12/24/06

Dimana Anda Berdiri?

Professor DR, RCW Poespoprodjo SH SS Llm, demikian ia minta disebut. Lima belas tahun lalu ia berdiri di depan kelas kuliah saya dan berteriak lantang "Dimana titik berdirimu? Karena kebenaran tidak ditentukan oleh apa yang kamu anggap benar, tapi oleh bagaimana kamu melihatnya," Saat itu saya adalah mahasiswa semester pertama sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung, Jawa Barat. Saya terkesiap oleh kalimat itu (walau bisa jadi kemudian saya sadar ia mengutip Nietszche) dan terngiang oleh kalimat yang nyaris sama yang saya dengar sekitar dua tahun sebelumnya.

"Dunia akan tampak berbeda jika kamu berdiri di atas meja ini," ujar John Keating, ia adalah tokoh rekaan yang diperankan oleh Robin Williams. Sosok pengajar di sebuah pre-college di Amerika Serikat. John mengajarkan pada muridnya, bahwa dunia ternyata lebih indah dari apa yang biasa mereka lihat dan ketahui "Bagaimana kalian melihatnya jauh lebih penting untuk bisa lebih memahaminya," kalimat inilah yang kemudian menginspirasikan Neil Pearry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke) dkk.

Sekitar
tujuh belas tahun lepas dari saat saya pertama kali menyaksikan film karya Peter Weir tersebut sebuah "kericuhan" kecil-kecilan terjadi. Tim juri FFI alias Festival Film Indonesia menjadi obyek keributan dan sasaran "amarah" masyarakat film Indonesia. "Bagaimana bisa mereka memenangkan Ekskul?" sergah Harry Suharyadi yang tanpa sengaja bertemu dengan saya dalam kondisi setengah sadar (kebanyakan minum bir katanya). Saya kira ia bercanda, karena memenangkan Ekskul di mata saya nyaris sama dengan kemenangan Yunani atas Portugal di final Piala Eropa 2004. Kemenangan sepakbola negatif atas sepakbola positif.

"Loe gak usah nanya melulu, kita udah cape maki-maki FFI," ujar Harry lagi. Saya yang sedari tadi menganggap sutradara berdagu panjang itu sebagai lel
ucon sontak pasang muka serius dan bertanya "Beneran?" iya mengangguk dan menenggak birnya dengan wajah bete.

Ekskul menang, Mendadak Dangdut dan Denias yang dianggap publik lebih pantas harus tertunduk lemas. Lebih lemas lagi saat Berbagi Suami yang digandrungi banyak orang dan meraih penghargaan lokal dimana-mana harus gagal meraih nominasi film terbaik "Apa standar mereka???" teriak para pencinta film Indonesia.


Prof DR Poespoprodjo SH SS Llm menegakkan kepalanya dan berkata lantang "Jika kamu
tidak bisa pahami apa yang orang lain pikirkan, maka hargai saja pendapatnya sebagai kebenaran," setelah membentak seorang siswanya yang ketiduran ia kembali berkata "Sesuatu salah bukan karena ia tidak benar, tapi karena orang tidak biasa pada hal tersebut. Pak Poespo (demikian kami menyebutnya) kini sudah bergabung bersama Jim Morrison, Moh Hatta dan orang-orang yang sudah moksa ke alam sana, tapi kata-kata "Perspektif adalah kunci!!!" selalu menghantui diri saya. Dalam konteks FFI saya jadi ingin berkata "Perspektif mereka membenarkan Ekskul dan Nayato Fio Nuala memenangkan gelar dan pergilah gelar itu ke arahnya," Ketika perspektif itu berbeda dengan para pencinta film Indonesia dan publik lainnya, urusannya adalah kitalah yang bersalah, karena kita tidak paham cara pikir para juri dan perspektif apa yang mereka pakai.

"Tema yang membumi, kedekatan pada isu dan sesuatu yang sederhana tai kucing!!!" umpat Budi Kurniawan seorang editor muda sembari membanting koran Kompas di tangannya "Kalau itu ukurannya, Mendadak Dangdut dong yang menang," Budi alias Bujeng alias Samson bisa jadi benar, tapi apakah cara berpikir tentang nilai-nilai keakraban yang ia miliki sama dengan yang dipunyai oleh para juri???

Saya setuju jika FFI adalah tolok ukur perfilman Indonesia, barometer tertinggi tentang kisah sukses dan pencapaian sinema kita. Masalahnya apakah kita sudah menyematkan label juri pada orang-orang yang tepat? Tahun lalu kita berisik dan berteriak pada kualitas pilihan para juri (sampai-sampai Hanung sang pemenang "merasa malu" sudah menjadi yang terbaik) hari ini kita kembali ribut dan berteriak. Sesuatu harus dilakukan jika tahun depan kita sudah kelelahan berteriak.

FIFA adalah lembaga sepakbola tertinggi di dunia, mereka percaya bahwa sepakbola adalah permainan manusia, dinilai oleh manusia dan dihakimi oleh manusia. "Tak ada tempat bagi teknologi untuk menghakimi sepakbola," jelas Sepp Blatter, Presiden FIFA, saat ia menolak ide penggunaan kamera untuk membantu keputusan wasit (sebagai gantinya ia menggunakan alat komunikasi antara keempat wasit yang bekerja) Film juga adalah karya buatan manusia untuk manusia, menyerahkan mekanisme penilaian pada komputer tentu saja adalah keputusan konyol, mengganti juri bisa jadi tak ada artinya jika standar yang jelas saja tidak ada. Merevolusi sistem bisa jadi adalah jawabannya.

1 komentar:

Anonymous said...

Gw pikir Budi "Samson" Bujeng benar dengan tai kucingnya.... Kita sendiri sudah tidak tahu arti nilai sebenarnya... mungkin para juri FFI memakai metode "Relativitas" jadi nilai film terbaik tahun ini ya.... relatif gitu loh....