8/12/09

"Andai saya 10 tahun lebih tua," gumam saya suatu hari di akhir era 80an. Itulah satu-satunya hari ketika saya berpikir bahwa saya terlalu muda dan tidak memiliki kesempatan menyasikan pentas Mastodon dan Burung Kondor karya seniman WS Rendra. Hari itu saya juga tidak terlalu memahami siapa lelaki dengan suara yang bagi saya terdengar cempreng itu. Sampai ketika ayah dan pakde saya mengajak saya yang masih sangat....sangat muda untuk menyaksikan Panembahan Reso yang sampai kini terus membekas di ingatan saya. Pentas dahsyat yang tidak hanya "memaksa" saya membawa bantal, tapi juga mencengangkan saya, lelaki yang bahkan lulus SD saja belum.

"Pakde kira kamu bakal ketiduran," ujar Pakde Hamid, salah satu kakak ayah saya yang jika ia kini masih hidup saya yakin akan bersedia menjadi produser film-film saya. Ia yang bagi saya merupakan sosok yang banyak memperkenalkan saya pada sinema maupun seni rupa (yang tetap saja saya tidak mengerti sampai hari ini) dan tentu saja ia mengenalkan saya pada RENDRA!

Perkenalan inilah yang kemudian membawa saya untuk ingin memahami seni peran. Walau tentu saja levelnya masih tingkat sekolahan dan menanjak dikit ke level RT. Panggung perlahan mulai saya jalani, sejak SMP hingga SMA....sampai akhirnya berkuliah dan ajaran penuh materi yang saya terima baik dari lingkungan maupun rumah membuat saya memilih Hubungan Internasional dan Jurnalistik sebagai bidang yang saya pilih di seleksi masuk universitas negeri.

"Orang-orang kayak kita pada mau kemana sih cup? Ujung-ujungnya juga kesitu-situ lagi kok," ujar Kamil Ahmad, teman SMA saya, teman sepanggung teater sembari menyerahkan formulir masuk jurusan teater IKJ. "Jadi seniman gak ada duitnya brur," jawab saya saat itu. Saya memegang formulir itu dan terus masih menyimpannya di hingga menjelang lulus kuliah Jurnalisti di Bandung dulu itu.

Dunia teater dan seni memang seolah terus memanggil saya, tapi entah mengapa saya memutuskan untuk tidak bergabung ke kelompok teater di kampus dulu, walau ketertarikan saya pada aksi-aksi mereka sebenarnya sangat besar. Bisa jadi karena panggilan untuk menonton yang di Jakarta, kampung halaman saya jauh lebih besar daripada menyaksikan pentas-pentas di kota kembang.

Panggung-panggung itu pun terus memanggil saya, tapi memang sampai taraf menyaksikan. Dan panggung milik WS Rendra adalah yang paling saya tunggu dan kejar. Bukan urusan pesan dan isi yang ia sampaikan, tapi saya justru selalu kagum pada bagaimana ia menyikapi situasi yang ia rasakan. Bagaimana ia merasakan apa yang ia rasakan sekaligus membaginya pada masyarakat. Beberapa kali saya menyalaminya, berfoto bersamanya bahkan sekedar meminta tanda tangannya.....tapi saya yakin, ia hingga akhir hayatnya pasti tidak kenal pada saya.

Bagi saya, ia terlalu besar dan sulit dibandingkan oleh siapapun yang saya tahu. Selamat jalan, semoga kehidupan di alam sana lebih membahagiakan....dan saya berharap bisa bertemu, berkenalan dan berdiskusi di alam sana, suatu hari nanti.

Dan ketika saya bertemu kembali dengan Kamil yang kini mengabdikan dirinya sebagai pengajar di sebuah SMA negeri tak jauh dari tempat kami bersekolah, saya mengingatkan dia pada kalimatnya dulu. Ia tersenyum "Pada akhirnya orang-orang kayak kita emang gak bisa kemana-mana kan cup?" katanya pak guru yang juga seniman foto ini.

0 komentar: