5/12/08



"Robert Downey Jr akan jadi bapaknya Iron Man dan Jeff Bridges jadi kakek-kakek peot yang cepet mati," ujar saya mengomentari film Iron Man yang hari ini masih terus wara wiri di bioskop-bioskop Indonesia dan dunia. Usia Downey Jr sudah 43 tahun, tentu jauh dibandingkan dengan para bintang sinetron lokal yang menjadi hero. Tapi lihat sendiri peran apa yang dimainkan olehnya, Tony Stark (alter ego Iron Man) adalah seorang playboy, pemuda cerdas yang bergajulan dan lelaki yang memuja dirinya sendiri lengkap dengan rasa pede-nya. Lalu bagaimana dengan Jeff Bridges? Obadiah yang ia perankan adalah teman baik ayah Tony, sosok yang bersamaan mengembangkan imperium Stark Industries. Tentu saja usianya jauh terpaut dengan Tony.

Jika Downey Jr baru berkepala 4, maka anggota dinasti Bridges ini hanya terpaut 1 tahun dari usia 60. Apakah keduanya menjadi kakek-kakek peot dan orang tua yang melarang anaknya berkencan dalam film ini? Tidak, tentu saja....peran mereka adalah peran energik, penuh ambisi yang di tanah air selalu digambarkan sebagai karakter anak muda.

Saya kok tidak pernah sependapat pada jumlah angka yang menghias kolom KTP maupun daftar isian Facebook itu. Bukan hanya karena saya bukan atlet yang usia produktifnya memang tidak lama atau sebaliknya karena saya anggota TNI yang justru baru mulai menggeliat di usia 30an, sama sekali bukan. Tapi karena saya melihat bahwa hidup ini terlalu singkat untuk kemudian kita cepat merasa tua.

Lihat Brad Pitt yang bahkan 2 tahu lebih tua dari Downey Jr. Ia tetap menjadi pujaan para wanita, para abege masih mencintainya dan perempuan yang berusia lebih matang juga tetap menganggapnya sebagai simbol seks. Sementara banyak bintang kita berperan jadi bapak-bapak saat masih berusia 28an, Pierce Brosnan bahkan baru mulai jadi James Bond saat usianya sudah 47 tahun.
Apakah ini karena budaya tuntutan pada individu yang luar biasa banyak itu? Bisa jadi. Tuntutan untuk "sekolah yang rajin, cepat naik kelas, jadilah juara kelas, cepat lulus kuliah, kerja dan kaya raya" membuat kebanyakan kita jadi lupa bahwa hidup terlalu singkat untuk sekedar diisi oleh tetek bengek tuntutan itu yang ujung-ujungnya membuat kita cepat merasa tertinggal.

Umur 30 tapi masih bergaji dibawah 5 juta rupiah adalah sebuah malapetaka bagi kelas menengah di negeri ini. Umur 35 tapi masih saja naik kendaraan umum adalah kiamat bagi (lagi-lagi) kelas menengah kita. Padahal, hidup jauh lebih besar ketimbang segala atribut kapitalisme itu. Sudah berapa banyak teman saya yang menyebut saya sebagai "gak jelas" hanya karena The Jak (2007) dan The Conductors (2008) dianggap sebagai proyek non komersial. "Kalo loe mau ditonton orang, bikin fiksi dong cup," adalah kalimat yang sering menimpa kuping saya, belum lagi suara dari orang ketiga dan sebagainya.

Belum lagi bonus kalimat "Udah tua juga loe," yang juga mampir-mampir di berbagai komentar. Well, saya sih sama sekali tidak berminat berlomba adu banyak-banyakan umur, karena memang bukan itu tujuan hidup saya, bagi saya membuat sesuatu sesuai dengan yang saya suka adalah sebuah keasyikan dan anugerah, mengupayakannya agar disukai masyarakat luas adalah upaya yang lain dari saya untuk menjelaskan bahwa dimensi karya itu macam-macam, bukan cuma cerita fiksi yang ada di bioskop-bioskop kita sekarang ini.

Hasrat dan antusiasme dalam diri saya masih terlalu besar untuk kemudian nekat menghambakannya hanya pada sekedar iming-iming materiil. Mungkin saya jadi bisa beli apa saja yang saya mau, tapi kemudian saya mengkoversi daya beli saya itu dengan kalimat "Lha, masyarakat maunya yang kayak gitu kok," Jujur, saya ogah bener.....mending juga buka restoran Padang.

Beneran, jadi filmmaker itu gak bikin kaya, kalo mau kaya ya buka restoran atau tukang cukur rambut.

0 komentar: