“Pertama kali saya melihat Amsterdam Arena adalah saat saya berusia 8 tahun,” ujar Marc Overmars salah seorang pemain terbaik Belanda jebolan akademi Ajax. Pemain yang kemudian besar bersama Ajax Amsterdam ini hanyalah satu dari sekian banyak pesepakbola sukses dan menjadi besar akibat pembinaan. Sebut saja nama David Beckham, Ryan Giggs dan lain sebagainya, semua adalah contoh nyata bahwa sepakbola memang bukan pekerjaan simsalabim.
4 kali penyelenggaraan Piala Coca-Cola dan melihat bakat-bakat hebat dan kadang luar biasa di arena 5 lawan 5 ini membuat saya selalu berpikir “Kemana mereka akan pergi setelah ini?” Ada satu-dua pemain yang mampu bergerak layaknya pemain profesional, sementara lebih banyak lagi yang sangat memahami bagaimana sepakbola harus dimainkan.
Tapi, kemana mereka pergi sekarang? Tentu saja ada yang mampu menembus liga profesional seperti Eggy Meldiansyah di Pelita Jaya atau Sartibi di Mitra Kukar, ada juga yang kini sedang mengemban masa depan negeri ini di tim U-16 di Uruguay sampai 5 tahun ke depan, lalu kemana sisanya?
Sejak 2005 turnamen ini diselenggarakan, sudah 4 kali juga saya selalu memperhatikan aksi anak muda yang seharusnya bisa diberi label “Masa depan sepakbola Indonesia,” Apa yang sudah dilakukan oleh Coca-Cola hanyalah sebuah upaya, sekaligus bentuk kepedulian terhadap kemajuan sepakbola negeri ini. Coca-Cola tentu tidak bisa bekerja sendirian begitu saja, karena tanpa para pemandu bakat yang datang memperhatikan kualitas anak-anak ini, lalu siapa yang akan menampung mereka.
Ingat, masa SMA hanya dijalani selama 3 tahun dan kita tidak akan pernah tahu kemana bakat-bakat ini bepergian. Ada yang beruntung sadar akan potensinya, namun lebih banyak lagi yang tidak sadar, bahwa sepakbola bisa membuat hidup jauh lebih bahagia. Coca-Cola sudah melakukan apa yang mereka bisa, saatnya bagi siapapun yang berwenang….para pemandu bakat atau organisasi sepakbola terkait yang harus cepat meresponnya.
0 komentar:
Post a Comment