
The Real Football
Saya selalu percaya bahwa Eropa adalah tanah air sepakbola. Keyakinan itu ada terus di hati saya sampai saya akhirnya tiba di Budapest, ibukota negeri yang pernah melahirkan nama-nama besar macam Puskas Ferenc, Koscis Sandor, Hidegkuti dll. Hongaria kini mirip-mirip seperti Indonesia, mereka lebih menyukai liga-liga asing ketimbang liga negerinya sendiri.
“Orang Hongaria masa kini tidak bisa main sepakbola!” ujar Horvath Miklos, seorang filmmaker yang (bersama saya dan beberapa rekan lain) akan ke Berlin mempresentasikan filmnya menjelang semifinal dan final Piala Dunia nanti. Hampir senada dengan
Miklos, Robert juga berpendapat senada “Saya tidak pernah benar-benar mengikuti sepakbola Hongaria, saya hanya mau menyaksikan sepakbola sebenarnya,” kalimat ini ia lontarkan menjelang kami berangkat menuju Millenaris Park menyaksikan final Champions League 2006.
Saya jadi teringat Indonesia. Di tanah air saya, sepakbola adalah permainan nomor satu yang sangat digilai masyarakatnya. Di Indonesia, sepakbola menjadi semacam harapan hidup baru. Juara sepakbola akan memberi harapan hidup lebih tinggi pada masyarakatnya. Kalimat tadi bisa benar jika kita bicara di tataran masyarakat komunal kebanyakan, namun jika bergeser sedikit ke kelas menengah, maka sepakbola hanyalah komoditi dan sepakbola sebenarnya adalah yang dimainkan oleh liga-liga be
sar di Eropa.
“Menonton sepakbola Indonesia adalah sebuah kerugian!!!” kalimat milik Presiden Big Reds alias perkumpulan penggemar Liverpool FC ini terpaksa kembali saya kutip, karena kalimat nyaris serupa juga saya dengar di Budapest. “Liga Hongaria diisi orang-orang tolol yang tidak bisa bermain sepakbola dan para penjudi selalu berada di belakang mereka!” tegas Laszlo rekan asal Hongaria lainnya.
Di televisi saya juga melihat stadion yang hanya terisi sedikit lebih banyak dari setengah kapasitas stadion. Keadaan ini tentu menyedihkan mengingat negeri ini pernah jadi buah bibir di tahun 50-an. “Sudah saatnya melupakan golden team, Hongaria tidak akan bisa maju entah sampai kapan,” tambah Robert sembari kemudian bercerita tentang kenangan terakhirnya di Piala Dunia 1982 “Yang saya ingat kami kalah 1-6 dari Uni Sovyet,”
Millenaris Park adalah sebuah taman tempat keluarga berkumpul, di salah satu sudutnya terdapat tempat seperti hangar yang menyediakan berbagai permainan. Di musim dingin ia akan menjadi tempat bermain anak-anak dalam ruangan, sementara menjelang musim panas seperti sekarang ia menjadi ruang futsal. Petang itu saya menemukan Millenaris Park disulap menjadi tempat nonton bareng partai puncak Liga Para Juara Eropa
.
Saya jadi teringat suasana di kampung halaman. Tempat-tempat umum akan dipenuhi oleh para pencinta sepakbola lengkap dengan atribut tim yang didukung “Umumnya kami menonton Liga Spanyol, jadi saya dukung Barcelona, vamos Barcelona!!” teriak Robert di tengah keramaian sekitar 2500 penonton yang bila tidak beratribut Barcelona maka akan beratribut Arsenal.
Saya sempat tidak percaya jika mereka ini adalah orang-orang Hongaria, namun saat mereka bicara saya baru paham bahwa bagi mereka sepakbola bukanlah masalah fanatisme melulu, tapi lebih ke masalah tontonan. Di dekat sungai Danube yang terkenal itu saya menyaksikan Barcelona menaklukkan Arsenal, saya menjadi saksi betapa dahsyatnya Samuel Eto’o dan Ronaldinho menari dan betapa gebleknya aksi Jens Lehmann di menit ke 12. Barcelona jadi juara dan Budapest berpesta seolah-olah merekalah yang menjadi juara.
Saat tulisan ini tiba di tangan Anda, saya yakin saya sudah menyaksikan pertandingan Liga Hongaria yang sesungguhnya. Seorang kawan bersedia mengajak saya menyaksikan tim kesayangannya bertarung di luar kota “Betul mau ikut ke partai tandang kami?” ia terperangah saat tahu saya tertarik ikut bahkan keluar kota sekalipun untuk timnya, Kijspest FC. “Mungkin kamu tidak akan menyaksikan the real football tapi sekurangnya kamu akan melihat the real fanatism,” ujar Riz si Kijspestmania sejati tersebut.
Tulisan ini dimuat di freeKICK! edisi bulan Juni
0 komentar:
Post a Comment