
Scott Morris nama orang itu, dia orang Skotlandia, minimal dialah yang bercerita pada saya bahwa legenda kaum immortal di kawasan Highlands Skotlandia hanyalah ciptaan Hollywood. Layaknya orang Skot, Scott bangga pada keturunannya yang bukan Inggris, ia memilih St Andrews ketimbang St George Cross dan juga berdialek Skot yang buat yang tidak biasa bisa bikin pusing itu. Di apartemennyalah saya menginap 3 malam belakangan. Di Edinburgh sedang ada hajatan berbagai festival dan saya menyambanginya.
Di Edinburgh saya teringat lagi kenapa saya bisa berada di Eropa, saya kembali teringat saat pertama kali datang ke Eropa dua tahun lalu dan saat itu saya sangat terperangah, setiap kalimat yang keluar dari mulut saya saat itu adalah "Idih! kayak di film!!!!" Semuanya bagi saya sangat sensasional, orang-orangnya, alamnya, bangunannya, angsa yang bermain di sungai dan merpati yang ramai saat musim panas.
Kini saya sudah berada di Eropa untuk jangka waktu yang relatif lebih lama dari sebelumnya dan kekaguman saya masih belum berhenti. Saya terperangah melihat kastil Edinburgh yang luar biasa itu, saya berdecak kagum melihat bukit Calton yang berbentuk kota--padahal di negara saya bukit doang sih banyak bener deh--, museum-museum dan pameran-pameran seni rupa di Berlin, London, Budapest sampai Glasgow membuat saya menelaah kembali pemahaman saya terhadap seni rupa.....dan di Edinburgh, saya terpukau dengan musik, budaya dan festival mereka yang luar biasa.

Edinburgh di musim panas, semuanya menjadi sangat meriah, dimulai dari festival museum di akhir bulan Juli, lalu berurutan festival-festival seperti buku, musik, seni dan film. Jadilah ibukota Skotlandia ini sebagai kota teramai di musim panas. Aneka tontonan bisa disaksikan di setiap penjuru jalanan Edinburgh, mulai dari yang resmi dan harus bayar (minimal sekitar 7,5 pound) sampai yang gratisan di jalan-jalan. Sebagai orang Asia, tontonan di jalan bagi saya sudah menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Saya melihat bagaimana para street performers ini mampu beraksi sangat menghibur, mereka betul-betul sosok yang mampu mengubah jalanan menjadi panggung pentas mereka, menyihir penonton untuk membludaki pertunjukan mereka sampai membuat mereka melemparkan logam maupun kertas poundsterling ke kota yang mereka sediakan.
"We are professional street performers, Fringe doesn't give us money, we need to live to perform...your quid will be very useful," ucap seorang pemain akrobat yanng aksinya mengundang ratusan penonton di sudut jalan Edinburgh tak jauh dari stasiun kereta. Jika pemain akrobat, pantomime dan teater jalanan hanya mengandalkan pemasukannya dari "sedekah" penonton, tidak dengan para musisi. Mereka masih punya cd untuk dijual dan umumnya berharga sama dengan cd-cd yang dijual di HMV, Virgin atau Fopp dan tentu lebih mahal dari harga di Duta Suara.
"We have family to feed, we have music to hear, you can buy them," teriak personil Clanna Drumma yang cd nya saya beli seharga 10 pound. Secara musikal umumnya mereka biasa-biasa saja, namun aksi live memang selalu berbeda dengan sekedar mendengarkan di radio atau cd player. Faktor, inilah pertama kalinya saya mendengar musik Skotlandia langsung bisa jadi menjadi salah satu faktor lain. Makanya saya jadi berhasrat besar untuk membawa kelompok musik Indonesia tour jalanan ke Eropa paling lambat tahun 2008. Bagi saya ini bukan misi menunjukkan kesenian tradisional bangsa, tapi hanyalah ingin melihat warna negeri saya bisa terlihat di Eropa yang jauh ini.
1 komentar:
Mestinya di Jakarta bisa banget bikin festival macem ini, paling nggak pas Ultah Jakarta misalnya. Udah ada PRJ sih, tapi rasanya PRJ lebih berisi konser musik pop diatas panggung (nggak tau peris, udah bertahun2 nggak ngelongok PRJ).
Post a Comment