“Obama’s party or Pintu Terlarang’s party?” tanya Micah Fisher sore itu di lapangan futsal menteng. Dengan tegas saya memilih Pintu Terlarang, bukan karena Joko Anwar si sutradara adalah kawan saya, tapi lebih tegas lagi karena Joko adalah orang Indonesia dan saya secara langsung atau tidak punya kepentingan dengan dirinya. Joko bagi saya adalah salah satu sutradara penting di tanah air, dari tangannya pernah lahir Janji Joni yang menghibur dan Kala yang saya cukup suka walau kabarnya gak laku. Joko dengan 3 karyanya sebagai sutradara saya rasa telah memberi tawaran baru bagi sinema Indonesia yang dari dulu memang cenderung menganut azas me too product.
Sementara itu saya tidak kenal Obama dan secara geografis saya rasa saya sama sekali tidak punya keterikatan apapun dengan dirinya. Saya bukan teman mainnya saat dia bersekolah di Menteng misalnya. Saya juga bukan politisi dan kabarnya bahasa Inggris saya kabarnya kurang punya dialek Amerika seperti yang biasa terdengar jika kita nonton acara MTV Indonesia atau siaran radio-radio remaja. Jadi saya pikir, buat apa saya datang ke pesta Obama jika ada premiere Pintu Terlarang.
“Harapan baru sedang dibawa oleh Obama,” ujar beberapa teman saya, bisa jadi iya. Lalu, apakah memang saya yang sudah sangat skeptis pada politik ataukah memang Obama memang seolah memberi harapan semu pada kita semua? Saya lagi-lagi tidak peduli, karena betulan deh…bahkan SBY yang katanya sudah setengah mati membenarkan kehidupan kita saja bagi saya baru berhasil mencatatkan dirinya sebagai pelaku penurunan harga yang riil. Maksud saya, setelah bertahun-tahun saya selalu bilang bahwa hanya harga diri yang bisa turun, maka sekarang sudah 3 kali saya merasakan harga bensin juga bisa turun.
Lalu apa yang harus saya harapkan dari Obama? Orang bilang dia akan membuat Amerika jadi jauh lebih baik dari sekarang, jauh lebih bersahabat dari sekarang, jauh lebih asik dan cool dari sekarang. “Dia akan memberi perubahan,” kata Micah menjawab kesan tak peduli yang secara eksplisit saya sampaikan pada dia. “Ketika Obama diumumkan memenangkan pemilihan, saya sangat gembira,” kata Ananda Sukarlan pianis jagoan yang sekarang bagi saya bukan lagi sekedar teman Facebook itu. Dia sangat antusias dan merayakan dengan serius saat George Bush dilempar sepatu oleh wartawan Irak yang memang wajar membencinya. Ananda alias Andy sangat antusias, bisa jadi karena hubungan Eropa dan Amerika yang sangat dekat dan sering signifikan dengan berbagai kebijakan politik di tempat dimana ia tinggal.
Indonesia??? Hmmmmmm……katanya banyak orang Indonesia gagal ke Amerika Serikat hanya karena punya nama dengan nuansa muslim alias kearab-araban, dengan Obama yang konon punya darah muslim di tubuhnya katanya aturan tentang ini bisa jadi akan ditinjau ulang.
“Negeri kita dianggap Negara terorris, makanya susah keluar negeri,” ujar seorang anggota atase di Budapest. Sebegitukah? Saya yakin tidak, teman saya yang asal Rumania dan sama sekali tidak punya nama berbau Islam juga ditolak sampai 4 kali visanya saat ingin mengunjungi pacarnya di New York, teman lain yang asal Belarussia juga mengalami hal yang sama, bedanya ia baru melakukan percobaan sampai 3 kali. Tapi mereka sama sekali tidak menyalahkan nama dan negara mereka, mereka memilih untuk menyalahkan jumlah uang di rekening mereka yang kurang meyakinkan.
Saya kok tidak mau jadi orang yang merasa bahwa negara kita sudah dihakimi dunia sebagai negara terorris, sama sekali tidak. Kalau benar kita terorris, lalu apa dong nama yang tepat bagi negeri-negeri Arab yang jumlah orangnya luar biasa banyak di berbagai negara utama dunia? Saya lebih percaya bahwa lebih dari setengah masyarakat kita kita punya masalah besar di urusan ekonomi dan SBY serta siapapun yang berkepentingan kabarnya sedang bekerja keras untuk menjadikan segalanya baik. Apa iya atau tidak, saya juga tidak tahu. Tapi saya lebih percaya (walau sebenarnya gak percaya-percaya amat) bahwa orang-orang yang mukanya sedang terpajang dimana-mana di negeri ini itu lebih mikirin Indonesia daripada Obama misalnya.
Setidaknya jika kita kesal pada mereka, mereka bisa memahami apa yang kita katakana. Kita bisa semena-mena berkata bahwa mereka penipu ulung, tukang janji, pengobral harapan atau sumpah serapah yang masih sering saya pakai tapi saya sensor di blog ini. Bagaimana dengan Obama? Saya rasa keputusan si wartawan Irak yang melempar sepatu sangat tepat, karena Bush saya yakin tidak paham Bahasa Arab sama sekali, dan memaki orang akan jauh lebih mantap dengan bahasa sendiri ketimbang bahasa orang lain.
Jadi saya bertanya lagi “Apakah harapan kita sebegitu besarnya pada Obama? Diakah ‘Presiden dunia’ saat ini?” Beberapa pesta besar di Indonesia telah menjawab pertanyaan saya dengan sangat lugas, siaran langsung pelantikannya yang bahkan juga dilakukan oleh sebuah radio remaja di Jakarta serta berbagai ajakan pada saya juga telah mengonfirmasi segala impresi yang saya butuhkan. Ditambah lagi dengan segala foto di media massa besoknya saya seolah harus setuju pada yang lain bahwa Obama adalah “Presiden kita juga”. Sama seperti saat Tim seorang camera person di sebuah agen berita asing di Indonesia berkata “I love the shot when he left White House,” yang tentu saja pada salam perpisahan George Bush saat meninggalkan Gedung Putih dari helicopter yang membawanya.
Obama hari ini sudah mulai bekerja dan segala kegiatannya sampai ke pesta pribadinya masih terus jadi santapan media-media di Indonesia. Nama adiknya Maya Soetoro juga kerab disebut, bahkan rencana kedatangannya ke Indonesia bulan Juni nanti seakan dicetak tebal dimana-mana. Lebih dalam lagi, keinginannya untuk bisa melihat rumah dimana ia tinggal dulu di areal Menteng seolah menjadi bagian sangat penting dan dicetak tebal dalam setiap penulisan tentang dirinya.
Skeptiskah saya? Bisa jadi iya, tapi saya merasa bahwa saya sama sekali tidak skeptis…hanya mencoba realistis dan lebih memilih Joko Anwar dan filmnya yang malam itu mampu memberi tawaran visual yang sangat menarik. Kemampuan Wencislaus saat menyulap areal depan Megaria menjadi sesuatu yang sangat berbeda (tapi Jok, karpet Megaria XXI masih keliatan tuh hehehe…) adalah salah satu adegan favorit saya.
Saya memilih datang ke acaranya Joko dan Lifelike Pictures malam itu, karena saya merasa bahwa saya dan kita semua lebih punya keterikatan yang tak dapat dihindarkan dengan Joko dalam konteks bahwa ia adalah seorang Indonesia dengan film Indonesia, karya Indonesia…bukan sekedar orang Amerika, yang kebetulan pernah tinggal di Indonesia, berlatar belakang multi etnis, dianggap mengerti budaya (dan agama…) lain. Padahal…….ia tetaplah orang Amerika.
Sementara itu saya tidak kenal Obama dan secara geografis saya rasa saya sama sekali tidak punya keterikatan apapun dengan dirinya. Saya bukan teman mainnya saat dia bersekolah di Menteng misalnya. Saya juga bukan politisi dan kabarnya bahasa Inggris saya kabarnya kurang punya dialek Amerika seperti yang biasa terdengar jika kita nonton acara MTV Indonesia atau siaran radio-radio remaja. Jadi saya pikir, buat apa saya datang ke pesta Obama jika ada premiere Pintu Terlarang.
“Harapan baru sedang dibawa oleh Obama,” ujar beberapa teman saya, bisa jadi iya. Lalu, apakah memang saya yang sudah sangat skeptis pada politik ataukah memang Obama memang seolah memberi harapan semu pada kita semua? Saya lagi-lagi tidak peduli, karena betulan deh…bahkan SBY yang katanya sudah setengah mati membenarkan kehidupan kita saja bagi saya baru berhasil mencatatkan dirinya sebagai pelaku penurunan harga yang riil. Maksud saya, setelah bertahun-tahun saya selalu bilang bahwa hanya harga diri yang bisa turun, maka sekarang sudah 3 kali saya merasakan harga bensin juga bisa turun.
Lalu apa yang harus saya harapkan dari Obama? Orang bilang dia akan membuat Amerika jadi jauh lebih baik dari sekarang, jauh lebih bersahabat dari sekarang, jauh lebih asik dan cool dari sekarang. “Dia akan memberi perubahan,” kata Micah menjawab kesan tak peduli yang secara eksplisit saya sampaikan pada dia. “Ketika Obama diumumkan memenangkan pemilihan, saya sangat gembira,” kata Ananda Sukarlan pianis jagoan yang sekarang bagi saya bukan lagi sekedar teman Facebook itu. Dia sangat antusias dan merayakan dengan serius saat George Bush dilempar sepatu oleh wartawan Irak yang memang wajar membencinya. Ananda alias Andy sangat antusias, bisa jadi karena hubungan Eropa dan Amerika yang sangat dekat dan sering signifikan dengan berbagai kebijakan politik di tempat dimana ia tinggal.
Indonesia??? Hmmmmmm……katanya banyak orang Indonesia gagal ke Amerika Serikat hanya karena punya nama dengan nuansa muslim alias kearab-araban, dengan Obama yang konon punya darah muslim di tubuhnya katanya aturan tentang ini bisa jadi akan ditinjau ulang.
“Negeri kita dianggap Negara terorris, makanya susah keluar negeri,” ujar seorang anggota atase di Budapest. Sebegitukah? Saya yakin tidak, teman saya yang asal Rumania dan sama sekali tidak punya nama berbau Islam juga ditolak sampai 4 kali visanya saat ingin mengunjungi pacarnya di New York, teman lain yang asal Belarussia juga mengalami hal yang sama, bedanya ia baru melakukan percobaan sampai 3 kali. Tapi mereka sama sekali tidak menyalahkan nama dan negara mereka, mereka memilih untuk menyalahkan jumlah uang di rekening mereka yang kurang meyakinkan.
Saya kok tidak mau jadi orang yang merasa bahwa negara kita sudah dihakimi dunia sebagai negara terorris, sama sekali tidak. Kalau benar kita terorris, lalu apa dong nama yang tepat bagi negeri-negeri Arab yang jumlah orangnya luar biasa banyak di berbagai negara utama dunia? Saya lebih percaya bahwa lebih dari setengah masyarakat kita kita punya masalah besar di urusan ekonomi dan SBY serta siapapun yang berkepentingan kabarnya sedang bekerja keras untuk menjadikan segalanya baik. Apa iya atau tidak, saya juga tidak tahu. Tapi saya lebih percaya (walau sebenarnya gak percaya-percaya amat) bahwa orang-orang yang mukanya sedang terpajang dimana-mana di negeri ini itu lebih mikirin Indonesia daripada Obama misalnya.
Setidaknya jika kita kesal pada mereka, mereka bisa memahami apa yang kita katakana. Kita bisa semena-mena berkata bahwa mereka penipu ulung, tukang janji, pengobral harapan atau sumpah serapah yang masih sering saya pakai tapi saya sensor di blog ini. Bagaimana dengan Obama? Saya rasa keputusan si wartawan Irak yang melempar sepatu sangat tepat, karena Bush saya yakin tidak paham Bahasa Arab sama sekali, dan memaki orang akan jauh lebih mantap dengan bahasa sendiri ketimbang bahasa orang lain.
Jadi saya bertanya lagi “Apakah harapan kita sebegitu besarnya pada Obama? Diakah ‘Presiden dunia’ saat ini?” Beberapa pesta besar di Indonesia telah menjawab pertanyaan saya dengan sangat lugas, siaran langsung pelantikannya yang bahkan juga dilakukan oleh sebuah radio remaja di Jakarta serta berbagai ajakan pada saya juga telah mengonfirmasi segala impresi yang saya butuhkan. Ditambah lagi dengan segala foto di media massa besoknya saya seolah harus setuju pada yang lain bahwa Obama adalah “Presiden kita juga”. Sama seperti saat Tim seorang camera person di sebuah agen berita asing di Indonesia berkata “I love the shot when he left White House,” yang tentu saja pada salam perpisahan George Bush saat meninggalkan Gedung Putih dari helicopter yang membawanya.
Obama hari ini sudah mulai bekerja dan segala kegiatannya sampai ke pesta pribadinya masih terus jadi santapan media-media di Indonesia. Nama adiknya Maya Soetoro juga kerab disebut, bahkan rencana kedatangannya ke Indonesia bulan Juni nanti seakan dicetak tebal dimana-mana. Lebih dalam lagi, keinginannya untuk bisa melihat rumah dimana ia tinggal dulu di areal Menteng seolah menjadi bagian sangat penting dan dicetak tebal dalam setiap penulisan tentang dirinya.
Skeptiskah saya? Bisa jadi iya, tapi saya merasa bahwa saya sama sekali tidak skeptis…hanya mencoba realistis dan lebih memilih Joko Anwar dan filmnya yang malam itu mampu memberi tawaran visual yang sangat menarik. Kemampuan Wencislaus saat menyulap areal depan Megaria menjadi sesuatu yang sangat berbeda (tapi Jok, karpet Megaria XXI masih keliatan tuh hehehe…) adalah salah satu adegan favorit saya.
Saya memilih datang ke acaranya Joko dan Lifelike Pictures malam itu, karena saya merasa bahwa saya dan kita semua lebih punya keterikatan yang tak dapat dihindarkan dengan Joko dalam konteks bahwa ia adalah seorang Indonesia dengan film Indonesia, karya Indonesia…bukan sekedar orang Amerika, yang kebetulan pernah tinggal di Indonesia, berlatar belakang multi etnis, dianggap mengerti budaya (dan agama…) lain. Padahal…….ia tetaplah orang Amerika.
2 komentar:
cup, lha review filmnya mana? tak baca sampai akhir, ternyata memang lagi ngomongin Obama, bukan Pintu Terlarang
Susi Ivvaty
Itu poster keren banget. Hahaha...
Itu Obama punya butt, hahaha....
Post a Comment