tersebut? Emas Papua lenyap entah kemana, kayu-kayu di Kalimantan lebih gaib lagi sifatnya, minyak di Sumatra cuma memenuhi cerita-cerita di buku-buku pelajaran sekolah dan bahkan Bali yang dahsyat itu sering kalah keren di mata orang Eropa dibanding Thailand misalnya.
Itu dalam skala besar, karena Indonesia memang terlalu besar untuk dibicarakan "Indonesia terlalu besar, jadi ngurusnya susah," jelas Jaidi Sahar orang Malaysia teman saya, jika kalimat ini keluar dari bangsa sendiri saya pasti diam, tapi karena dia bangsa lain tentu saja saya bete.
Di skala kecil saja, saya mengenal Jakarta seperti saya mengenal dialog-dialog dalam film The Jak.
Di ibukota negeri ini saya lahir dan besar, hanya sedikit saja interval hidup saya dihabiskan di Bandung, Jambi, London dan Budapest. Saya memahami lekuk Jakarta sampai saya tidak membutuhkan lagi peta untuk mencari jalan-jalan sampai sejauh level 3 kota ini (kalo nama jalannya Jl Anggrek Gg II Rt 03 Rw 05, wah....nyerah deh) Jadi, saya tahu pasti kalau di Jakarta inilah Belanda menanamkan pengaruh mereka yang sebenarnya. Kota ini mereka dirikan, bangun dan kembangkan sesuai dengan pemahaman mereka atas apa itu air, apa kelebihannya dan bagaimana menanggulangi.
Belanda adalah bangsa yang ratusan tahun hidup di tanah dengan permukaan tanah lebih rendah daripada laut. Di semua kota di negeri itu dibangun kanal-kanal dan bendungan untuk menghalau air. Konon sekitar 1500 tahun lampau nenek moyang mereka terusir dari pegunungan Jerman menuju tanah tersisa di sudut Eropa ini. Pada abad ke 17 mereka datang ke Nusantara dan menguasai perdagangan di wilayah ini sampai tahun 1942.
Mereka membangun Jakarta dengan cermat, mereka menyiapkan masterplan yang matang agar Jakarta bebas dari banjir dan bisa menyerupai Amsterdam.
Stasiun Kota mereka bangun dengan tingkat kemiripan tinggi dengan stasiun di Amsterdam, bahkan saya yakin format bangunan di sekitarnya pun mereka "curi" dari kampung halaman mereka. Di masa Belanda berdiam di Jakarta, situasi pun tak beda jauh, Nusantara adalah Nusantara, the ring of fire yang memang sudah rajin bergolak dari jutaan tahun lampau. Ledakan besar di Sumatra telah menciptakan Danau Toba, letusan Krakatau memisahkan Jawa dan Sumatra. Well....mereka bisa menanggulanginya dan i

Hari ini saat kita sudah kenal internet, telepon genggam, ipod dan berjuta perangkat elektronik lainnya, lalu kenapa harus menyerah pada sekedar hujan yang jika hari panas terik.
Saya jadi membayangkan, apa kira-kira yang akan disampaikan oleh Gubernur Jendral Jakarta 100 tahun lalu tentang musim hujan. Bandingkan dengan apa yang disampaikan oleh pajabat Pemda DKI masa kini "Musim hujan sudah tiba, siapkan diri Anda dari bencana banjir,"
Lho....bukannya coba menghalangi banjir kok malah minta kita siap-siap sendiri???
1 komentar:
ceuk aing mah.... banjir teh.... pedah manusia terlalu banyak memikirkan keseimbangan duniawi dan akherat... dan telah melupakan keseimbangan alam.... zikir boleh banyak tapi buanglah sampah pada tempatnya....
Post a Comment