"Gimana sih kok Indonesia bisa kalah?" tulisa Olivia Hidayat, seorang teman yang bukan saudara dari Taufik Hidayat si jagoan bulu tangkis, apalagi rekanan dari Rudy Hidayat teman saya yang sempat pernah rada gila. Teman ini adalah seseorang yang saya kenal nun jauh di London sana, pelajar di sebuah sekolah di Delft, Belanda. Ia selalu menyatakan keinginannya untuk terus berada di Eropa dan hidup disana
.jpg)
Malam ini ia membuat saya bete gak karuan, dua hari saya harus lari dari bayangan kekalahan menyebalkan tim merah putih dari Arab Saudi, puluhan ribu orang di stadion Bung Karno dan jutaan masyarakat Indonesia masih kesal pada prilaku wasit Al Badmawi dari Emirat Arab sekaligus menyesalkan kekalahan Sabtu lalu itu. Seorang warga Indonesia di tanah jauh (yang ironisnya juga sangat fanatik pada sepakbola) malah seolah menertawai kekalahan tim kebanggaan saya. Kekalahan Indonesia kemarin sama sekali bukan lelucon, belum pernah saya bisa sebangga ini pada tim merah putih. Permainan yang menawan, teknik yang tak kalah dengan lawan dan kerjasama tim yang padu membuat saya seolah melupakan kekurangan stamina yang selalu menjadi kendala tim sepakbola kita.
.jpg)
Olivia menyebut kalimat saya "Maklumlah, kemampuan fisik pemain kita memang cuma kuat buat main 75 menit," sebagai sebuah alasan. Jika kalimat macam ini keluar dari seorang Turki, Italia, Spanyol atau bangsa lain di dunia ini, mungkin saya cuma bisa tersenyum kecut (kalau keterlaluan saya akan pukuli). Tapi jika keluar dari seorang WNI, tentu saja saya bete luar biasa. Sampai sore ini, tak satupun orang merasa kekalahan dari Arab Saudi sebagai sesuatu yang memalukan, semua menyadari bahwa sepakbola selalu membutuhkan pemenang atau yang kalah dan di malam ketika Singa Padang Pasir menjadi pemenang, kita harus rela menjadi pecundang.
Saya menantikan dengan penuh rasa tak sabar pertandingan besok, dan saya berharap bisa akhirnya dalam hidup ini melihat negara saya ternyata bisa juga dibanggakan.
0 komentar:
Post a Comment