Apa yang pertama kali saya pikirkan saat memilih menonton film ini? Hanya bayangan wajah John Torturro yang saya kenal baik saja yang terus melayang, sekaligus membayangkan sesuatu yang satir dalam filmnya. Saya menemukannya di film ketiganya ini. Bagi saya cara ia melucu memang agak-agak mirip dengan apa yang sering dilakukan oleh Coen bersaudara, tapi saya maklum karena film ini memang dibiayai oleh dua bersaudara tersebut.
Ceritanya sih sederhana saja, pasangan suami istri yang mulai jenuh dan sering ribut, namun pada akhirnya saling menyadari bahwa mereka saling memiliki (namanya juga laki-bini sih...) Cara bertutur Torturro yang sangat baik, ia mengemas beberapa lagu tua untuk dijadikan bagian dialog. Ia sulap adegan-adegan yang seharusnya jatuh cengeng menjadi mengundang tawa, hal-hal kecil jadi lebih menampar dan menyadarkan kita, bahwa "Inilah kenyataan hidup yang biasa kita hadapi,"
Sayangnya saya tidak yakin bioskop Indonesia akan memutar film ini, selain dianggap "kurang populer" tentu saja dianggap bukan tontonan anak muda. Anak muda? Kenapa ya di Indonesia film selalu diasosiasikan dengan anak muda? Padahal gak juga tuh....
1 komentar:
Mungkin karena anak muda (baca ABG Jakarta) kl ke bioskop berbondong2 dan brisik banget. Jadi sama pengelola 21 diitung banget... hehehe... AC Nielsen nggak nyurvei penonton bioskop sih ya?
Post a Comment