12/18/09


"Lo gak usah pikir 'how to say'nya, biar gue yang pikirin....kasih aja ke gw 'what to say'nya," ujar seorang Hendro Djoewono seorang Copywriter senior di JWT, tempat saya bekerja 10 tahun lalu. Kalimat yang kemudian terus membekas di kepala saya, bahwa menyampaikan sesuatu bukan masalah apa yang akan disampaikan tapi masalah cara menyampaikannya. Kalimat yang mengingatkan saya pada petuah ibu saya bertahun lampau tentang sebuah desa yang biasa Shalat memakai bangkai tikus, dan selalu membunuh siapapun ustadz yang tiba-tiba datang memaksa mereka untuk tidak lagi memajang tikus saat Shalat karena itu SALAH! 

"Hanya seorang ustadz muda yang diam bertahun-tahun disitu perlahan akhirnya bisa membuat masyarakat desa tersebut menghentikan kebiasaan Shalat dengan memajang tikus di sisi kiri sang imam," ujar ibu saya sembari menutup kisahnya. Tersebutlah seorang agen polisi dari Bombay yang diminta untuk masuk ke sebuah wilayah perkampungan untuk memahami kehidupan mereka "Memahami bagaimana mereka berpikir dan bertindak," ujar komandannya yang sesuai pesan pemerintah ingin meratakan kawasan itu dan mengubahnya menjadi sebuah jalanan. Film itu berjudul Krodhi, saya menontonnya sekitar tahun 1983 di sebuah bioskop kawasan Kramat, Jakarta. Dharmendra sebagai protagonis di film itu kemudian membaur dengan masyarakat setempat dan kemudian berbalik membela kepentingan masyarakat setempat.  

8 tahun kemudian saya melihat bagaimana Letnan John Dunbar ditasbihkan menjadi Sumani Tutangka Obachi alias Dances With Wolves "berubah" menjadi manusia Sioux yang sadar bahwa Indian pun manusia biasa yang perlu diperlakukan sama dengan yang lain. "Cerita sih kayak Pocahontas," ujar seorang penonton yang duduk di sebelah saya. Lalu apa istimewanya Avatar jika kemudian tak ada kisah baru yang ia tawarkan. Bagi saya, inilah keistimewaan sekaligus kelebihan yang diberikan oleh James Cameron pada kita. 

Siapa yang akan menyaksikan kapal besar terbalik selama 3 jam tanpa sebuah kisah cinta yang kuat? Siapa juga yang tahan melihat manusia robot mengejar manusia tanpa teknologi terkini, atau siapa sih yang tahan nonton serangan makhluk aneh tanpa ketegangan dan efek yang dibangun sedemikian rupa? Di tataran ini James adalah sang maestro. Kisah yang ia sampaikan mungkin adalah sesuatu yang baru, tapi seni (apalagi jika seni itu bernama movie) bukan melulu tentang dongeng apa yang sedang disampaikan.

District 9 akan menjadi karya biasa jika disampaikan layaknya film-film aksi kebanyakan, Dark Knight hanya akan menjadi kisah hero tukang begadang biasa jika tak ada karakter-karakter sakit di dalamnya dan James Bond akan basi dibanding ratusan film aksi modern jika tidak cepat berevolusi pada bentuk Casino Royale. James paham betul kata "Bagaimana" dan ia tidak sendirian, karena sinema disana memang sudah melakukan itu sejak lama. Mereka berhenti menyampaikan gagasan secara literal lewat bahasa film, karena gagasan itu lama kelamaan memang menjadi usang. 

"Suatu hari nanti, film dengan basis teknologi akan menjadi raja dan bahkan memenangkan Oscar," ujar seorang teman les Bahasa Perancis yang saya lupa namanya. Saat itu tahun 1991 dan kami baru saja menyaksikan Terminator 2 yang pencapaian teknisnya bisa bikin pingsan! Hanya 7 tahun setelah itu, James berhasil membuktikan kalimat teman yang saya ingat buku Forrest Gump saya masih berada di tangannya. Tak lama kemudian Gladiator menyusul dan teruslah berturut-turut film berbasis teknologi merajai dunia. Teknologi kini tak hanya menjadi bagian dari film, tapi teknologilah sandaran utama dari kerangka sinema masa kini. "Mereka tinggal berkhayal dan seorang Produser akan siap membantu," gumam saya setiap kali melihat pencapaian sinema yang tinggi. 

Sekali lagi kalimat itu meluncur dari mulut saya sesaat setelah menyaksikan Avatar. Sebuah keajaiban mengagumkan yang telah diciptakan oleh James Cameron lewat visinya yang dahsyat, karya yang harus menunggu sampai nyaris 20 tahun untuk bisa direalisasikan karena "Teknologi di masa itu tidak memungkinkan," ujar James.....dan jika ada studio yang berani membiayai, maka studio tersebut dipastikan akan bangkrut "Karena uang 400 juta us dollar adalah angka yang mustahil di saat itu," 

Pandora adalah sebuah planet yang kaya akan Obtanium (kalo gw gak salah denger) yang perkilogramnya bisa berharga 10 juta usd. Tak heran jika sebuah jaringan usaha raksasa dari bumi berangkat kesana dan berupaya mendulang kekayaan alam Pandora tersebut. Navi adalah kaum yang mendiami Pandora, masyarakat yang hidup pada alam, dekat dengannya sekaligus percaya bahwa alam lah kekuatan utama dari segala kehidupan. Masyarakat berkulit biru bertinggi 9 kaki (kurang lebih 270 cm) dan sangat lihai bergerak ini masih hidup layaknya manusia Bumi beratus tahun lampau. Senjata termodern mereka pun praktis hanya tombak dan panah, berkebalikan dengan tentara yang dikirim oleh pengusaha Obtanium itu yang bersenjatakan berbagai peralatan canggih ala tahun 2158! 

Orang-orang bumi yang serakah menjarah alam murni milik masyarakat Navi. Itulah kira-kira inti cerita Avatar, sebuah karya pertunjukan yang memukau sepanjang 162 menit perhelatannya. Manusia-manusia serakah yang berupaya mengusir dan mengangkangi alam dengan segala kekuatan mereka. Alam yang dirusak dan manusia-manusia yang masih murni dan dekat dengan alam harus pergi dari situ.....sama persis dengan yang dilakukan oleh kaum kulit putih terhadap masyarakat Indian, Aborigin dan lain sebagainya.  

Avatar adalah sebuah versi modern dari invasi para migran ke tanah baru yang selalu disebut sebagai tanah harapan. Dengan segala kepandaian dan kelebihannya, James menciptakan dunianya sendiri dengan semena-mena. Dengan bantuan kapital yang besar serta keseriusan luar biasa, James memberikan kita kemanjaan visual tanpa henti, keindahan yang membuat kita lupa bahwa cerita dari Avatar sangatlah sederhana. Kesederhanaan yang dibalut oleh visi yang nyaris mustahil bisa direalisasikan di negeri ini karena satu alasan sederhana "Berpikir futuristik dan keluar pakem adalah 'terlarang' di negeri ini," ujar Nyoman Swastika ipar saya saat saya berkata padanya "Ketika mereka sudah memvisualkan kiamat atau migrasi antar semesta, kita masih mikirin sensor dan pesan moral,"

1 komentar:

astrajingga said...

lu nangkep ada rasisme sisa poskolonial nggak di film Avatar?

ya kagak heran kalo lo masih perlu denger ceramah tentang moral pancasila lewat penataran pola pendukung 100 jam.