10/18/06


"Pendatang hanya sampah yang akan memenuhi tanah ini, usir mereka semua!!!" teriak Bill Cutting di potongan adegan film Gangs of New York (2002). Bill adalah tokoh rekaan yang konon menggambarkan sosok sebenarnya di masa itu, masa awal gelombang imigrasi datang menggelombang ke Amerika Serikat lewat pelabuhan New York. Gagasan Bill sederhana saja, ia tidak mau pendatang memenuhi Amerika (mungkin New York) dan kemudian membuat susah pemerintah. "Perang saudara sudah terjadi, kedatangan mereka hanya menambah beban negeri ini," tegasnya.

Lelaki tukang jagal di sebuah rumah jagal ini memang benar, gelombang imigran pada akhirnya memang bisa merepotkan. Kegelisahannya jelas, tanah New York adalah milik penduduk "asli" bukan milik pendatang. Pertanyaannya kemudian menjadi sama "Apakah Bill seorang penduduk asli?" Bisa ya bisa juga tidak. Ia tentu saja bukan keturunan Indian yang notabene adalah penduduk pribumi tanah Amerika, ia adalah keturunan Irlandia generasi ke sekian. Bisa jadi ia "cuma" generasi kedua, tapi kegelisahannya jelas. Setidaknya sama jelasnya dengan saya........

"Jakarta semakin tidak masuk akal!!!" ujar Aheng Garcia, teman baik saya. Tentu saja kalimat dia saya sensor karena jika tidak kalimat selanjutnya jika diterjemahkan bahasa Inggris akan menjadi "fuck, cunt, dick, shithole, ass" dan lain-lain. "Macetnya makin gak kira-kira, KANCUT!!!!" itu tambahannya. Saya tentu setuju, soal mall dan pemandangan kemewahan, Jakarta hebat sekali. Terima kasih pada bapak-bapak pejabat yang sudah rajin membangun busway, mall,
Jakarta saya tidak kalah bahkan oleh kota semetropolis London sekalipun (saya malah jamin kalau Budapest cuma desa penuh sengsara di mata Jakarta)

Tapi soal di jalanan, Jakarta jauh lebih brengsek dari kota besar manapun di Eropa (minimal yang pernah saya datangi). Malas saya membandingkan Jakarta saya yang banjir mall megah dengan Bombay yang juga padat tapi sulit mall itu, atau Bangkok yang juga macet tapi tak punya busway. Hari itu saya dan Aheng terperangkap di mantapnya kemacetan Jakarta, empat jam kami butuhkan untuk mencapai Cempaka Putih dari Kemang. Padahal saat SMA dan masih naik bus, saya hanya butuh 30 menit untuk jarak yang sama.

Apa sih masalahnya? Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya sepakat para pendatanglah penyebab semua ini. Arus urbanisasi makin tak terkontrol dan para raja-raja kecil di dae
rah sibuk membeli kendaraan baru untuk pamer di Jakarta. Jumlah penduduk melonjak dan kredit mobil dan motor makin terjangkau membuat para pendatang enteng saja datang ke Jakarta dan memenuhi kota saya.

"Gue gak bikin macet dong, kan gue naek bus," ujar Jiban teman saya yang KTP nya masih Bandung. "Justru orang macam kalian yang bikin bus kota disini makin ugal-ugalan dan penuh!!!" repet saya sebal. Di Jakarta semua terlihat mudah dicapai, padahal tidak juga. Mereka yang kalah semakin hari semakin banyak sementara yang menang juga terus bertambah. Saya bukan pendatang, saya kan lahir disini, jadi saya merasa berhak untuk sebal pada para pendatang ini.

Beberapa menit lalu saya melihat beberapa orang menyebrang jalan dengan potongan baru datang dari daerah. Jika saja saya dan Aheng adalah Bill Cutting dkk, pasti kami akan mendatangi mereka dengan golok terhunus sambil bersumpah serapah "Pulang sana ke kampung kali
an!!! Dukung Persija aja gak mau kok nekad dateng ke Jakarta, dasar orang kampung!!!"

1 komentar:

Anonymous said...

wah mas, padahal swastika juga pendatang lho... apa sebaiknya dia diusir juga dari jakarta, biar pulang ke kampungnya?

terus sampeyan nanti hidup sama siapa?