"Kalau kata-kata sudah habis, tiada jalan lain....TURUN KE JALAN!!!" ujar Rama Ardana berapi-api. Kalimat itu tidak ia ucapkan kemarin sore atau jauh dari kemarin, tapi sangat jauh di suatu masa ketika saya masih SMA. Seingat saya hari itu tahun masih menunjukkan angka 1988, dan Rama ataupun saya sama-sama belum genap 2 bulan bersekolah di tempat yang sama. Kami anak-anak bercelana abu-abu yang baru saja selesai dibekali penataran Pancasila yang saat itu memang bagai lebih dahsyat dari ucapan ulama sekalipun.
Turun ke jalan? Kata-kata dia saat itu saya cerna semakin baik saat saya mulai berkuliah dan saya nyaris selalu jadi bagian aksi-aksi demo di Bandung. Apakah saya turun ke jalan? Kadang iya dan banyak sekali tidaknya, karena saya adalah bagian dari produk yang sebenarnya sudah apatis. Bagi saya saat itu "Apalah artinya kebanyakan ngejerit di jalan kalau di dengar saja tidak," Toh sikap itu kadang adalah bagian dari sikap bimbang saya, apakah benar turun ke jalan adalah kegiatan kurang kerjaan, ataukah memang di suatu hari akan mengubah sesuatu?
Tahun 1998, saat nyaris seluruh mahasiswa turun ke jalan meneriakkan reformasi dan militer tiba-tiba membuka lapang segala kesempatan berdemo, duduk-duduk di atap gedung parlemen, ngesex dan membuang kondom sembarangan di ruang-ruang parlemen sampai juga membiarkan satu hari penuh pembakaran di ibukota....saat itulah saya sempat berpikir "Apa iya turun ke jalan memang satu-satunya cara?"
Pertanyaan itu saya cabut hanya beberapa menit setelah Suharto turun dari singgasananya dan tak ada satupun hal terjadi pada dirinya. Saya tidak percaya bahwa kita sudah terlalu baik dengan membiarkan mantan penguasa itu berleha-leha menikmati masa tuanya, saya tidak percaya! Nyaris tiada hari kemudian saya lewatkan dengan teriakan-teriakan meminta agar dirinya dibawa ke pengadilan bahkan permintaan agar ia langsung digantung saja. Terlaksana? Tentu saja tidak, karena katanya negeri ini negeri hukum, padahal siapapun yang pernah berurusan dengan hukum dan birokrasi tentu tahu pasti bahwa semua ada biayanya.
Waktu terus berjalan dan semakin sering saya lihat aksi demo turun ke jalan, tergerakkah saya untuk ikutan? Boro-boro, justru saya selalu berpikir "Apakah orang-orang ini yakin suara mereka didengar?" Lebih parah lagi, saya sering berpikir "Berapaan ya biaya menggerakkan massa satu metro mini kayak gini?"
Kejamkah tuduhan saya? Saya yakin tidak, saya tidak melihat wajah penuh api saat mereka meneriakkan keadilan di sebuah Pilkada, pemberangusan majalah Playboy, pengrusakan tempat-tempat ibadah atau tempat-tempat hiburan, saya juga tidak melihat gairah yang penuh rasa dan emosi saat para pendemo ini membawa-bawa nama Tuhan agar pembenaran diberikan pada mereka.
Saya juga berpikir, apa iya pemerintah memikirkan kita? Saya kok gak yakin ya. Anda boleh saja yakin, tapi saya sudah berhenti untuk yakin. Mana mungkin seorang gubernur tahu bahwa warga Jakarta ini sengsara dalam macet jika untuk nonton bola di Lebak Bulus aja Bapak Gubernur ini cuma mau naek helikopter. Manalah dia tahu kalau rumah-rumah ini kebanjiran kalau pas hari banjir dia malah di rumah dan datang cuma ke tempat-tempat yang sudah masuk kategori mendingan, manalah pejabat lainnya tahu kalau macet itu nyebelin dan bisa membuat orang mudah membunuh orang lain kalau lewat jalan raya aja mereka bawa-bawa voorrijder. Belum lagi kita-kita ini disuruh bayar pajak lalu disuruh mengawasi sendiri, bukankah sebagian uang pajak kita itu untuk menggaji para pengawas kejahatan penyalah gunaan uang pajak???

Lalu, kalau sudah tidak percaya pada pemerintah, pada sistem dan sebagainya, buat apa lagi turun ke jalan dan berdemo? Itu kata saya......................sampai suatu hari saya menerima ajakan untuk ikut berdemo bersama para Aremania yang datang khusus dari Malang menuju Jakarta dan semua demi sepakbola, demi sesuatu yangn saya anggap sangat besar.
Saya tergerak untuk ikut, saya percaya bahwa sepakbola adalah harapan terakhir bangsa ini untuk bisa hidup. Kita sudah tidak punya kekayaan alam, minta ganti rugi pada para malingnya sudah tidak bisa. Kita juga sudah tidak punya lagi harapan untuk dalam waktu dekat mampu mengentaskan kemiskinan yang urusannya memang sangat kompleks. Tapi, jika sepakbola kita maju maka kita bisa berkata pada dunia bahwa "Kita Adalah Bagian Dari Dunia,"
Siapa kenal Togo sebelum nama Adebayor menggema di Arsenal, bahkan jalanan aspal saja mereka tidak punya karena sibuk berperang antar sesama. Siapa tahu letak Trinidad & Tobago sampai mereka mampu merepotkan Inggris di Piala Dunia lalu, siapalah yang akan pernah tahu Kroasia di peta dunia jika mereka tidak pernah mencatatkan sejarahnya di Piala Dunia.
Saya memang tidak datang siang itu, tapi saya mampir ke Bulungan dan bertemu beberapa teman Aremania dan melihat harapan besar di wajah mereka, harapan yang pastinya sama dengan saya, dengan Anda dan juga kalian-kalian siapapun yang berpaspor Indonesia.
Kita sama sekali tidak minta negeri ini jadi juara dunia, mimpi saja saya males. Apalah artinya tim sepakbola Indonesia dibanding kekuatan-kekuatan mapan macam Brasil, Italia atau Inggris yang gak lolos itu sekalipun. Bahkan bagi Asia saja kita ini bukan apa-apa. Kami cuma minta semua berjalan sesuai norma dan aturan, sudah cukuplah kita digerusi urusan korupsi yang tidak pernah berhenti ini, cukuplah sudah suap menyuap, penyerobotan hak dan pemaksaan kehendak ada dalam peta politik kita, biarkan budaya itu tumbuh disana.....dan jangan pernah merusak sepakbola.
Tanpa sepakbola orang-orang Argentina sudah mati pada 2002, apa yang mereka punya hari itu kecuali harapan untuk melihat timnya berprestasi baik di Korea-Jepang 2002. ATM mereka hari itu tiada lagi beruang, kantong mereka tipis, jalan-jalan di Buenos Aires sepi karena semua ketakutan untuk keluar rumah. Mereka berterima kasih pada sepakbola yang kemudian membuat para penjahat dan penjarah dan koruptor semua bersatu mendukung Batistuta dkk. Saat mereka gagal di babak penyisihan, mereka memaklumi dan percaya bahwa semua sudah berjalan sesuai apa yang seharusnya terjadi.
Malam itu di Bulungan, saya melihat wajah-wajah penuh harap, orang-orang yang memancarkan ketulusan akan sebuah perubahan, orang-orang Indonesia yang ingin ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari negerinya selain kebanggaan semu yang dulu diajarkan di kelas penataran Pancasila. Saya melihat mata mereka, lelah, tapi harapan penuh membuncah.
Saat saya menerima kiriman foto-foto aksi mereka, saya melihat wajah-wajah itu sama sekali menunjukkan rasa yang berbeda dengan para pengusung agama. Nyala api di mata mereka menggambarkan keinginan besar untuk cita-cita besar, bukan untuk sekedar rupiah. Pertama kalinya bagi saya untuk merasa menyesal tidak bisa datang siang itu, karena saya tahu kebanyakan orang Jakarta sudah tidak peduli lagi (sama seperti saya di hari-hari biasa). Orang Jakarta sudah dininabobokan oleh kemacetan, banjir, jalanan rusak dan mall-mall semu itu, sampai kami lupa bahwa perubahan memang musti terjadi dan sepakbola semoga bisa memulainya.
"Kaki-kaki saya sudah letih berlari, tapi saya tidak ingin menyerah, saya malu jika harus pulang kampung dengan kekalahan, bangsa kami sedang terpuruk dan seharusnya kami pulang dengan kebanggaan," ujar Batistuta sembari menangis setelah mereka ditaklukkan Swedia 0-1. Lalu apa jawab Argentina? "Kami melihat mereka melakukannya dengan hati, kami percaya pada upaya yang mereka buat, kami melihat mereka mencoba yang terbaik, kami tidak malu dan akan segera bangkit," tulis sebuah surat dari Martiana Sanchez, ibu rumah tangga di pinggiran Buenos Aires.
Itulah yang kami inginkan, upaya dan keinginan baik......bukan gelar juara, semua bisa datang dengan sendirinya.
Turun ke jalan? Kata-kata dia saat itu saya cerna semakin baik saat saya mulai berkuliah dan saya nyaris selalu jadi bagian aksi-aksi demo di Bandung. Apakah saya turun ke jalan? Kadang iya dan banyak sekali tidaknya, karena saya adalah bagian dari produk yang sebenarnya sudah apatis. Bagi saya saat itu "Apalah artinya kebanyakan ngejerit di jalan kalau di dengar saja tidak," Toh sikap itu kadang adalah bagian dari sikap bimbang saya, apakah benar turun ke jalan adalah kegiatan kurang kerjaan, ataukah memang di suatu hari akan mengubah sesuatu?
Tahun 1998, saat nyaris seluruh mahasiswa turun ke jalan meneriakkan reformasi dan militer tiba-tiba membuka lapang segala kesempatan berdemo, duduk-duduk di atap gedung parlemen, ngesex dan membuang kondom sembarangan di ruang-ruang parlemen sampai juga membiarkan satu hari penuh pembakaran di ibukota....saat itulah saya sempat berpikir "Apa iya turun ke jalan memang satu-satunya cara?"

Pertanyaan itu saya cabut hanya beberapa menit setelah Suharto turun dari singgasananya dan tak ada satupun hal terjadi pada dirinya. Saya tidak percaya bahwa kita sudah terlalu baik dengan membiarkan mantan penguasa itu berleha-leha menikmati masa tuanya, saya tidak percaya! Nyaris tiada hari kemudian saya lewatkan dengan teriakan-teriakan meminta agar dirinya dibawa ke pengadilan bahkan permintaan agar ia langsung digantung saja. Terlaksana? Tentu saja tidak, karena katanya negeri ini negeri hukum, padahal siapapun yang pernah berurusan dengan hukum dan birokrasi tentu tahu pasti bahwa semua ada biayanya.
Waktu terus berjalan dan semakin sering saya lihat aksi demo turun ke jalan, tergerakkah saya untuk ikutan? Boro-boro, justru saya selalu berpikir "Apakah orang-orang ini yakin suara mereka didengar?" Lebih parah lagi, saya sering berpikir "Berapaan ya biaya menggerakkan massa satu metro mini kayak gini?"
Kejamkah tuduhan saya? Saya yakin tidak, saya tidak melihat wajah penuh api saat mereka meneriakkan keadilan di sebuah Pilkada, pemberangusan majalah Playboy, pengrusakan tempat-tempat ibadah atau tempat-tempat hiburan, saya juga tidak melihat gairah yang penuh rasa dan emosi saat para pendemo ini membawa-bawa nama Tuhan agar pembenaran diberikan pada mereka.
Saya juga berpikir, apa iya pemerintah memikirkan kita? Saya kok gak yakin ya. Anda boleh saja yakin, tapi saya sudah berhenti untuk yakin. Mana mungkin seorang gubernur tahu bahwa warga Jakarta ini sengsara dalam macet jika untuk nonton bola di Lebak Bulus aja Bapak Gubernur ini cuma mau naek helikopter. Manalah dia tahu kalau rumah-rumah ini kebanjiran kalau pas hari banjir dia malah di rumah dan datang cuma ke tempat-tempat yang sudah masuk kategori mendingan, manalah pejabat lainnya tahu kalau macet itu nyebelin dan bisa membuat orang mudah membunuh orang lain kalau lewat jalan raya aja mereka bawa-bawa voorrijder. Belum lagi kita-kita ini disuruh bayar pajak lalu disuruh mengawasi sendiri, bukankah sebagian uang pajak kita itu untuk menggaji para pengawas kejahatan penyalah gunaan uang pajak???
Lalu, kalau sudah tidak percaya pada pemerintah, pada sistem dan sebagainya, buat apa lagi turun ke jalan dan berdemo? Itu kata saya......................sampai suatu hari saya menerima ajakan untuk ikut berdemo bersama para Aremania yang datang khusus dari Malang menuju Jakarta dan semua demi sepakbola, demi sesuatu yangn saya anggap sangat besar.
Saya tergerak untuk ikut, saya percaya bahwa sepakbola adalah harapan terakhir bangsa ini untuk bisa hidup. Kita sudah tidak punya kekayaan alam, minta ganti rugi pada para malingnya sudah tidak bisa. Kita juga sudah tidak punya lagi harapan untuk dalam waktu dekat mampu mengentaskan kemiskinan yang urusannya memang sangat kompleks. Tapi, jika sepakbola kita maju maka kita bisa berkata pada dunia bahwa "Kita Adalah Bagian Dari Dunia,"
Siapa kenal Togo sebelum nama Adebayor menggema di Arsenal, bahkan jalanan aspal saja mereka tidak punya karena sibuk berperang antar sesama. Siapa tahu letak Trinidad & Tobago sampai mereka mampu merepotkan Inggris di Piala Dunia lalu, siapalah yang akan pernah tahu Kroasia di peta dunia jika mereka tidak pernah mencatatkan sejarahnya di Piala Dunia.
Saya memang tidak datang siang itu, tapi saya mampir ke Bulungan dan bertemu beberapa teman Aremania dan melihat harapan besar di wajah mereka, harapan yang pastinya sama dengan saya, dengan Anda dan juga kalian-kalian siapapun yang berpaspor Indonesia.
Kita sama sekali tidak minta negeri ini jadi juara dunia, mimpi saja saya males. Apalah artinya tim sepakbola Indonesia dibanding kekuatan-kekuatan mapan macam Brasil, Italia atau Inggris yang gak lolos itu sekalipun. Bahkan bagi Asia saja kita ini bukan apa-apa. Kami cuma minta semua berjalan sesuai norma dan aturan, sudah cukuplah kita digerusi urusan korupsi yang tidak pernah berhenti ini, cukuplah sudah suap menyuap, penyerobotan hak dan pemaksaan kehendak ada dalam peta politik kita, biarkan budaya itu tumbuh disana.....dan jangan pernah merusak sepakbola.
Tanpa sepakbola orang-orang Argentina sudah mati pada 2002, apa yang mereka punya hari itu kecuali harapan untuk melihat timnya berprestasi baik di Korea-Jepang 2002. ATM mereka hari itu tiada lagi beruang, kantong mereka tipis, jalan-jalan di Buenos Aires sepi karena semua ketakutan untuk keluar rumah. Mereka berterima kasih pada sepakbola yang kemudian membuat para penjahat dan penjarah dan koruptor semua bersatu mendukung Batistuta dkk. Saat mereka gagal di babak penyisihan, mereka memaklumi dan percaya bahwa semua sudah berjalan sesuai apa yang seharusnya terjadi.
Malam itu di Bulungan, saya melihat wajah-wajah penuh harap, orang-orang yang memancarkan ketulusan akan sebuah perubahan, orang-orang Indonesia yang ingin ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari negerinya selain kebanggaan semu yang dulu diajarkan di kelas penataran Pancasila. Saya melihat mata mereka, lelah, tapi harapan penuh membuncah.
Saat saya menerima kiriman foto-foto aksi mereka, saya melihat wajah-wajah itu sama sekali menunjukkan rasa yang berbeda dengan para pengusung agama. Nyala api di mata mereka menggambarkan keinginan besar untuk cita-cita besar, bukan untuk sekedar rupiah. Pertama kalinya bagi saya untuk merasa menyesal tidak bisa datang siang itu, karena saya tahu kebanyakan orang Jakarta sudah tidak peduli lagi (sama seperti saya di hari-hari biasa). Orang Jakarta sudah dininabobokan oleh kemacetan, banjir, jalanan rusak dan mall-mall semu itu, sampai kami lupa bahwa perubahan memang musti terjadi dan sepakbola semoga bisa memulainya.
"Kaki-kaki saya sudah letih berlari, tapi saya tidak ingin menyerah, saya malu jika harus pulang kampung dengan kekalahan, bangsa kami sedang terpuruk dan seharusnya kami pulang dengan kebanggaan," ujar Batistuta sembari menangis setelah mereka ditaklukkan Swedia 0-1. Lalu apa jawab Argentina? "Kami melihat mereka melakukannya dengan hati, kami percaya pada upaya yang mereka buat, kami melihat mereka mencoba yang terbaik, kami tidak malu dan akan segera bangkit," tulis sebuah surat dari Martiana Sanchez, ibu rumah tangga di pinggiran Buenos Aires.
Itulah yang kami inginkan, upaya dan keinginan baik......bukan gelar juara, semua bisa datang dengan sendirinya.
5 komentar:
yahh... kami melakukan dengan hati...
dan yang dilakukan kawan kawan kemarin termasuk juga saya adalah gerakan yang murni dari hati.... kami gak membawa nama kelompok.. kami gak membawa nama daerah... ini murni dari hati untuk kembali mengakkan indonesa di kancah sepak bola.
BUAT ORANG2 YANG SUDAH TIDAK PUNYA HATI(PSSI dan asu2nya) kalau memang kemurnian hati dari kami ini tidak engkau dengar.... jangan salahkan jika tangan kami yang berbicara
REVOLUSIIIIII SAMPAI MATIIIIIII
menjadi juara bisa dibeli,
tapi hati nurani gak isa dibeli..
Perubahan ga akan terjadi kalo para petinggi di negeri ini msh memikirkan diri sendiri, silau sm materi dan melupakan hati nurani. Kita hrs bs menundukkan ketidakmungkinan itu, kalo ga bisa jln damai, ya revolusi!
-Lia.adhi-
saya selalu percaya oleh kekuatan percaya...keep fight! till the end of the road
Buset deh, gue aja udah lupa kapan gue ngomong gitu. Kalimat pembukaan lagi....
Post a Comment