12/14/09


Tulisan ini dibuat 3 tahun lalu, saat Menpora saat itu Adhyaksa Dhault menulis "Tidak Ada Pembinaan Olahraga Yang Instan" di Tabloid Bola, ditulis untuk Tabloid Bola yang ternyata cemen karena tidak berani adu argumen di media dengan si menteri berkumis.


Saya post di bog dan note untuk berkaca dimana kita sekarang, dan mengenang kawan saya Aheng Suhendar almarhum.

“Kemajuan sebuah bangsa tercermin dari prestasi olahraganya,” Alexander Kardji berdiri di depan kelas, ia baru saja menuliskan sebuah kalimat di papan tulis hitam—yang seingat saya berbunyi—“Sea Games 1987”. Kardji  adalah seorang guru olahraga di sebuah sekolah menengah pertama di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Saya memanggilnya Pak Kardji, karena dia adalah guru saya. Sampai hari ini saya tidak yakin bahwa ia punya prestasi olahraga yang baik, yang saya tahu pasti ia adalah seorang guru olahraga dan hanya warga Indonesia biasa yang—seperti saya—bangga kala negaranya mampu memenangkan berbagai gelar juara.

Siang itu di tahun 1987, Indonesia adalah langganan juara Sea Games. Tim bulutangkis kita adalah momok bagi siapapun, pencak silat adalah lumbung emas bagi kita dan—yang saya terus kenang hingga saat ini—setahun sebelumnya, Ricky Yakob dkk lolos sampai semifinal Asian Games. Dua tahun berselang dan di Stadion (dulu) Senayan, saya menyaksikan Ribut Waidi dkk merebut medali emas Sea Games. Hari itu saya bangga. Saya menyaksikan permainan ofensif tim nasional serta dibuai oleh raihan medali demi medali oleh kontingen kita yang saat itu jadi tuan rumah.

Tahun 1989 menjadi saat yang sangat saya ingat. Masih dengan seragam putih abu-abu, saya dan segerombol teman sekolah bagai melakukan tour di Senayan, mulai dari arena renang, gulat, tinju, bulutangkis, bola voli dan tentu saja sepakbola. Berturut-turut saya menyaksikan bangsa saya berdiri di podium dengan bendera merah putih di latar belakang dan lagu Indonesia Raya di udara.

 Tidak terekam di kepala saya berapa emas yang saat itu kita peroleh. Yang saya ingat pasti adalah kalimat “Gue sih males nonton Sea Games, kita udah pasti menang,” ujar Aheng Suhendar teman baik saya. Aheng memang konsisten dan dia hanya mau datang ke Senayan demi Ribut Waidi yang berlari kencang di sisi kiri pertahanan lawan menjelang penutupan kejuaraan.

“Ini cuma Sea Games, kok tegang?” saya memegang pundak Aheng yang saat itu sedang geregetan di depan layar televisi menyaksikan sepakbola Sea Games 2005. Aheng yang saya kenal tak pernah berubah, kata-kata makian keluar dari mulutnya, ia mencaci habis tim sepakbola dan negaranya yang sama sekali tidak impresif “Masak kita cuma bisa lebih bagus dari Timor Leste, Laos, Kamboja atau Brunei???” Tentu kalimat tadi sudah saya sensor habis, karena saya juga memaki sama kasar dan kotornya.

Kami tentu pantas marah. Sejak kecil kami diajarkan betapa besarnya bangsa ini, betapa kaya alamnya dan betapa lebih hebatnya kita dibanding bangsa-bangsa lain di kawasan ini. “Malaysia pecundang dan Singapura hanya sebesar kecamatan,” demikian kata guru geografi saat saya SD dulu. Dulu saya percaya, tapi sekarang bisa saya debat habis guru saya itu. Bahkan di Asia Tenggara negeri saya sama sekali tidak berkutik, kalah dari Thailand mungkin saya masih bisa terima, tapi juga berada di bawah Malaysia, Singapura dan Filipina adalah pertanda bahwa bencana tidak hanya berbentuk tsunami atau gempa bumi.

Saya setuju dengan judul tulisan Menpora Indonesia yang terhormat tanggal 5 Januari 2007 yang lalu bahwa “Tidak Ada Yang Instan Dalam Pembinaan Olahraga”. Bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, Jerman, Rusia bahkan Thailand membangun prestasi olahraganya dengan sistematika yang panjang. Sistem dan mekanisme yang telah mereka buat jauh hari dan terus mereka jalankan sampai hari ini. Saya percaya bahwa atlet hebat macam Allen Iverson, Rafael Nadal, Ian Thorpe, David Beckham dll butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mencapai kemampuan dan popularitas seperti sekarang.

Tapi, kemana  torehan-torehan besar yang pernah kita raih dulu? Nanda Telambanua pernah punya rekor dunia, Liem Swie King pernah menjadi terror, Perry Pantouw pernah seperti punya daftar absen untuk jatah medali. Kemana roh kemenangan itu hilang? Jika jawabannya adalah “Pembinaan Tidak Bisa Instan” lalu kemana sistem pembinaan yang dulu pernah menghasilkan gear juara umum Sea Games berulang kali? Bisa jadi saya naïf dan ternyata prestasi masa lalu kita dapat langsung gratis dari langit dan prestasi yang ada sekarang adalah hasil pembinaan berjenjang.

Jika jawabannya adalah dana yang tidak memadai, saya jadi ingin membuat analogi. Pemerintah Indonesia—negeri yang tercantum di paspor saya—sampai hari ini sama sekali tidak memiliki dana untuk membantu produksi film komersial. Padahal negeri-negeri kecil seperti Singapura, Republik Ceska bahkan Guatemala memiliki skema dana dari pemerintah. Yang bisa dilakukan oleh para filmmaker adalah coba selamat dan tetap berkarya. Saat mereka memenangkan sesuatu di luar negeri, nama Indonesia disebut dan mereka tetap bangga jadi orang Indonesia.

Kenyataan ini tidak terjadi di olahraga, pemerintah bisa memberi uang 100 miliar rupiah untuk sebuah Asian Games,  dana APBD juga bisa diserap untuk kepentingan tim sepakbola. Di Indonesia, olahraga memang bukan produksi film, kemajuannya tidak bisa dilakukan oleh individu. Di negeri ini, olahragawan masih manja dan sangat amatir sementara pelaku perfilman bisa mandiri karena mereka professional. Bahkan pergi keluar negeri saja banyak pembuat film yang pergi dengan biaya asing atas prestasi mereka. Di olahraga, tanpa campur tangan negara, saya tidak yakin pembalap sepeda kita bisa makan, tidur, dugem dan latihan di Swiss.

Permasalahan macam ini harusnya sudah dipahami oleh seseorang yang akan duduk di kursi kepemimpinan seperti Bapak Menpora. Makanya saya dan Aheng jadi heran setiap kali membaca pernyataan-pernyataan yang kira-kira bermakna “Ternyata kita jauh tertinggal” atau “Hanya segitulah kemampuan kita” (maaf jika saya tidak lengkap mengutip, tidak ingat kata per kata) yang dilontarkan oleh pihak-pihak penting olahraga kita setelah gagal total di Qatar.

Mengapa kita selalu sadar kebobrokan kita saat sudah mengalami kegagalan? Mengapa pula kita tak pernah bisa memetakan kekuatan dan tahu strategi untuk meraih prestasi padahal prestasi cuma Sea Games doang semudah membalik telapak tangan di masa lalu. Jika jawabannya olahraga kita tertinggal, saya meragukannya. Jika sumber daya manusia potensial yang dimasalahkan, lagi-lagi saya ragu. Jika—lagi-lagi—ukuran fisik yang dipersoalkan, saya cuma bisa geleng kepala.

“Kita bodoh, karena tidak pernah bisa belajar dari apa yang kita punya,” ujar seorang rekan yang minta namanya tidak saya kutip. Saya menyetujuinya walau tetap senang, karena di Sea Games akan datang teman baik saya Aheng Suhendar pasti akan dengan tekun nonton pertandingan-demi pertandingan. Karena dia tahu kita akan banyak kalah dan karena “Target peringkat 3 sama saja kepengen jadi homo!!!” ujarnya sembari membanting surat kabar dengan headline “Indonesia Targetkan Peringkat Tiga Di Sea Games 2007”



1 komentar:

Astrajingga said...

Gue rasa tulisan lo nggak dimuat bukan karena Tabloid Bola cemen dan takut berdebat dengan kumis, tapi karena emang tulisan lo nggak layak muat.

Penutupnya, "...kepengen jadi homo..." sangat homophobic dan menyinggung kaum gay dan lesbian. Sama seperti Jakmania yang mengatakan "daripada jadi juara tiga, mending jadi supporter Persib!"

Kita tahu nggak ada yang salah dengan jadi homo atau jadi supporter Persib, tapi dengan menulisnya seperti itu, terlihat bahwa penulisnya homophobic dan 'ikut menghujat.' Setidaknya ikut merestui (dan menyebarluaskan) penghujatan.

Semoga masukan ini bisa menjadi pelajaran.