“Apakah kau akan tetap mencintaiku saat aku semakin menua dan jompo?” ujar Daisy Fuller pada Benjamin Button. Sebuah pertanyaan klasik dari para perempuan bagi pasangan mereka, apakah “kita” (karena saya lelaki) akan tetap mencintai mereka saat waktu memakan mereka dan bisa jadi membuat mereka jadi tidak semenarik seperti hari ini saat kita begitu berbunga-bunga berkata cinta pada mereka.
Saya ataupun Anda pasti selalu mempunyai jawaban yang sebenarnya sama saja namun saya pastikan memiliki variasi cita rasa yang berbeda, tapi intinya kita akan selalu berkata “Aku akan terus mencintaimu bahkan jika urat nadi ini harus berhenti bekerja,” Karena kita bukanlah Benjamin Button, lelaki yang menyebut dirinya “I was born under an unusual circumstances” ini memiliki pilihan jawaban yang tak kalah dahsyatnya “Apakah kamu akan tetap mencintaiku di saat aku terus mengompol dan meminta untuk menyusu?”
Karena Benjamin memang terlahir dalam keadaan yang sangat berbeda dengan kita semua. Saat lahir dokter berkata “Ia tidak seperti bayi, tapi malah memiliki segalanya yang dimiliki oleh lelaki renta,” Benjamin terlahir dengan fisik tua untuk kemudian menjadi semakin muda, muda, semakin muda hingga akhirnya ia akan menjadi remaja, kanak-kanak, balita, bayi sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.
The Curious Case of Benjamin Button (TCCoBB) adalah karya terkini milik David Fincher, orang yang pernah menghasilkan mega karya Fight Club, Seven, The Game dan Panic Room. Berdasarkan cerita pendek milik Scott H Fitgerald. Ditulis ulang oleh Eric Roth yang pernah menulis Forrest Gump, TCCoBB versi layar lebar adalah sebuah adaptasi sempurna antar media. Eric sama sekali tidak mengambil setting, alur bahkan keutuhan karakter yang terserak di versi cerpennya. Ia bahkan membunuh banyak karakter dan menghadirkan karakter-karakter baru karena medium sinema memang berbeda dengan cerpen ataupun novel.
Praktis tinggal premis dari kisah ini sendiri yang ia pertahankan dan kemudian menjadi fondasi utama film yang disebut oleh Balki secara fantastis sebagai “Setiap shotnya adalah lukisan!”. Sementara di sepanjang bukunya kita akan tertawa atas semua humor satir yang muncul, filmnya justru membuat kita merenung tentang segala kehidupan yang kita jalani.
Benjamin dan Daisy pertama kali bertemu saat masing-masing berusia 9 dan 5 tahun, namun jika Daisy terlihat layaknya anak-anak berusia 5 tahun maka Benjamin malah lebih cocok ia panggil kakek karena berpotongan layaknya lelaki berusia 71 tahun. Sepanjang film mereka saling mencintai dan merindu, di sepanjang film juga Daisy terus mengagumi Benjamin yang semakin lama semakin tampan, muda dan matang.
Sementara banyak orang ingin terus muda, apakah menjadi semakin muda saat usia terus bertambah adalah sebuah keuntungan? Benjamin Button justru merasa tidak. Sepanjang hidupnya ia merasa sendiri, layaknya lelaki renta yang tinggal di rumah jompo ia terus merasa hidupnya hanya tinggal waktu dan memang sendirian. Di saat usia bertambah dan fisiknya semakin muda, ia malah semakin tidak memiliki teman karena semua temannya justru semakin renta dan lemah sehingga bukan lagi teman yang pas baginya.
Tak seorangpun ingat bahwa lelaki yang diperankan dengan luar biasa oleh Brad Pitt ini pernah tua dan semakin lama semakin muda. Tidak seperti kebanyakan orang, di akhir hidupnya Benjamin tidak mendapatkan penghormatan yang layak dari mereka yang mengenalnya, hanya karena ia semakin lama semakin berfisik anak-anak. Sebaliknya saat ia kanak-kanak, segala sikap segan dan menghargainya sebagai orang dewasa justru terus ia dapatkan.
Dengan tata gambar dan make up yang menawan, TCCoBB adalah kandidat perebutan Oscar yang cukup kuat. Kemampuan menyulap Brad Pitt dari kakek-kakek jompo sampai akhirnya jadi abege adalah pencapaian tata rias yang luar biasa. Senada dengan kemampuan memudakan kembali Cate Blanchett sekaligus menuakannya “Setiap shot adalah lukisan!” seperti kata Balki tadi, karena seluruh gambarnya memang bagai berpuisi dan memiliki kisahnya masing-masing.
Seperti kata Drover dalam Australia “Pada akhirnya yang terpenting dari hidup adalah kisah-kisah yang kita punya,”. TCCoBB menegaskan itu, ketika banyak orang berpikir bahwa yang terpenting dari hidup ini adalah apa yang kita punya, maka film sepanjang 2,5 jam ini dengan lugas berkata bahwa hidup adalah sebuah pengalaman hingga pengalaman apa saja yang pernah kita alami jauh lebih penting dari apa yang kita punya.
Dan ketika Benjamin tertidur di pangkuan Daisy sebagai bayi untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya kemudian merenung…..apa saja yang sudah pernah saya lakukan dalam hidup ini?
Saya ataupun Anda pasti selalu mempunyai jawaban yang sebenarnya sama saja namun saya pastikan memiliki variasi cita rasa yang berbeda, tapi intinya kita akan selalu berkata “Aku akan terus mencintaimu bahkan jika urat nadi ini harus berhenti bekerja,” Karena kita bukanlah Benjamin Button, lelaki yang menyebut dirinya “I was born under an unusual circumstances” ini memiliki pilihan jawaban yang tak kalah dahsyatnya “Apakah kamu akan tetap mencintaiku di saat aku terus mengompol dan meminta untuk menyusu?”
Karena Benjamin memang terlahir dalam keadaan yang sangat berbeda dengan kita semua. Saat lahir dokter berkata “Ia tidak seperti bayi, tapi malah memiliki segalanya yang dimiliki oleh lelaki renta,” Benjamin terlahir dengan fisik tua untuk kemudian menjadi semakin muda, muda, semakin muda hingga akhirnya ia akan menjadi remaja, kanak-kanak, balita, bayi sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.
The Curious Case of Benjamin Button (TCCoBB) adalah karya terkini milik David Fincher, orang yang pernah menghasilkan mega karya Fight Club, Seven, The Game dan Panic Room. Berdasarkan cerita pendek milik Scott H Fitgerald. Ditulis ulang oleh Eric Roth yang pernah menulis Forrest Gump, TCCoBB versi layar lebar adalah sebuah adaptasi sempurna antar media. Eric sama sekali tidak mengambil setting, alur bahkan keutuhan karakter yang terserak di versi cerpennya. Ia bahkan membunuh banyak karakter dan menghadirkan karakter-karakter baru karena medium sinema memang berbeda dengan cerpen ataupun novel.
Praktis tinggal premis dari kisah ini sendiri yang ia pertahankan dan kemudian menjadi fondasi utama film yang disebut oleh Balki secara fantastis sebagai “Setiap shotnya adalah lukisan!”. Sementara di sepanjang bukunya kita akan tertawa atas semua humor satir yang muncul, filmnya justru membuat kita merenung tentang segala kehidupan yang kita jalani.
Benjamin dan Daisy pertama kali bertemu saat masing-masing berusia 9 dan 5 tahun, namun jika Daisy terlihat layaknya anak-anak berusia 5 tahun maka Benjamin malah lebih cocok ia panggil kakek karena berpotongan layaknya lelaki berusia 71 tahun. Sepanjang film mereka saling mencintai dan merindu, di sepanjang film juga Daisy terus mengagumi Benjamin yang semakin lama semakin tampan, muda dan matang.
Sementara banyak orang ingin terus muda, apakah menjadi semakin muda saat usia terus bertambah adalah sebuah keuntungan? Benjamin Button justru merasa tidak. Sepanjang hidupnya ia merasa sendiri, layaknya lelaki renta yang tinggal di rumah jompo ia terus merasa hidupnya hanya tinggal waktu dan memang sendirian. Di saat usia bertambah dan fisiknya semakin muda, ia malah semakin tidak memiliki teman karena semua temannya justru semakin renta dan lemah sehingga bukan lagi teman yang pas baginya.
Tak seorangpun ingat bahwa lelaki yang diperankan dengan luar biasa oleh Brad Pitt ini pernah tua dan semakin lama semakin muda. Tidak seperti kebanyakan orang, di akhir hidupnya Benjamin tidak mendapatkan penghormatan yang layak dari mereka yang mengenalnya, hanya karena ia semakin lama semakin berfisik anak-anak. Sebaliknya saat ia kanak-kanak, segala sikap segan dan menghargainya sebagai orang dewasa justru terus ia dapatkan.
Dengan tata gambar dan make up yang menawan, TCCoBB adalah kandidat perebutan Oscar yang cukup kuat. Kemampuan menyulap Brad Pitt dari kakek-kakek jompo sampai akhirnya jadi abege adalah pencapaian tata rias yang luar biasa. Senada dengan kemampuan memudakan kembali Cate Blanchett sekaligus menuakannya “Setiap shot adalah lukisan!” seperti kata Balki tadi, karena seluruh gambarnya memang bagai berpuisi dan memiliki kisahnya masing-masing.
Seperti kata Drover dalam Australia “Pada akhirnya yang terpenting dari hidup adalah kisah-kisah yang kita punya,”. TCCoBB menegaskan itu, ketika banyak orang berpikir bahwa yang terpenting dari hidup ini adalah apa yang kita punya, maka film sepanjang 2,5 jam ini dengan lugas berkata bahwa hidup adalah sebuah pengalaman hingga pengalaman apa saja yang pernah kita alami jauh lebih penting dari apa yang kita punya.
Dan ketika Benjamin tertidur di pangkuan Daisy sebagai bayi untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya kemudian merenung…..apa saja yang sudah pernah saya lakukan dalam hidup ini?
1 komentar:
Sehabis nonton , saya juga merenung. Bukan film yang bagus2 amat, tapi sangat baik untuk direnungkan. Malahan terlalu monoton menurut saya. Masih lebih bagus Forrest Gump deh.
Post a Comment