"Kita akan taklukkan mereka, bukan demi kita tapi demi Argentina," ujar Diego Armando Maradona. "UNTUK MALVINAS!!!" dan bersoraklah Burruchaga, Luis Brown, Pasculli, Valdano dll. Hari itu adalah musim panas 1986 di Mexico City di Stadion Azteca, Maradona adalah pemimpin 11 pemain yang akan berlaga melawan Inggris. Kemudian kita sudah akrab dengan cerita ini, Argentina menang 2-1, Maradona memborong 2 gol dengan 2 cara yang spektakuler.
Maradona adalah Argentina, sosok paling populer dari negeri itu, Tuhan bagi sebagian besar warga Napoli, simbol perlawanan bagi para pencinta sepakbola sejati. "Pele, Platini, Beckenbauer dll semua jadi birokrat, semua memakai jas di setiap pertandingan resmi dan duduk di box VIP, lihat dia (Maradona) dia duduk bersama kita, orang-orang biasa," ujar Martin Tibauzo teman saya yang duduk di sebelah saya di Olympia Stadion Berlin, saat Argentina akhirnya takluk dari Jerman di perempat final 2006.
Tadi malam saya berkesempatan menonton Maradona, Hand of God atau Maradona, Lo Mano e Dios. Sama sekali bukan karya terbaik yang pernah saya tonton, bukan juga sebuah film yang cukup baik, tapi sebagai penganut sepakbola, saya merasa getaran-getaran luar biasa di berbagai areal penceritaan. Don Diego yang hanya mencintai sepakbola baru kemudian Claudia Villavane atau Diego si manusia biasa dengan bakat luar biasa. Asalnya yang miskin, tempat tinggalnya yang melarat (bahkan ayahnya takjub ada air panas di kamar mandi) adalah potret bahwa sepakbola adalah olahraga perlawanan sosial.
Lewat sepakbola Maradona dikenal segenap bangsa di dunia, sekaligus melontarkan Argentina sebagai kekuatan bergengsi di panggung sepakbola dan dunia. Orang seakan tak peduli pada kondisi apapun yang dialami negeri Tango, yang diketahui adalah Argentina si gudang pemain berbakat.
Maradona adalah Argentina, sosok paling populer dari negeri itu, Tuhan bagi sebagian besar warga Napoli, simbol perlawanan bagi para pencinta sepakbola sejati. "Pele, Platini, Beckenbauer dll semua jadi birokrat, semua memakai jas di setiap pertandingan resmi dan duduk di box VIP, lihat dia (Maradona) dia duduk bersama kita, orang-orang biasa," ujar Martin Tibauzo teman saya yang duduk di sebelah saya di Olympia Stadion Berlin, saat Argentina akhirnya takluk dari Jerman di perempat final 2006.
Tadi malam saya berkesempatan menonton Maradona, Hand of God atau Maradona, Lo Mano e Dios. Sama sekali bukan karya terbaik yang pernah saya tonton, bukan juga sebuah film yang cukup baik, tapi sebagai penganut sepakbola, saya merasa getaran-getaran luar biasa di berbagai areal penceritaan. Don Diego yang hanya mencintai sepakbola baru kemudian Claudia Villavane atau Diego si manusia biasa dengan bakat luar biasa. Asalnya yang miskin, tempat tinggalnya yang melarat (bahkan ayahnya takjub ada air panas di kamar mandi) adalah potret bahwa sepakbola adalah olahraga perlawanan sosial.
Lewat sepakbola Maradona dikenal segenap bangsa di dunia, sekaligus melontarkan Argentina sebagai kekuatan bergengsi di panggung sepakbola dan dunia. Orang seakan tak peduli pada kondisi apapun yang dialami negeri Tango, yang diketahui adalah Argentina si gudang pemain berbakat.
Tak hanya di Argentina atau di Boca Juniors, di Napoli sang Don adalah sosok dewa yang sangat membahana. Patungnya dibangun di tengah kota, namanya mengundang hormat siapa saja yang mendengarnya di kota itu, bahkan tim nasional Italia harus kehilangan dukungan saat bertarung melawan Argentina di Napoli hanya karena ada Maradona di tim Tango. Suatu ketika saya malah melihat seorang tua penjaga toko di Napoli yang nyaris berlutut mendengar salah seorang dari kami berasal dari Argentina.
Orang menyebut dia Tuhan dan kadangkala saya mengamininya, karena saya percaya hanya ada satu Tuhan.