"Sepakbola merefleksikan sebuah bangsa!" ujar Franz Beckenbauer, baginya bagaimana bangsa itu dan segala situasi terkininya tergambar dari bagaimana sepakbola mereka berjalan. "Australia akan bermain mengandalkan postur tinggi mereka dan mengandalkan umpan-umpan silang," tulis media-media utama nasional yang saya baca. Benar begitu? Saya rasa siapapun kita memang harus bisa memanfaatkan apa yang kita punya tak peduli berapa ukuran tubuh yang kita punya. Bayangan pertarungan sangat seru dan berkesudahan seri 1-1 adalah di kepala saya adalah 11 tahun lalu di Perancis, saat Kroasia yang dipenuhi tubuh-tubuh raksasa dengan rataan 185 cm kewalahan menghadapi tubuh-tubuh kecil pemain Meksiko yang rata-rata bertinggu 175 cm.
Ukuran tubuh adalah kambing hitam terbaik yang kita punya, padahal sepakbola mengajarkan bahwa jika tubuh terlalu tinggi maka kita malah tidak akan terlalu baik bermain sepakbola.. Lihat saja kebanyakan pemenang gelar pemain terbaik versi apapun, tak pernah jatuh ke tangan pemain dengan tinggi diatas 185 cm. "You're too tall to play football," kata teman saya Martin Tibabuzo dari Argentina pada Laurentiu dari Rumania yang tingginya mencapai 198 cm.
"VO2 max pemain kita aja gak ada yang bener!!!" jerit Athpal Paturusi mengomentari note saya sebelum ini, artinya fisik pemain kita memang tidak standar seperti seharusnya pemain sepakbola. Lalu apa yang mereka kerjakan selama ini pada pembinaan pemain kita? Bukankah tugas atlet untuk berlatih dan pembina untuk membentuk mereka untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan standar yang ada?
Lihat bagaimana dominannya kita di babak pertama, saat Budi Sudarsono terus menggebrak dari sisi kanan sebelum akhirnya pindah ke tengah pertahanan Australia. Atau bagaimana Talaouhu yang mirip anak kecil diantara Australia-Australia dewasa itu berlari merepotkan mereka. Kita terlalu menganggap mereka hebat hanya karena banyak pemain mereka berkompetisi di Eropa, padahal....tak satupun skuad yang turun semalam berkompetisi di Eropa, praktis hanya Craig Moore yang pernah merasakan megahnya kompetisi level atas dunia itu.
Lalu kita menganggap mereka sekuat Brasil atau Argentina yang memang layak ditakuti walau turun tanpa skuad Eropa mereka. Bahkan di Solo saja juara Liga Australia pernah dihantam Persik Kediri. Artinya para down unders itu bukanlah ras yang memang harus ditakuti, sepakbola bukanlah makanan utama disana dan kita jauh lebih superior dalam urusan militansi dan fanatisme pada sepakbola.
Lihat bagaimana dukungan itu tidak pernah berhenti menggema, Garuda begitu diagungkan di dalam stadion dan bagaimana wajah-wajah itu menyanyikan Indonesia Raya dengan kemampuan terbaik mereka.....hanya di stadion utama. Ketika di menit awal Aussies memulai pertandingan dengan cara yang lambat, seharusnya pemain dan Benny Dollo sudah tahu, bahwa mereka jeri pada kita....dan mereka tidaklah superior.
Saat Firman Utina berhasil melepaskan tembakan jarak jauh kearah gawang mereka, seharusnya kita langsung sadar bahwa pertandingan semalam adalah milik kita. Tak perlu terlalu mengutik bola di daerah sendiri dan fokus pada kejadian di lapangan serta bertarung penuh harga diri seperti yang ditunjukkan Hariono dan Persib yang saya nobatkan sebagai pemain terbaik di game semalam.
Merasa inferior adalah masalah utama bangsa kita. Bagaimana kita begitu menghargai orang asing ketimbang diri sendiri dan bagaimana kita seolah ingin menjilat kulit putih hanya karena merasa mereka lebih superior. "Jangan-jangan Amrozi dilarang masuk Sari Ratu makanya dia nekad ngebom tempat itu," seloroh seorang kawan tentang tempat yang memang hanya diperuntukkan bagi turis hanya dengan alasan "Mereka tamu," mental keparat macam inilah yang mematikan kita. Berapa kali dalam satu hari kita mendengar kalimat merendahkan bangsa sendiri dan percaya bahwa bangsa lain lebih baik? Berapa kali kata "Dasar orang Indonesia!" keluar dari mulut yang sering saya yakini belum pernah bertemu dengan orang asing di negeri mereka sendiri. Transformasi sikap inilah yang lalu turun ke lapangan dan membuat kita jadi inferior di dalam lapangan.
Saat melihat Budi Sudarsono melangkah dengan kepala tegap dan dada membusung saat ia nyaris mencetak gol. Saya berkata pada Edmond Waworuntu yang duduk di sebelah saya "Udah pede dia sekarang, bentar lagi gol neh...." Nyatanya rasa percaya diri itu muncul di saat kaki-kaki 11 lelaki dengan Garuda di dadanya itu sudah melemah. Dan ketika VO2 max yang diributkan oleh Athpal dan semua pelaku sepakbola Indonesia semakin melemah, strategi terbaik milik Jose Mourinho pun tak akan mampu mengatasi.
Fisik dan mental adalah masalah utama pemain kita. Jika mental adalah turunan dari mayoritas sikap kita yang inferior, maka fisik adalah turunan dari sikap tidak disiplin yang kita punya. Mungkin bukan salah pemain, tapi yang saya tahu dan Anda tahu....pekerjaan mereka adalah atlet dan berlatih fisik adalah pekerjaan mereka setiap hari.
Ukuran tubuh adalah kambing hitam terbaik yang kita punya, padahal sepakbola mengajarkan bahwa jika tubuh terlalu tinggi maka kita malah tidak akan terlalu baik bermain sepakbola.. Lihat saja kebanyakan pemenang gelar pemain terbaik versi apapun, tak pernah jatuh ke tangan pemain dengan tinggi diatas 185 cm. "You're too tall to play football," kata teman saya Martin Tibabuzo dari Argentina pada Laurentiu dari Rumania yang tingginya mencapai 198 cm.
"VO2 max pemain kita aja gak ada yang bener!!!" jerit Athpal Paturusi mengomentari note saya sebelum ini, artinya fisik pemain kita memang tidak standar seperti seharusnya pemain sepakbola. Lalu apa yang mereka kerjakan selama ini pada pembinaan pemain kita? Bukankah tugas atlet untuk berlatih dan pembina untuk membentuk mereka untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan standar yang ada?
Lihat bagaimana dominannya kita di babak pertama, saat Budi Sudarsono terus menggebrak dari sisi kanan sebelum akhirnya pindah ke tengah pertahanan Australia. Atau bagaimana Talaouhu yang mirip anak kecil diantara Australia-Australia dewasa itu berlari merepotkan mereka. Kita terlalu menganggap mereka hebat hanya karena banyak pemain mereka berkompetisi di Eropa, padahal....tak satupun skuad yang turun semalam berkompetisi di Eropa, praktis hanya Craig Moore yang pernah merasakan megahnya kompetisi level atas dunia itu.
Lalu kita menganggap mereka sekuat Brasil atau Argentina yang memang layak ditakuti walau turun tanpa skuad Eropa mereka. Bahkan di Solo saja juara Liga Australia pernah dihantam Persik Kediri. Artinya para down unders itu bukanlah ras yang memang harus ditakuti, sepakbola bukanlah makanan utama disana dan kita jauh lebih superior dalam urusan militansi dan fanatisme pada sepakbola.
Lihat bagaimana dukungan itu tidak pernah berhenti menggema, Garuda begitu diagungkan di dalam stadion dan bagaimana wajah-wajah itu menyanyikan Indonesia Raya dengan kemampuan terbaik mereka.....hanya di stadion utama. Ketika di menit awal Aussies memulai pertandingan dengan cara yang lambat, seharusnya pemain dan Benny Dollo sudah tahu, bahwa mereka jeri pada kita....dan mereka tidaklah superior.
Saat Firman Utina berhasil melepaskan tembakan jarak jauh kearah gawang mereka, seharusnya kita langsung sadar bahwa pertandingan semalam adalah milik kita. Tak perlu terlalu mengutik bola di daerah sendiri dan fokus pada kejadian di lapangan serta bertarung penuh harga diri seperti yang ditunjukkan Hariono dan Persib yang saya nobatkan sebagai pemain terbaik di game semalam.
Merasa inferior adalah masalah utama bangsa kita. Bagaimana kita begitu menghargai orang asing ketimbang diri sendiri dan bagaimana kita seolah ingin menjilat kulit putih hanya karena merasa mereka lebih superior. "Jangan-jangan Amrozi dilarang masuk Sari Ratu makanya dia nekad ngebom tempat itu," seloroh seorang kawan tentang tempat yang memang hanya diperuntukkan bagi turis hanya dengan alasan "Mereka tamu," mental keparat macam inilah yang mematikan kita. Berapa kali dalam satu hari kita mendengar kalimat merendahkan bangsa sendiri dan percaya bahwa bangsa lain lebih baik? Berapa kali kata "Dasar orang Indonesia!" keluar dari mulut yang sering saya yakini belum pernah bertemu dengan orang asing di negeri mereka sendiri. Transformasi sikap inilah yang lalu turun ke lapangan dan membuat kita jadi inferior di dalam lapangan.
Saat melihat Budi Sudarsono melangkah dengan kepala tegap dan dada membusung saat ia nyaris mencetak gol. Saya berkata pada Edmond Waworuntu yang duduk di sebelah saya "Udah pede dia sekarang, bentar lagi gol neh...." Nyatanya rasa percaya diri itu muncul di saat kaki-kaki 11 lelaki dengan Garuda di dadanya itu sudah melemah. Dan ketika VO2 max yang diributkan oleh Athpal dan semua pelaku sepakbola Indonesia semakin melemah, strategi terbaik milik Jose Mourinho pun tak akan mampu mengatasi.
Fisik dan mental adalah masalah utama pemain kita. Jika mental adalah turunan dari mayoritas sikap kita yang inferior, maka fisik adalah turunan dari sikap tidak disiplin yang kita punya. Mungkin bukan salah pemain, tapi yang saya tahu dan Anda tahu....pekerjaan mereka adalah atlet dan berlatih fisik adalah pekerjaan mereka setiap hari.
0 komentar:
Post a Comment