"Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang kita tidak akan bisa melakukan segalanya?" komentar Sathya Buana di tulisan blog saya beberapa waktu lalu. Inilah salah satu premis utama dari Pride and Glory karya Gavin O'Connor, bukan karya luar biasa memang tapi film ini mengingatkan saya pada segala kejadian yang secara langsung maupun tidak berimplikasi pada hidup saya. Tersebutlah, Jimmy Eagan (Colin Farrel) seorang polisi keren dengan istri lumayan cakep, rumah berhalaman dan tentu layaknya mimpi Amerika tentu saja jago main American Football. Iparnya Ray Tierney (Edward Norton) adalah polisi satu departemen lainnya yang punya dedikasi untuk membuktikan, "bahwa kerja kita adalah melindungi dan melayani"
Terbunuhnya 5 polisi di sebuah apartemen murahan yang diduga milik pedagang obat bius Angel Tezo (Ramon Rodriguez) membuat para polisi bagai kebakaran jenggot dan bertekad menangkap siapa pembunuhnya. Disinilah cerita bergerak dengan arah yang pasti, layaknya skenario-skenario yang pernah ditulis oleh Joe Carnahan (Narc, Smokin' Aces) cerita bergerak cepat menuju pembuktian betapa rusaknya moral orang-orang yang mengedepankan uang ketimbang apa yang semestinya ia kerjakan. Begitu juga para penegak kebenaran ini.
"Money is not everything, but without money we're nothing," kalimat khas Amway yang dulu sering saya dengar keluar dari mulut Adhie Kangkung, kawan baik saat kuliah di Bandung dulu. Bagi saya, kalimat ini lebih benar ketimbang kalimat pembuka tulisan ini. Karena bukan uang yang menggerakkan kita, tapi kitalah yang seharusnya menggerakkan uang tersebut. Masalahnya, segala tuntutan masa kanak-kanak dan situasi sosial kita memang menuntut kita untuk hidup menjadi orang yang materialistis dan kemudian bergerak menjadi fatalis, itupun terjadi di Romeo Juliet.
"Jadi seniman adalah menjadi warrior atau jadi petani!" ujar Edmond Waworuntu, dan dari sinilah kisah fiksi panjang kami dimulai. Dari keinginan besar untuk menjadi warrior di industri yang dipenuhi para fatalis yang kemudian membuat sinema kita hanya terbagi di 3 genre besar, horror, komedi sex dan sisanya. Bagi saya orang-orang besar seperti Joko Anwar, Garin Nugroho, Riri Riza atau Nia Dinata adalah sedikit nama yang bisa disebut sebagai pengusung genre "sisanya" tadi. Orang-orang yang menolak menjadi fatalis walau mereka sadar hal ini akan membuat kesempatan mereka untuk seproduktif para pelaku di 2 genre lainnya menjadi tidak besar.
"Karena saya harus bangga pada apa yang saya kerjakan," ujar seorang teman yang selalu meminta saya menyimpan namanya pada apapun yang ia kerjakan. Kalimat-kalimat inilah yang terus mengiangi telinga saya ketika saya berpikir harus mengerjakan sesuatu. Ada hal yang tentu saja tidak saya suka dan ada hal yang sangat saya suka dan percaya bahwa saya bisa membanggakannya. Tapi jelas saya hidup di sebuah tatanan masyarakat yang membuat saya terpaksa untuk ambigu diantara dua hal tersebut, apakah menjadi kaya tanpa kebanggaan atau menjadi biasa saja dengan kebanggaan?
Banyak orang hidup dengan hal kedua dan banyak lagi orang berhasil dengan baik mengawinkan kekayaan dengan kesuksesan pribadi "Hidup setidaknya harus memiliki 3 hal penting, pendapatan, karir dan kesenangan," ujar Ferry Indrasjarief lelaki yang membuat saya merasa bahwa ternyata saya tidak gila-gila amat pada sepakbola. "Tiga-tiganya loe punya, hidup loe luar biasa, satu aja lo punya udah cukup, gak punya tiga-tiganya mendingan loe introspeksi diri dulu aja," tegasnya.
Dan seperti kata Edmond semalam "Cup, Bogalakon adalah statement with attitude, kita adalah para warrior yang akan terus bergerak mencari lawan......nanti kita bikin kebanggaan-kebanggaan lain buat hidup kita," karena kami tak hanya ingin membuat anak kami dewasa, berpendidikan dan aman secara finansial, kami juga ingin mereka berkata "Bapak gue orang besar lho,"
Terbunuhnya 5 polisi di sebuah apartemen murahan yang diduga milik pedagang obat bius Angel Tezo (Ramon Rodriguez) membuat para polisi bagai kebakaran jenggot dan bertekad menangkap siapa pembunuhnya. Disinilah cerita bergerak dengan arah yang pasti, layaknya skenario-skenario yang pernah ditulis oleh Joe Carnahan (Narc, Smokin' Aces) cerita bergerak cepat menuju pembuktian betapa rusaknya moral orang-orang yang mengedepankan uang ketimbang apa yang semestinya ia kerjakan. Begitu juga para penegak kebenaran ini.
"Money is not everything, but without money we're nothing," kalimat khas Amway yang dulu sering saya dengar keluar dari mulut Adhie Kangkung, kawan baik saat kuliah di Bandung dulu. Bagi saya, kalimat ini lebih benar ketimbang kalimat pembuka tulisan ini. Karena bukan uang yang menggerakkan kita, tapi kitalah yang seharusnya menggerakkan uang tersebut. Masalahnya, segala tuntutan masa kanak-kanak dan situasi sosial kita memang menuntut kita untuk hidup menjadi orang yang materialistis dan kemudian bergerak menjadi fatalis, itupun terjadi di Romeo Juliet.
"Jadi seniman adalah menjadi warrior atau jadi petani!" ujar Edmond Waworuntu, dan dari sinilah kisah fiksi panjang kami dimulai. Dari keinginan besar untuk menjadi warrior di industri yang dipenuhi para fatalis yang kemudian membuat sinema kita hanya terbagi di 3 genre besar, horror, komedi sex dan sisanya. Bagi saya orang-orang besar seperti Joko Anwar, Garin Nugroho, Riri Riza atau Nia Dinata adalah sedikit nama yang bisa disebut sebagai pengusung genre "sisanya" tadi. Orang-orang yang menolak menjadi fatalis walau mereka sadar hal ini akan membuat kesempatan mereka untuk seproduktif para pelaku di 2 genre lainnya menjadi tidak besar.
"Karena saya harus bangga pada apa yang saya kerjakan," ujar seorang teman yang selalu meminta saya menyimpan namanya pada apapun yang ia kerjakan. Kalimat-kalimat inilah yang terus mengiangi telinga saya ketika saya berpikir harus mengerjakan sesuatu. Ada hal yang tentu saja tidak saya suka dan ada hal yang sangat saya suka dan percaya bahwa saya bisa membanggakannya. Tapi jelas saya hidup di sebuah tatanan masyarakat yang membuat saya terpaksa untuk ambigu diantara dua hal tersebut, apakah menjadi kaya tanpa kebanggaan atau menjadi biasa saja dengan kebanggaan?
Banyak orang hidup dengan hal kedua dan banyak lagi orang berhasil dengan baik mengawinkan kekayaan dengan kesuksesan pribadi "Hidup setidaknya harus memiliki 3 hal penting, pendapatan, karir dan kesenangan," ujar Ferry Indrasjarief lelaki yang membuat saya merasa bahwa ternyata saya tidak gila-gila amat pada sepakbola. "Tiga-tiganya loe punya, hidup loe luar biasa, satu aja lo punya udah cukup, gak punya tiga-tiganya mendingan loe introspeksi diri dulu aja," tegasnya.
Dan seperti kata Edmond semalam "Cup, Bogalakon adalah statement with attitude, kita adalah para warrior yang akan terus bergerak mencari lawan......nanti kita bikin kebanggaan-kebanggaan lain buat hidup kita," karena kami tak hanya ingin membuat anak kami dewasa, berpendidikan dan aman secara finansial, kami juga ingin mereka berkata "Bapak gue orang besar lho,"
1 komentar:
betul bang Ucup, mudah2an ada atau tanpa uang kita bisa dapet yg namanya pride dan glory :d
Post a Comment