Professor DR, RCW Poespoprodjo SH SS Llm, demikian ia minta disebut. Lima belas tahun lalu ia berdiri di depan kelas kuliah saya dan berteriak lantang "Dimana titik berdirimu? Karena kebenaran tidak ditentukan oleh apa yang kamu anggap benar, tapi oleh bagaimana kamu melihatnya," Saat itu saya adalah mahasiswa semester pertama sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bandung, Jawa Barat. Saya terkesiap oleh kalimat itu (walau bisa jadi kemudian saya sadar ia mengutip Nietszche) dan terngiang oleh kalimat yang nyaris sama yang saya dengar sekitar dua tahun sebelumnya.
"Dunia akan tampak berbeda jika kamu berdiri di atas meja ini," ujar John Keating, ia adalah tokoh rekaan yang diperankan oleh Robin Williams. Sosok pengajar di sebuah pre-college di Amerika Serikat. John mengajarkan pada muridnya, bahwa dunia ternyata lebih indah dari apa yang biasa mereka lihat dan ketahui "Bagaimana kalian melihatnya jauh lebih penting untuk bisa lebih memahaminya," kalimat inilah yang kemudian menginspirasikan Neil Pearry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke) dkk.
Sekitar

"Loe gak usah nanya melulu, kita udah cape maki-maki FFI," ujar Harry lagi. Saya yang sedari tadi menganggap sutradara berdagu panjang itu sebagai lelucon sontak pasang muka serius dan bertanya "Beneran?" iya mengangguk dan menenggak birnya dengan wajah bete.
Ekskul menang, Mendadak Dangdut dan Denias yang dianggap publik lebih pantas harus tertunduk lemas. Lebih lemas lagi saat Berbagi Suami yang digandrungi banyak orang dan meraih penghargaan lokal dimana-mana harus gagal meraih nominasi film terbaik "Apa standar mereka???" teriak para pencinta film Indonesia.
Prof DR Poespoprodjo SH SS Llm menegakkan kepalanya dan berkata lantang "Jika kamu tidak bisa pahami apa yang orang lain pikirkan, maka hargai saja pendapatnya sebagai kebenaran," setelah membentak seorang siswanya yang ketiduran ia kembali berkata "Sesuatu salah bukan kare

"Tema yang membumi, kedekatan pada isu dan sesuatu yang sederhana tai kucing!!!" umpat Budi Kurniawan seorang editor muda sembari membanting koran Kompas di tangannya "Kalau itu ukurannya, Mendadak Dangdut dong yang menang," Budi alias Bujeng alias Samson bisa jadi benar, tapi apakah cara berpikir tentang nilai-nilai keakraban yang ia miliki sama dengan yang dipunyai oleh para juri???
Saya setuju jika FFI adalah tolok ukur perfilman Indonesia, barometer tertinggi tentang kisah sukses dan pencapaian sinema kita. Masalahnya apakah kita sudah menyematkan label juri pada orang-orang yang tepat? Tahun lalu kita berisik dan berteriak pada kualitas pilihan para juri (sampai-sampai Hanung sang pemenang "merasa malu" sudah menjadi yang terbaik) hari ini kita kembali ribut dan berteriak. Sesuatu harus dilakukan jika tahun depan kita sudah kelelahan berteriak.
FIFA adalah lembaga sepakbola tertinggi di dunia, mereka percaya bahwa sepakbola adalah

1 komentar:
Gw pikir Budi "Samson" Bujeng benar dengan tai kucingnya.... Kita sendiri sudah tidak tahu arti nilai sebenarnya... mungkin para juri FFI memakai metode "Relativitas" jadi nilai film terbaik tahun ini ya.... relatif gitu loh....
Post a Comment