7/2/09


"Pertandingan disini pagi banget ya?" saat itu belum pukul 11 pagi dan saya sudah harus berada di sebuah bus yang membawa saya menuju stadion City of Manchester "Karena ini partai derby, selalu terjadi kekerasan, jika menggunakan waktu normal sudah terlalu banyak supporter yang mabuk," ujar lelaki di depan saya yang mengaku pernah mampir ke Surabaya tersebut. Derby, adalah kata yang sangat "menakutkan" bagi pihak keamanan dimanapun di Eropa, di jenis pertandingan seperti ini petugas keamanan selalu berlipat, sayapun menjadi maklum jika kemudian di sepanjang jalan dari terminal Piccadilly menuju kandang The Citizen pihak keamanan berjubel menjaga. Mulai dari yang sekedar memegang pentungan atau berkuda, sampai yang bersenjata lengkap "Kami adalah musuh besar (Manchester) United, polisi sudah tahu itu," ujar lelaki tadi saat saya terkaget-kaget melihat antisipasi keamanan tersebut.

Inggris adalah bagian dari Eropa, kawasan yang sadar bahwa klub sepakbola adalah simbol harga diri, permainan kelas pekerja yang selalu rentan dengan kekerasan. "Sepakbola selalu menjadi lebih rumit jika lawan sudah hadir," ujar Friedrich Niestszche, filsuf tenar asal Jerman. Orang Eropa ataupun Amerika Latin yang memang berakar sama mungkin sudah paham betul pada kalimat ini, mereka sangat sadar akan kekuatan sepakbola yang berulang kali dijadikan simbol kekuatan masyarakat, kendaraan politik, alasan sebuah peperangan sampai menjadi alat revolusi. Kesadaran ini membuat mereka dengan sigap selalu mengantisipasi segala kemungkinan yang rutin terjadi di sepakbola.

"Sepakbola Indonesia tercoreng!" dan terpidanalah Aremania, Jakmania atau apapun itu nama kelompok supporter di Indonesia. Di setiap aksi kekerasan sepakbola di Indonesia, supporter klub atau klub itu sendiri adalah kambing hitam paling pas bagi pembenaran situasi carut marut kehidupan sosial kita. Ekonomi yang kacau balau, jarak antar kelas yang terlalu tajam sampai ke sikap materialis luar biasa yang ujung-ujungnya membuat orang kita biasa melakukan jalan pintas demi kekayaan.....korupsi!!!

"Pada dasarnya permainan ini adalah permainan masyarakat kelas pekerja," ujar Antony Sutton pria Inggris yang mencintai sepakbola Indonesia dan kini rajin menulis buat ESPN. Saya sudah menyaksikan sendiri kebenaran kalimat ini di tanah air sepakbola, Eropa. Di sana, bahkan penggemar sepakbola sendiri umumnya adalah kelas pekerja yang haus akan representasi identitas. Sepakbolalah yang memberi mereka identitas-identitas tersebut, entah itu bernama Juventus, Lazio, Liverpool atau Milwall.

Sayangnya bangsa kita lama hidup dalam cengkeraman dua periode pemerintahan yang selalu berkata bahwa pengaruh asing umumnya membawa dampak negatif, sembari mereka sendiri memberi kita mall, film-film Hollywood dan segala kemewahan artifisial itu. Kita selalu diminta untuk selalu menjunjung tinggi budaya lokal, padahal secara sistematis penggunaan bahasa daerah semakin mati di kota besar, tarian tradisional semakin dilupakan dan hanya diingat jika Malaysia sudah mulai mengklaimnya sebagai milik mereka.

  Sebagai individu kita memang selalu menghasilkan nama-nama luar biasa di berbagai bidang, namun sebagai bangsa kita ini sangat pandir. Kita terlalu terbiasa mencari kambing hitam dan pembenaran, nyaris tidak ada satupun sikap dari kita yang bisa menyebutkan bahwa "Sayalah yang bersalah," Jika kecelakaan kereta api terjadi, maka penjaga pintu keretanyalah yang ditendang keluar, padahal kekacauan sistem itu adalah kesalahan struktural yang dimulai dari menterinya, jika ada film jelek buatan lokal beredar maka masyarakatnyalah yang disebut tidak mengerti seni, atau lebih parah lagi jika kreativitas terhadang maka undang-undanglah yang disebut mengekang.

Situasi di Kediri 16 Januari 2008 lalu hanyalah salah satu gambaran potret masyarakat kita secara keseluruhan. Sudah sejak lama kita berhenti percaya pada sistem, sudah sejak lama kita diajarkan bahwa segala sesuatu terjadi akibat konspirasi dan parahnya sudah sejak lama kita berhenti percaya pada kebenaran. Kita selalu curiga bahwa tidak ada lagi yang jujur di negara ini, bahkan ketika Kurniawan dkk jadi bulan-bulanan Suriah 13 tahun lampau kita sibuk menuduh Suriah menggunakan pemain yang lebih tua dari batas maksimal pemain junior. Padahal jelas-jelas ras Arab memang berfisik lebih besar dari orang Asia Tenggara macam kita.

Aremania loncat ke dalam lapangan, memukuli wasit, merusak stadion dan mencoba membakarnya adalah gambaran bahwa kita memang sudah tidak percaya lagi pada apapun di negeri ini. Situasi yang sangat impulsif ini adalah sebuah kesimpulan dari masalah besar masyarakat ini, bukan cuma sepakbola. Lalu mengapa persoalan ini menjadi terlihat sangat besar? Mengapa sampai media-media berkelas nasional memajang foto mereka besar-besar dan sedang mengamuk? Kenapa media tidak berkonsentrasi saja pada kekerasan yang terjadi dan masih terus terjadi di arena Pilkada di daerah-daerah. Mengapa media seolah ingin berkata pada masyarakat bahwa "Sepakbola adalah sumber kekerasan," Padahal jelas-jelas para demonstran bayaran itu kerjaannya juga tidak lebih hebat dari sekedar merusak milik orang lain.

"Jika kami harus membakar White Hart Lane, itu hanya kami lakukan atas nama Arsenal," sergah Kevin, teman ngebir saya di London. Sepakbola adalah hidup, dan klub atau negara adalah simbol representasinya. Saat sang simbol diusik, wajar kekerasan akan terjadi demi membela harga diri. Bandingkan dengan orang-orang yang datang ke kantor KPU dan mengamuk karena calonnya tidak menang atau orang-orang dengan atribut agama yang datang ke tempat-tempat hiburan dan menghancurkannya.

"Saya tidak suka sepakbola karena terlalu sering terjadi kekerasan," ujar Heinrich pria asal Dortmund yang memilih volley sebagai olahraga favoritnya "Selalu terjadi kekerasan di setiap pertandingan sepakbola," ujarnya. Saya terheran-heran saat itu karena tidak pernah melihatnya di media, tapi lalu saya percaya padanya saat melihat sendiri orang Inggris saling berkelahi di Canary Wharfs London saat mereka sedang bersama-sama menyaksikan partai perdana timnasnya melawan Paraguay di Piala Dunia lalu. Keributan besar yang menghentikan acara nonton bareng dan akibatnya yang tergolong hebat, dua pintu masuk stasiun yang rusak berat dan kaca-kaca di perkantoran yang terkena sasaran amukan. Besoknya, tak ada satupun media menulis itu.

Siang itu di Manchester, United takluk di kandang City 3-1, pendukung (Manchester) City bersorak gembira, mereka berpesta di sepanjang jalan. Saya merasa tidak berhak untuk ikut berpesta karena saya adalah pencinta Persija, berjalanlah saya menjauh dari stadion dan layaknya turis membeli kaos-kaos anti (manchester) United. Jauh dari stadion, saya melihat polisi sedang mengamankan puluhan orang dan mengangkutnya ke dalam mobil mereka. Jumlahnya cukup banyak dan banyak pula dari mereka yang tampak sudah siap melakukan aksi kekerasan disitu.

Rabu lalu 16 Januari 2008, hanya satu hari setelah hari ulang tahun saya. Lewat media dan cerita banyak kawan, saya menemukan fakta bahwa keamanan sama sekali tidak ada di luar stadion padahal semua orang tahu permusuhan besar antara Arema dan Persik, seperti orang tahu permusuhan Liverpool dan Everton. Apakah sepakbola menjadi tidak penting? bisa jadi, sepakbola bagi kebanyakan kita (terutama masyarakat ibukota) menjadi penting di saat ada kekerasan dan segala turnamen di Eropa maupun Piala Dunia.

0 komentar: