6/25/09


"Dulu gue santai-santai aja Indonesia udah menang mlulu badmintonnya, sekarang udah pake tereak-tereak dan tahan napas.....menang aja susah!"ujar alm. Aheng Suhendar, kawan baik saya dan banyak orang lainnya yang lebih dulu mendahului kita. Saya jadi teringat masa kanak-kanak itu, saat saya menangis tak percaya menerima kekalahan Liem Swie King atas Han Jian, hanya karena saya kira ia bukan manusia biasa yang tak akan bisa dikalahkan. Saat saya bersorak gembira atas backhand keras Icuk Sugiarto yang menghunjam di sudut lapangan areal milik Yang Yang. Atau saat saya berteriak di rumah sampai diomelin ibu saya saat Hastomo Arbi meraih poin penting dan kemudian memberi kita Pila Thomas.

Saya masih ingat saat itu, ketika sadar bahwa bakat sepakbola saya tidak sehebat Zico dan kemudian merasa bahwa kehebataan sang raja Liem Swie King lebih logis untuk saya coba raih. Saya masih ingat saat itu, ketika saya Ellyas Pical memenangkan gelar juara tinjunya, tiga hari kemudian saya memenangkan gelar tingkat kelurahan, hal yang tidak pernah saya raih bersama tim sepakbola saya. Seperti Aheng, saya ingat semuanya masa-masa yang saya rasa Anda sekurangnya pernah mendengarnya.

Seperti Garuda Di Dadaku, King adalah sebuah kisah fiksi tentang cita-cita seorang anak kecil yang ingin menjadi seperti idolanya. Tapi dalam King, saya melihat bagaimana negara ini di kemudian hari tertinggal dari negara lainnya. Karena saat melihat klub bulu tangkis PB Djarum, saya merasa seperti melihat klub-klub sepakbola hebat dunia seperti AC Milan, Real Madrid, Liverpool atau Boca Juniors. Dari klub yang berada di kota rokok itu banyak dilahirkan juara dunia yang sempat membuat kita semua bangga.....bahkan sampai hari ini. Nama-nama besar yang bagi saya layak disandingkan dengan nama-nama besar dunia olahraga seperti Pele, Maradonna, Carl Lewis, Michael Jordan atau Muhammad Ali sekalipun.

Saat Guntur sang tokoh utama memandangi foto-foto para legenda yang pernah besar bersama klub tersebut, ingatan saya membentang ke 4 tahun lalu saat saya berkunjung ke markas klub Ajax Amsterdam dan melihat foto para legenda mereka mulai dari era Johan Cruijff, Resenbrink sampai era terkini. 

Tidak seperti sepakbola yang bagi saya tak satupun pemainnya berhak jangankan dijajarkan dengan para legenda dunia, disamakan dengan Mardi Lestari saja rasanya kurang pantas. Maka saya memberi penghormatan tertinggi pada cabang olahraga yang pernah membuat penjaga perbatasan menjadi akrab dengan saya hanya karena ia adalah pengidola Ardy B Wiranata. 

Hari ini, hanya 4 hari setelah kegagaln total tim bulu tangkis di kejuaraan Indonesia Terbuka, King diluncurkan. Saya percaya kisah ini ataupun Garuda Di Dadaku bukan cuma tentang olahraga Indonesia, tapi juga tentang apa yang diharapkan oleh kita semua bangsa Indonesia.

Oiya, bayangkan di masa itu...di era orde baru. Seseorang beretnis Tionghoa bernama Tionghoa dan bermuka Tionghoa bisa menjadi idola di Indonesia, idola saya dan fotonya saya pajang besar-besar di kamar saat itu.

0 komentar: