5/29/08

"Kita akan taklukkan mereka, bukan demi kita tapi demi Argentina," ujar Diego Armando Maradona. "UNTUK MALVINAS!!!" dan bersoraklah Burruchaga, Luis Brown, Pasculli, Valdano dll. Hari itu adalah musim panas 1986 di Mexico City di Stadion Azteca, Maradona adalah pemimpin 11 pemain yang akan berlaga melawan Inggris. Kemudian kita sudah akrab dengan cerita ini, Argentina menang 2-1, Maradona memborong 2 gol dengan 2 cara yang spektakuler.

Maradona adalah Argentina, sosok paling populer dari negeri itu, Tuhan bagi sebagian besar warga Napoli, simbol perlawanan bagi para pencinta sepakbola sejati. "Pele, Platini, Beckenbauer dll semua jadi birokrat, semua memakai jas di setiap pertandingan resmi dan duduk di box VIP, lihat dia (Maradona) dia duduk bersama kita, orang-orang biasa," ujar Martin Tibauzo teman saya yang duduk di sebelah saya di Olympia Stadion Berlin, saat Argentina akhirnya takluk dari Jerman di perempat final 2006.

Tadi malam saya berkesempatan menonton
Maradona, Hand of God atau Maradona, Lo Mano e Dios. Sama sekali bukan karya terbaik yang pernah saya tonton, bukan juga sebuah film yang cukup baik, tapi sebagai penganut sepakbola, saya merasa getaran-getaran luar biasa di berbagai areal penceritaan. Don Diego yang hanya mencintai sepakbola baru kemudian Claudia Villavane atau Diego si manusia biasa dengan bakat luar biasa. Asalnya yang miskin, tempat tinggalnya yang melarat (bahkan ayahnya takjub ada air panas di kamar mandi) adalah potret bahwa sepakbola adalah olahraga perlawanan sosial.

Lewat sepakbola Maradona dikenal segenap bangsa di dunia, sekaligus melontarkan Argentina sebagai kekuatan bergengsi di panggung sepakbola dan dunia. Orang seakan tak peduli pada kondisi apapun yang dialami negeri Tango, yang diketahui adalah Argentina si gudang pemain berbakat.

Tak hanya di Argentina atau di Boca Juniors, di Napoli sang Don adalah sosok dewa yang sangat membahana. Patungnya dibangun di tengah kota, namanya mengundang hormat siapa saja yang mendengarnya di kota itu, bahkan tim nasional Italia harus kehilangan dukungan saat bertarung melawan Argentina di Napoli hanya karena ada Maradona di tim Tango. Suatu ketika saya malah melihat seorang tua penjaga toko di Napoli yang nyaris berlutut mendengar salah seorang dari kami berasal dari Argentina.

Orang menyebut dia Tuhan dan kadangkala saya mengamininya, karena saya percaya hanya ada satu Tuhan.

5/26/08

Ada seorang teman lama yang mendadak bertemu lagi di dunia maya bertanya pada saya "Jadi nama sebenar umak (kamu) apa?" Dia adalah teman SD, SMP dan sering beradu lari di lapangan sepakbola dengan saya (tentu saya yang menang dong hehehe...) Jadi dia tahu sekali saya selalu menuliskan nama saya saat itu dengan M Yusuf AS.

Itulah nama benar saya, Muhammad Yusuf Andibachtiar Siswo....atau di saat lahir ayah kandung yang asli Pacitan memberi Siswo Dahono pada akte kelahiran saya. Andibachtiar plus Muhammad Yusuf datang beberapa tahun kemudian saat ibu saya merasa darah Bugis-Minang ini harus menyandang nama khasnya, maka muncullah si Andi ini.

Saat kuliah dan seterusnya saya menyebut diri saya masih M Yusuf AS dengan tanda tangan bertuliskan myusufas. Terus terjadi sampai saat saya mulai mengenal email dan meletakkan dua nama depan itu sehingga muncul Yusuf Muhammad di semua email kiriman saya. Terus terjadi sampai akhirnya saya mulai keluar berkarya dan memperkenalkan diri saya pada mereka yang menikmati seni dan sepakbola.

Saya datang dari keluarga yang sangat religius, tapi nama Muhammad Yusuf (lebih dari 2 kata kepanjangan deh....) terlalu muslim bagi saya yang beragama sepakbola. Sementara Siswo Dahono terasa sangat Jawa. Maka saya pilihlah Andibachtiar Yusuf sebagai nama panggilan saya....nama bisnis, seperti saat Winona Horowitz mengubah namanya menjadi Winona Ryder atau Thomas Mapother Cruise menjadi Tom Cruise. Saya ingin mengenang nenek moyang saya yang berlayar dari Sulawesi dan beranak pinak di Minangkabau.

Andi dan Bachtiar saya gabung menjadi satu agar tidak biasa dan karena Bachtiar terasa sangat Sumatera atau setidaknya Melayu. Lalu Yusuf menjadi cara termudah untuk memperkenalkan nama saya yang umum dipanggil banyak orang Yusuf......

Sementara Siswo atau Iwo, biarlah sodara-sodara dekat dan kaum tetangga rumah (yang telah saya gauli sejak tahun 1978) memanggil saya dengan panggilan tersebut.

"Loe tanya sama yang jual, apa ada dari mereka yang orang Jakarta?" ujar Bapuk ketus pada teman-teman Aremania yang tentu saja berasal dari Malang. Apa sebab? Tentu sederhana, tak ada yang gratis di Jakarta kecuali kentut dan ketidak gratisan itu selalu lebih mahal daripada harga-harga di kota lain di luar Jakarta. Bandingkan saja nasi rawon yang bisa membuat saya ileran semaleman dengan porsi ala budak belian harganya jauh lebih murah dibanding nasi rawon di Jakarta yang cuma memberi porsi pejabat negara.

Saya suka jawaban Bapuk, dia memang bukan pejabat negara yang dengan cerdasnya menaikkan harga BBM dan telah merasa jitu dengan ide memberi uang pada masyarakat miskin. Bapuk juga bukan pejabat pemerintah, juga bukan kaum berkerah putih apalagi biru. Dia cuma seorang Jakmania yang selalu dianggap musuh oleh kelas menengah ibukota yang merasa dirinya lebih bijak daripada para begundal yang rajin mendukung tim asli daerahnya di Lebak Bulus itu. Tapi percayalah pada saya, rasa Jakarta Bapuk alias Deddy Syahrizal bisa jadi jauh lebih besar daripada para pengguna fasilitas kemewahan di kota ini.

Jakarta adalah kota yang luar biasa. Apa yang kami tidak miliki? Sebut segala simbol kapitalisme dunia, disini surganya. Kota mana di dunia ni yang memiliki tempat hiburan yang siap beroperasi 72 jam non-stop, saya berani jamin......HANYA JAKARTA!!!! Tapi ibukota mana juga yang terus diserbu banjir di dunia ini? Ya lagi-lagi juga cuma Jakarta, begitu juga dengan segala angka kemiskinan dan pengangguran itu.

Gedung-gedung dan mal-mal boleh bejibun, tapi percayalah hanya 30% dari total penduduk kota saya ini yang sanggup menikmatinya secara reguler. Bapuk dan ribuan teman mainnya di Lebak Bulus adalah bagian kecil yang juga tidak bisa menikmati kemewahan-kemewahan itu. Namun, berbeda dengan mereka yang bisa menikmati segala kemewahan dan kemacetan dari balik mobil ber ac, Bapuk sangat mencintai kotanya. Tak pernah saya dengar makian Jakarta yang mahal, ribet, macet, tak teratur, banjir, ngehek dan sebagainya. Karena saya rasa Bapuk sadar karena ia adalah warga kota ini dan berkewajiba untuk menjaga dan mencintai kotanya. 

Berbanding terbalik dengan mereka-mereka yang terus saja memaki Jakarta macet, Jakarta sumpek, Jakarta mahal, Jakarta bangsat!, Jakarta taik dan sebagainya.....tapi terus membanjiri kota ini dengan segala modal yang mereka punya.

5/12/08

Hari ini saya melihat 2 demonstrasi terjadi di ibukota. Yang satu gabungan antara menuntut diangkutnya para pelaku kejahatan HAM di masa reformasi 10 tahun lalu, menyeret koruptor, menagih janji Kejaksaan Agung, menyeret pelaku penembakan di Trisakti 10 tahun lalu dan lain sebagainya. Aksi ini dilakukan oleh ratusan (mungkin juga ribuan) mahasiswa di Jakarta. Saya kebetulan melihat banyak sekali mahasiswa Trisakti di jalanan dan kebetulan lewat kampus mereka siang tadi, dan ruammmmeeeeee bener mereka itu menuju daerah CSW Blok M.

Aksi satu lagi dilakukan oleh kelompok supporter di Pulau Jawa (saya yakin tidak ada yang datang langsung dari luar Pulau ini) dan menuntut turunnya Nurdin Halid dari singgasanan PSSI. Sederhana aja sih, mana ya yang lebih penting? Menyeret para pelaku kejahatan (aksi pertama) atau membiarkan negeri ini semakin kerdil dan terkucil (aksi kedua)



"Robert Downey Jr akan jadi bapaknya Iron Man dan Jeff Bridges jadi kakek-kakek peot yang cepet mati," ujar saya mengomentari film Iron Man yang hari ini masih terus wara wiri di bioskop-bioskop Indonesia dan dunia. Usia Downey Jr sudah 43 tahun, tentu jauh dibandingkan dengan para bintang sinetron lokal yang menjadi hero. Tapi lihat sendiri peran apa yang dimainkan olehnya, Tony Stark (alter ego Iron Man) adalah seorang playboy, pemuda cerdas yang bergajulan dan lelaki yang memuja dirinya sendiri lengkap dengan rasa pede-nya. Lalu bagaimana dengan Jeff Bridges? Obadiah yang ia perankan adalah teman baik ayah Tony, sosok yang bersamaan mengembangkan imperium Stark Industries. Tentu saja usianya jauh terpaut dengan Tony.

Jika Downey Jr baru berkepala 4, maka anggota dinasti Bridges ini hanya terpaut 1 tahun dari usia 60. Apakah keduanya menjadi kakek-kakek peot dan orang tua yang melarang anaknya berkencan dalam film ini? Tidak, tentu saja....peran mereka adalah peran energik, penuh ambisi yang di tanah air selalu digambarkan sebagai karakter anak muda.

Saya kok tidak pernah sependapat pada jumlah angka yang menghias kolom KTP maupun daftar isian Facebook itu. Bukan hanya karena saya bukan atlet yang usia produktifnya memang tidak lama atau sebaliknya karena saya anggota TNI yang justru baru mulai menggeliat di usia 30an, sama sekali bukan. Tapi karena saya melihat bahwa hidup ini terlalu singkat untuk kemudian kita cepat merasa tua.

Lihat Brad Pitt yang bahkan 2 tahu lebih tua dari Downey Jr. Ia tetap menjadi pujaan para wanita, para abege masih mencintainya dan perempuan yang berusia lebih matang juga tetap menganggapnya sebagai simbol seks. Sementara banyak bintang kita berperan jadi bapak-bapak saat masih berusia 28an, Pierce Brosnan bahkan baru mulai jadi James Bond saat usianya sudah 47 tahun.
Apakah ini karena budaya tuntutan pada individu yang luar biasa banyak itu? Bisa jadi. Tuntutan untuk "sekolah yang rajin, cepat naik kelas, jadilah juara kelas, cepat lulus kuliah, kerja dan kaya raya" membuat kebanyakan kita jadi lupa bahwa hidup terlalu singkat untuk sekedar diisi oleh tetek bengek tuntutan itu yang ujung-ujungnya membuat kita cepat merasa tertinggal.

Umur 30 tapi masih bergaji dibawah 5 juta rupiah adalah sebuah malapetaka bagi kelas menengah di negeri ini. Umur 35 tapi masih saja naik kendaraan umum adalah kiamat bagi (lagi-lagi) kelas menengah kita. Padahal, hidup jauh lebih besar ketimbang segala atribut kapitalisme itu. Sudah berapa banyak teman saya yang menyebut saya sebagai "gak jelas" hanya karena The Jak (2007) dan The Conductors (2008) dianggap sebagai proyek non komersial. "Kalo loe mau ditonton orang, bikin fiksi dong cup," adalah kalimat yang sering menimpa kuping saya, belum lagi suara dari orang ketiga dan sebagainya.

Belum lagi bonus kalimat "Udah tua juga loe," yang juga mampir-mampir di berbagai komentar. Well, saya sih sama sekali tidak berminat berlomba adu banyak-banyakan umur, karena memang bukan itu tujuan hidup saya, bagi saya membuat sesuatu sesuai dengan yang saya suka adalah sebuah keasyikan dan anugerah, mengupayakannya agar disukai masyarakat luas adalah upaya yang lain dari saya untuk menjelaskan bahwa dimensi karya itu macam-macam, bukan cuma cerita fiksi yang ada di bioskop-bioskop kita sekarang ini.

Hasrat dan antusiasme dalam diri saya masih terlalu besar untuk kemudian nekat menghambakannya hanya pada sekedar iming-iming materiil. Mungkin saya jadi bisa beli apa saja yang saya mau, tapi kemudian saya mengkoversi daya beli saya itu dengan kalimat "Lha, masyarakat maunya yang kayak gitu kok," Jujur, saya ogah bener.....mending juga buka restoran Padang.

Beneran, jadi filmmaker itu gak bikin kaya, kalo mau kaya ya buka restoran atau tukang cukur rambut.

5/11/08

Saya selalu percaya bahwa memberi kail lebih mendidik daripada memberi ikan, memberi peluang usaha/kerja lebih membuat orang dewasa daripada terus mengempani dengan uang, menjadi playmaker seperti Maradonna jauh lebih bernilai daripada jadi goal getter Careca. Pagi ini saya membaca ini.

http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/11/time/112346/idnews/937344/idkanal/4, dan kemudian merasakan beberapa hal. Apa iya uang Rp 100.000 atau Rp 168.000 perbulan itu mencukupi buat orang-orang miskin sementara lonjakan segala harga akibat naiknya BBM tentu akan jauh lebih ugal-ugalan dari saat Ali Topan masih merajai jalanan, jika mencukupi...apa iya memang begitu caranya? lalu, di negara-negara dengan masalah ekonomi setara kita apakah carai ngasih duit ini juga dilakukan?

Udah ah...mending siap-siap nonton game terakhir Liga Inggris daripada mikirin orang-orang yang gak mikirin gue hehehe....

5/10/08

"Subsidi BBM hanya untuk rakyat miskin" demikian tulis spanduk-spanduk yang makin ramai terlihat di  SPBU-SPBU (Sumur Pompa Bensin Umum) di negeri ini (setidaknya saya melihatnya di Jakarta, Medan dan Bandung). Artinya kita semua sudah tahu, sebentar lagi pemerintah lagi-lagi akan menaikkan harba BBM (Bahan Bakar Minyak) di negeri ini. Lalu, apa akibatnya bagi kita? Segala harga lain akan naik, mulai dari kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhan tambahan macam nongkrong dikafe atau bahkan ongkos wi-fi. Apa lagi artinya? Masyarakat kebanyakan akan semakin merasakan kesusahan yang tentu saja semakin tidak so sweet untuk dirasakan.

Benar, tidak semua orang nantinya akan merasakan kenaikan itu. Konon para pemilik kendaraan akan diberkahi dengan semacam kartu ulang agar bisa membeli bensin, ada juga yang bilang bahwa dalam satu hari nantinya para pembeli hanya akan dianugerahi maksimal 5 liter bensin perhari. 5 liter perhari mungkin mencukupi untuk kondisi kota Solo, Yogya atau Malang yang damai, bagaimana dengan Jakarta yang besar, macet tak terkira, sumpek dan dipenuhi ketidak aturan?

Seperti kebanyakan orang di republik ini, saya sebenarnya hanya mengikuti dari kulit luar saja tentang permasalahan ini, bahkan bisa dibilang kadang saya sama sekali tidak memikirkan hal-hal seperti ini karena saya merasa lebih baik berfikir kreatif dan bertindak sembari mikirin sepakbola Indonesia dan dunia. Jadi lewat blog ini saya ingin bertanya pada Anda yang kebetulan membaca posting ini.....jika kita akan diberi kartu dan hanya boleh membeli 5 liter bensin perhari, bagaimana dengan para pemimpin kita apakah mereka juga akan hanya boleh belanja 5 liter perhari? Karena saya kok sama sekali tidak yakin mereka akan menghadapi kesulitan yang sama dengan kita.

Ini alasan saya....melewati macetnya Jakarta saja ogah dan memilih memakai voor rijder, lampu merah saja mereka tidak pernah rasakan, car free day yang diberlakukan sepanjang Sudirman saja bisa ditidak pedulikan oleh Bapak Wapres kita karena dia seorang VVIP.....serta tentu saja banyak hal lainnya yang bisa sepanjang roll tisu kalau saya tuliskan semua disini.

Nah....tolong bantu saya, karena saya ngerasa kok makin ajaib aja sih kebijakan yang diambil di negeri ini, apakah proses berpikir dan diskusi sudah dilupakan serta memilih untuk menanti wangsit.

5/6/08


Bangsa Tanpa Sepakbola

“Kemenangan 1-0 atas negeri dengan sejarah (sepakbola) yang kental seharusnya membuat kami kemudian mencintai permainan ini,” ujar Henry Kissinger mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sekaligus tokoh besar di neger Paman Sam. Tentu saja ia merujuk pada sensasi di Piala Dunia 1950 Brazil “Tapi saat itu kami adalah bangsa yang baru saja terbentuk dan sepakbola sangat Eropa, jika kami ingin menjadi Amerika maka kami harus bisa terlepas dari Eropa,” tegas Henry lagi, maka sejak saat itu ditinggalkanlah sepakbola oleh bangsa Amerika.

Bangsa Amerika datang dari berbagai latar belakang etnis di Eropa, Afrika dan kemudian Asia, secara sistematis mereka kemudian membentuk budayanya sendiri yang biasa kita sebut sebagai budaya pop. Tumbuh dari sesuatu yang sangat heterogen serta keinginan untuk “pergi” dari latar belakang Eropa yang sangat kental, orang Amerika kemudian seperti tercerabut dari akar budaya masa silam mereka.

Diciptakanlah American Football sebagai bentuk “perlawanan” terhadap Rugby dan Sepakbola, diciptakan pula Baseball untuk membedakan diri dengan Softball yang saat itu lebih ramai dimainkan di penjuru dunia. Semakin dipopulerkanlah permainan dalam ruang bernama Bola Basket demi menunjukkan ciri keAmerikaan. Pun ketika dunia juga keranjingan Bola Basket dan apapun yang mereka punya, orang Amerika kemudian mempunyai cara agar bisa berbeda dengan yang lain, misalnya lewat aturan main dan lain-lain.

Seperti apakah Amerika sekarang ini? Mereka memang memiliki hegemoninya sendiri dan seolah bertindak sebagai polisi dunia, tapi tahukah Anda seperti apakah pola pikir bangsa Amerika itu sendiri? Bahkan orang New York bisa tidak tahu dimana letak Chicago “Apa peduli orang New York terhadap letak Chicago?” sergah Michael Sheridan penduduk Boston. “Bahkan mereka bisa tidak tahu kalau British (orang Inggris) dan Australian (orang Australia) bicara bahasa Inggris,” ledek Jim (lewat pengalamannya sendiri) seorang teman asal Inggris serius.

Secara sistematis sepakbola dimatikan, liga nasional ditiadakan, permainan terindah ini tinggal bersemayam di sekolah-sekolah, pusat-pusat olahraga dan berbagai lahan olahraga lainnya. Liga Sepakbola Amerika Utara yang pernah memperkenalkan Pele atau Beckenbauer pun hanya berusia seumur jagung. Hanya dalam kurun waktu 30 tahunan setelah kemenangan atas Inggris di Piala Dunia, Amerika Serikat bagai lupa bagaimana caranya bermain sepakbola.
Namun, permainan 11 lawan 11 ini adalah symbol pergaulan dunia. Saat Jepang yang sudah memiliki seagalanya memutuskan untuk “mendalami” sepakbola agar bisa menjadi bagian dari pergaulan dunia, Amerika Serikat sang partner pun juga memikirkan hal yang sama. Lalu, Amerika yang digdaya yang paham betul bagaimana mengemas segala sesuatu agar bisa dijual kembali berpaling pada Sepakbola lewat Piala Dunia 1994.

Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini sanggup “mengisolir” dirinya pada dunia dengan baik. Juara NBA (National Basketball Association), MLB (Major League Baseball) atau NFL (National Football League) dengan lantang disebut sebagai Juara Dunia!!! Hanya karena merekalah yang memainkan permainan ini dengan cara dan aturan yang berbeda. Namun, pada akhirnya Paman Sam memang tidak melulu bisa lari dari kenyataan bahwa sepakbola adalah permainan sesungguhnya. Walau warga negeri tersebut masih saja tidak terlalu memahami keindahan sepakbola, namun tim nasional dan kompetisi yang dimiliki sudah mulai dipandang oleh kekuatan-kekuatan di kawasannya.

Sepakbola kita rusuh! Tentu saja, bahkan sepakbola di Eropa dan Amerika Latinpun kerap rusuh, karena sepakbola adalah olahraga kaum pekerja yang kemudian menerjemahkan tim yang dicintai sebagai identitas dan kebanggaan. Bedanya, di sepakbola kita tidak ada aturan yang benar-benar baku, tidak ada sesuatu yang patut ditakuti bahkan ketua yang (seharusnya) disegani pun hanya bisa ditemui setelah melewati penjagaan para sipir.

Pemerintah kita yang biasanya sibuk mengurusi masalah non olahraga tiba-tiba bagai kebakaran jenggot dan dengan lantang menyatakan “Kami siap menghentikan Liga sampai waktu yang tidak ditentukan,” Bayangkan jika ini benar-benar terjadi? Berapa juta orang yang akan kehilangan hiburan utamanya, berapa juta umat yang bagai kehilangan symbol yang setiap minggu menjadi tujuan hidupnya, atau kehidupan macam apa yang akan dijalani kebanyakan orang Indonesia yang pada dasarnya memang sudah tidak jelas identitasnya.

Amerika Serikat memang mampu menghapuskan sepakbola dari kehidupan mereka, namun mereka juga sanggup membentuk identitas baru bagi masyarakatnya. Bahkan ketika akhirnya mereka kembali berpaling pada permainan ini, secara umum orang Amerika tetap tidak kenal sepakbola secara utuh. Jika pemerintah benar-benar menghapuskan sepakbola dari tanah air, apakah mereka sudah siap dengan scenario mempopulerkan Sepak Takraw atau Bulu Tangkis sebagai bagian kehidupan kita misalnya.

Segala kerusuhan di dunia sepakbola selalu diawali dengan berbagai hal yang tidak saja terjadi di dalam lapangan, perkelahian antar pendukung bisa saja terjadi bahkan tanpa adanya pertandingan sepakbola. Sementara di negeri ini kita sibuk menyalahkan pendukung fanatik, maka di negeri orang mereka sibuk membenahi sistem keamanan, menyeimbangkan pasokan alcohol di bar-bar, semakin mempertegas aturan serta membenahi waktu pertandingan agar tidak rentan keributan.

Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend
(kalo gak salah pernah dimuat di Top Skor edisi sekitar Februari 2008)

5/5/08

Sekedar mengingatkan saja, deadline sinopsis adalah 22 mei 2008 pukul 24.00. Kirim saja sinopsis 1 halaman untuk durasi maksimal 5 menit ke andibachtiary@yahoo.com. Uang produksi 10 juta menanti.