4/20/08



Chris Gardner bukanlah siapa-siapa, sama seperti saya yang cuma warga sebuah negara. Di San Francisco 27 tahun yang lalu Chris berupaya dengan kerasnya untuk menjadi seseorang "Mencapai kebahagiaan," ucapnya berulang-ulang lewat mulut Will Smith yang memerankannya di Pursuit Of Happyness (2007). Sepanjang film kita diberi sebuah kisah upaya manusia memenangkan hidupnya sekaligus berjuang setengah mati untuk menghadapinya.

Orang seperti Chris tentu saja terdapat di seluruh penjuru dunia dan tidak mengenal warna kulit atau sekedar jenis kelamin. Orang-orang yang berusaha keras mencapai kebahagiaa dalam hidupnya sekaligus memperjuangkannya. Melihat Chris dan betapa kerasnya upaya dia, saya kok jadi merasa beruntung bisa tinggal di Indonesia. Mekanisme negaranya membuat rekening tabungan Chris bisa diserobot oleh negara akibat tunggakan pajak yang menumpuk.

Sistem perumahan di negerinya (khas negara maju) membuat Chris harus terdepak dari satu tempat ke tempat lain yang hanya sanggup ia sewa. Bedanya, ia juga merasakan salah satu fasilitas bagi orang tidak mampu, seperti misalnya tempat tinggal sementara bagi para homeless.

Beberapa waktu berada di Eropa memang sempat membuat saya merasa beruntung menjadi orang Indonesia. Menjadi orang susah di negeri saya masih bisa bertempat tinggal, kalaupun bokek berat negara tidak akan semena-mena mengusir saya atau menyerobot uang tabungan saya karena saya belum bayar pajak misalnya. Pajak adalah isu besar di sebuah negara, dari mana negara bisa membangu ya dari pajak, tapi kalau pajak yang dibayarkan entah jadi apa....siapa juga yang mau bayar? Di negerinya Chris ataupun tempat-tempat yang pernah saya tinggali, angka pungutan pajak jauh lebih tinggi daripada nilai pajak di negara saya. Tapi saya melihat sendiri manfaatnya....seorang teman yang harus masuk rumah sakit bisa merasakan semuanya gratis karena semua memang dibayarkan oleh negara.

Saya tidak tahu pasti keadaan di kota lain, tapi di Jakarta saya selalu menemukan jalanan yang rusak. Bahkan kabarnya dalam 2 bulan terakhir sudah 38 orang tewas akibat jalanan rusak tersebut (data bulan Maret 2008) Lalu, kemana uang yang sudah dibayarkan banyak orang dengan nama pajak itu? Saya sih sama sekali tidak menuduh, hanya bertanya saja...apakah pemerintah atau para pemborong itu tidak tahu standar kelayakan jalanan raya? Atau misalnya fasilitas kesehatan dan siapapun bisa sakit kapan saja tanpa peduli kondisi keuangannya.

Keadaan ini balik lagi ke komentar saya berulang kali setiap ada pejabat yang dengan bantuan voor rijder motor-motor gede dengan orang-orang berseragam itu menembus macet kota "Apa iya pemerintah mikirin kita?" Ini serius, saya kadang mempertanyakan karena kalau memang memperhatikan mbok sekali-sekali mereka merasakan ngeheknya macet Jakarta yang sudah parah ini, betenya banjir yang entah kenapa kok cenderung lebih fatal menimpa orang-orang susah.

Lebih jauh lagi saya juga berpikir "Apa sih tujuan orang ingin jadi gubernur, presiden, anggota DPR/MPR dll?" Kok mereka malah lebih sering ngurusin hal yang gak penting seperti fasiitas hotel dan fasilitas pakaian menjelang Sidang Umum, lebih peduli pada pembangunan mal daripada ngurusin jalanan bolong, atau mendefinisikan harga murah ketimbang rekaman serta segala publikasinya.
Saya jadi mikir lagi, "Trus, ngapain juga ada orang masih ngotot jadi ketua PSSI padahal jelas-jelas dia gak bisa berangkat kantor tiap hari?" Apa yang dikejar? Bukan mau menuduh atau apa, kalau seorang rektor sakit keras dan gak bisa kemana-mana seama 3 tahun, apa iya dia akan terus duduk di kursi rektor? Apa bukan lebih baik membereskan urusan kesehatannya?

Ini cuma analogi, tapi saya memang selalu bertanya "Apaan sih sebenarnya prioritas mereka yang mengurusi negara ini?"

11 komentar:

Anonymous said...

gue sudah punya pertanyaan yang sama sejak gue bergaji dan harus membayar pajak kira-kira 16 tahun lalu. bisakah kita mengetahui kemana uang kita dibelanjakan oleh negara? adakah mekanisme di negara ini yang memungkinkan kita mengetahui persis larinya uang itu. bisakah anggaran negara tiap tahun itu disampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana sehingga dipahami oleh masyarakat seperti gue? darimana saja pemasukannya? keluarnya untuk apa aja? saat ini,gue diwajibkan untuk membayar pajak hingga 35 persen dari total yang kuterima. dan gue tidak mengelak kewajiban ini. juga, ini bukan jumlah uang yang sedikit. namun seperti kamu cup,gue juga memiliki pertanyaan yang sama: mengapa gue masih menjumpai jalanan bolong? mengapa gue masih membayar biaya rumah sakit? mengapa gue masih membayar biaya sekolah anak gue? gue jadi inget waktu tinggal beberapa saat di negara lain buat sekolah: udah sekolah dibayarin, ga bayar pajak...eh waktu ke rumah sakit gue ga bayar apa-apa. bisa ga sih pemerintah kita kayak begitu? putting people first.

pemerintah, pejabat di berbagai level di negeri ini, ga pernah mikirin rakyatnya. gue ga pernah percaya bahwa mereka mikirin kita. gue sebel banget kalau udah ada yang pakai pengawal di jalanan yang udah macet. dan ini bukan saja dilakukan oleh pejabat negara. tapi juga oleh orang-orang kaya yang bisa membayar pasukan itu.

capek...hidup di negara ini. energi kita habis buat ngerasain hal-hal kayak gini...i wish we got a more understanding government...and professional one.

Andibachtiar Yusuf said...

apalagi skrg kan lg banyak kampanye "bayar pajaknya, awasi penggunaannya,"
trus pertanyaannya, ngapain bayar kalo masih lg disuruh kerja ngawasin? kan udah ada aparatur negara yg dibayar negara buat jd pengaman negara ini? kalo kita bayar dan ngawasin, knapa gak kita dibayar buat ngawasin.....hehehe

dwihatmodjo said...

Kalau menurut aq bang, ga semua orang seberuntung Chris Gardner, banyak tuh yg kerja keras dan ulet tetep aja ga bisa merubah hidupnya.
Chris tukang kebun itu cuma contoh yg berhasil, jadi di film-in pas pattern-nya, cinderella story, walopun hidup bahagia untuk selama2nya ngga' di visualisasikan.
Abang bikin partai aja, MPBDPK = Menerima Partai Besar Dan Partai Kecil
hahahahahahahahaha

Anonymous said...

he...he...he...
yang bagian akhir tuh kayaknya yang paling ngehek alias pualing menohok untuk disimak baik-baik, bukan ketuanya aja yang ngak besoes, bendaharanya juga lagi diperiksa KPK dan anggotanya lagi pada nyambi di tempat lain, ngurusin sepakbola kok tidak totalitas, ya begitu tu tu tu secuil potret buram wajah ibukota selain jalan bolong dan wisata macetnya yang tersohor itu

Andibachtiar Yusuf said...

bung dwihatmodjo gak nangkep maksud tulisan yg saya bikin, saya yang gak mampu menjelakan atau bung yang musti baca lagi?

Kamerad Edmond said...

Gue coba 'speak nabi...'
Menjadi orang Indonesia adalah karma buruk. Semarah apapun, kita seakan-akan tidak pantas mengkritik atau marah-marah ke pemerintah. Yang penting memperbaiki cara hidup kita biar nanti terlahir kembali sebagai rakyat negara impian.

Anonymous said...

kangen Hongary....sayang gak sempat jalan2 waktu disana

Anonymous said...

uang yang dibayarkan banyak orang dengan nama pajak itu seakan-akan menguap begitu saja entah kemana... tak terlihat di jalan-jalan yang berlubang, fasilitas-fasilitas kesehatan dan pemukiman kumuh.
pertanyaanmu suf... juga banyak ditanyakan orang, tapi siapa yang mau menjawabnya atau sampai kapan ada jawabannya. jangan tanyakan lagi pada rumput yang bergoyang karena rumput itu sudah tidak ada lagi, sudah digantikan hutan-hutan beton yang semakin merajarela...

The Sabilal History said...

boleh mengutip perkataan teman, mereka yang berusaha dengan susah payah meyakinkan kita bahwa mereka mikirin kita itu bang, sama aja seperti kita pikirannya, sama-sama rakyat biasa, jangan2 mereka stupid doesn't play juga hampir mirip kayak kita2 nih

astitpramadani said...

negeri ini memang sekarat..
banyak orang yg khawatir mikirinnya, saya jadi inget waktu nonton sicko, michael moore yg membongkar praktik kebobrokan dalam administrasi kesehatan di negara se-adidaya amerika. romo mangun yg resah setiap kali hujan turun karena khawatir anak2 jalanan bakal kedinginan karena ga punya tempat utk berteduh. mungkin keadilan, kejujuran, kebahagiaan, ketulusan, cuma bisa kuceritain sebagai dongeng ke anak cucuku nanti. biar mereka bangun besok paginya trus berusaha mewujudkan dongengnya. ga tau deh...kok kayaknya utopis banget yaa???

Anonymous said...

Ini seperti Dogma.. Tapi Hidup terus berlanjut, dimanapun, juga diindonesia..
Jika tidak saat ini, kita masih punya harapan ke depan..
Kita perbaiki dan siapkan diri kita, keluarga kita, berharap dari generasi-generasi itu akan merubahnya di hari depan..
Indonesia bukan sebuah karma bersama..