1/26/09

“Adalah sebuah kehormatan untuk bisa bermain di Piala Dunia, namun saya lahir di Argentina dan hanya akan bermain untuk negeri ini,” ujar Daniel Bilos, striker Boca Juniors selepas membaca surat permintaan resmi yang ditulis sendiri oleh Presiden Kroasia, Stjepan Mesic. Bilos warga Argentina, namun darah Kroasia yang mengalir deras dari pihak kakeknya, memberi ia kemungkinan untuk turun di pertandingan internasional mewakili Kroasia, tanah leluhurnya.

Surat itu sendiri konon diantarkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Kroasia yang ditemani oleh Duta Besar Kroasia untuk Argentina. Bilos adalah penyerang yang mematikan, bagi Kroasia ia adalah aset berharga sementara bagi Argentina ia hanyalah pemain semenjana yang sulit bersaing di level tertinggi. Mengapa pemain bertinggi 192 cm ini menjadi begitu penting bagi Kroasia? “Sepakbola memperkenalkan negeri ini pada dunia, kami berhutang budi sangat besar pada sepakbola,” ujar Dejan Simeunovic, wartawan asal negeri berpenduduk 4,5 juta jiwa tersebut.

Benarkah demikian? Mari kita tarik sedikit ingatan kita ke belakang. Yugoslavia adalah sebuah negeri persekutuan yang menyatukan beberapa negara di kawasan Balkan. Persekutuan yang menyatukan Serbia, Montenegro, Bosnia, Kroasia, Macedonia dan Slovenia ini berdiri selepas Perang Dunia I. Saat itu blok timur sedang beridiri kokoh dan Yugoslavia adalah salah satu pilarnya.

Akhir era 80-an ditandai dengan rubuhnya komunisme dan menyusul berturut-turut negeri Uni Sovyet sekaligus tembok Berlin. Era 90an rontoknya negeri Balkan bernama Yugoslavia yang ditandai perang saudara antara Serbia-Kroasia dan Serbia-Bosnia. Tahun 1994 menjadi awal berdirinya Kroasia dan mulainya negeri itu mendaftarkan dirinya ke organisasi tertinggi sepakbola FIFA.

“Saya sama sekali tidak tahu dimana letak Kroasia sampai akhirnya melihat mereka di Perancis 1998,” ujar Alejandro Solar Luna seorang filmmaker asal Meksiko. Partisipasi Kroasia di Piala Dunia 1998 sekaligus catatan gelar terbaik ketiga adalah “proklamasi” eksistensi dari negeri kecil tersebut.
Beberapa bulan lalu, Montenegro menyusul Kroasia, Bosnia dll untuk menjadi negara merdeka dan harapan terbesar dari Presiden federasi sepakbola mereka yang bernama Dejan Savicevic adalah “Lolos sekurangnya ke Piala Eropa agar mereka mendengar keberadaan kami,”

“Indonesia itu terletak dimana?” pertanyaan itu selalu mengganggu saya mulai dari London, Hamburg, Kaiserlautern, Lyon, Krakow sampai Budapest. Seolah negeri terbesar nomer 3 di dunia ini sama sekali tak ada di dalam peta. Sulit menjelaskan pada teman-teman saya yang multi kultural itu bahwa Indonesia adalah negara besar, bersumber daya alam besar sekaligus multi etnis. Sulit, karena umumnya orang Eropa memang tidak belajar sejarah dan geografi sejauh itu.

“Kami juga tadinya tidak tahu bahwa ada negara bernama Trinidad dan Tobago,” jelas Patryk Ciechocinsky, seorang editor asal Staracowice, Polandia. “Tapi kehadiran mereka di Jerman membuat kami jadi tahu siapa mereka,” jelasnya tentang Trinidad dan Tobago yang nyaris mempermalukan Inggris di Dortmund musim panas tahun lalu.

Indonesia adalah negara yang di atas kertas memiliki segalanya bahkan segala syarat untuk menjadi negara kaya. Namun, Indonesia sama sekali tidak ada dalam peta pergaulan dunia. Masyarakat dunia praktis lebih mengenal Malaysia atau Thailand dari kawasan Asia Tenggara ini. Pariwisata yang selalu digembar-gemborkan itu sama sekali tak ada bunyinya di Eropa atau Amerika Selatan.

Kekayaan alam yang katanya hebat itu sama sekali tidak membuat bangsa ini jadi kaya. Lebih parah lagi, rasa geer bahwa negeri ini terkenal di muka bumi kare dicap sebagai negeri teroris ternyata hanya isapan jempol belaka, tak satupun masyarakat awam di Eropa tahu bahwa pernah ada bom di Bali, gedung BEJ atau dimanapun, justru tsunami di Aceh dan gempa di Yogya yang membuat mereka membuka lagi buku geografi.

Sepakbola adalah kultur baru yang sangat mendunia, cara terbaik untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia. Persis seperti yang dilakukan oleh Jepang 20 tahun lalu saat mereka memutuskan untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia. “Kami sudah memiliki segalanya, namun identitas kami belum lengkap di dunia, karena kami belum mengenal sepakbola dengan baik,” ujar Takuya Okagawa, Presiden JFL (Japan Football League) yang pertama. Maka jadilah J-League di tahun 1993.

Kini, Jepang adalah salah satu kekuatan utama di Asia. Partisipasi mereka 3 kali berturut-turut di Piala Dunia serta dua kali berturut-turut menjadi juara Asia adalah bukti nyata keberhasilan mereka untuk lebih dikenal dunia. Nippon memang telah digagalkan Arab Saudi di semifinal untuk mengejar hattrick sebagai raja Asia, namun keampuhan mereka membuat mereka layak disebut sebagai salah satu “abang” di peta pergaulan dunia.

Kita sudah “gagal” menjadi bagian dari pergaulan dunia lewat segala misi budaya, kita sudah “gagal” jadi masyarakat dunia lewat rangkaian teror bom. Jadi semoga saja aksi penuh semangat dan inspirasi yang berturut-turut kita lakukan di tiga laga penuh decak kagum di Gelora Bung Karno telah membuat kita jadi lebih dikenal.

Budi Sudarsono, Syamsul Chaeruddin dkk pernah berlari dengan penuh determinasi dan gelar juara Piala Asia memang masih tetap jauh di atas langit. Tapi, aksi mereka telah menunjukkan bahwa mengimbangi kekuatan-kekuatan mapan itu bukanlah mimpi. Lalu, kita jadi bisa berkata bahwa “Kita sudah mendekati dunia.”

0 komentar: