"Filmmaker bicara dengan karyanya," ujar Riri Riza suatu ketika. Hari itu kami terlibat perbincangan yang tidak serius-serius amat, tapi ia dengan serius menanggapi pertanyaan "Mengapa Nicholas Saputra yang ia pilih untuk memerankan Gie," Terlepas dari kemudian apakah saya suka atau tidak dengan Gie, saya setuju pada yang ia ucapkan. Semua orang tentu punya caranya sendiri dalam bersikap dan semua orang juga punya pendapatnya sendiri-sendiri. Bahkan saat Romeo*Juliet ini masih jauh dari masa tayang pun sudah banyak orang yang terus mengejar untuk menghakimi karya ini, positif atau negatif.
"Dia memiliki cara pandang yang berbeda untuk jadi filmmaker, baginya membuat film adalah duduk di depan meja dan memandangi komputer," ujar Orlow Seunke mantan direktur Jakarta International Film Festival yang kini baru saja mempertontonkan karya terbarunya Jermal di Pusan International Film Festival tentang seorang teman saya. Saya tidak mengerti bagaimana seharusnya menjadi filmmaker, karena saya tidak pernah mengenyam sekolah formal dalam bidang ini. Yang paling saya pahami adalah bahwa saya harus terus berkarya dan yang terus saya pikirkan sekarang adalah membuat film.
Ada orang yang terus menyebut saya sebagai seorang komentator bola yang lalu meloncat ke jalur filmmaking. Saya tidak mengerti apakah ia mengerti jalan pekerjaan saya atau memang ia jauh lebih tahu dari apa yang saya perbuat ataupun siapapun. Saya merasa berkarya apapun itu, entah melukis, menulis puisi ataupun filmmaking adalah persoalan bagaimana merasakan keadaan sekitar. Memahami dan berinteraksi dengan manusia dan alam, bukan sekedar berinteraksi dengan benda-benda mati atau bahkan memutus jalur komunikasi verbal dengan manusia dan memilih untuk sekedar melontarkan huruf demi huruf.
Memahami manusia memiliki makna jauh lebih besar dari sekedar bisa melihat seperti apa manusia bertindak. Kadang kita harus bisa mengerti mengapa seseorang melakukan ini dan mengapa ia tidak melakukan itu, bagi saya....itulah yang harus dilakukan dengan sadar atau tidak oleh sekedar kreator. Duduk di rumah, bergerak minimal atau bahkan hanya sekedar berkirim sms atau memelototi internet bukanlah medium bagi para seniman.....karena kita manusia bukan mesin.
Kebetulan saya mencintai sepakbola seperti kemudian saya mencintai wanita, gadis-gadis manis dan Abigail Maryam serta ibunya. Lalu apakah itu sebuah kesalahan? Rasanya bukan, karena saya memiliki kepercayaan besar pada sepakbola maka banyak orang percaya bahwa saya bisa muncul di depan publik atas nama permainan itu.
Well.....saya sama sekali tidak mencoba menjawab pertanyaan soal amatirisme ataupun profesionalisme saya pada seni audio visual. Yang saya tahu, saya memilih untuk bersikap seperti apa yang Riri pernah katakan di sebuah galeri di kawasan Kemang Utara......bahwa filmmaker menjawab dengan karyanya. Lalu saya ingin menambahkan "Dan seorang pastor/ustadz sepakbola menjawab dengan kepekaannya terhadap permainan yang agung itu,"
2 komentar:
musuh adalah orang yang selalu mendendam ketika melihat sahabatanya bahagia dan ksatria dalah orang yang tidak pernah marah karena rasa dendam itu
"saya mencintai sepakbola seperti kemudian saya mencintai wanita, gadis-gadis manis dan Abigail Maryam serta ibunya."
Too many love there.. :D
Post a Comment