8/21/09


“…….dan saya akan beri kamu Optimus Prime dengan profil seperti nyata, lengkap dengan pertempuran di tengah kota,” ujar Michael Bay di sebuah kedai kopi saat ia tanpa sengaja bertemu dengan Steven Spielberg. Sekitar satu setengah tahun kemudian lahirlah Transformers yang pertama, karya yang saya anggap sangat monumental dan membuat mata saya terbelalak atas kehebatan teknologinya lengkap dengan segala aksinya. Sebegitu mudahnya? “Karena mereka hanya tinggal berkhayal dan uang akan tersedia,” demikian komentar saya pada segala film blockbuster belakangan ini yang terus dipenuhi animasi tingkat tinggi.

Dalam bentuk yang berbeda, saya dipukaukan oleh Terminator Salvation yang di sepanjang durasi filmnya terus membuat saya bergumam “Gua musti bikin sekuel keenamnya,” tak peduli saya bukan warga Hollywood dan sebagai filmmaker dari Asia Tenggara, saya musti realistis bahwa praktis baru Pang Brothers—yang malah dianggap orang Hongkong oleh masyarakat Thailand—yang sudah menembus Hollywood.

24 tahun lalu saat menonton Terminator, saya juga terus bergumam bahwa film seperti ini yang harus saya buat suatu hari nanti tanpa kemudian pernah berfikir akan menjadi seorang filmmaker. Bagi saya Terminator adalah sebuah ide brilian yang kemudian disempurnakan dengan budget jauh lebih besar di sekuelnya Terminator 2. Walau kemudian saya sangat menghormati karya John Mc Tiernan The Predator, bayangan Arnold Schwarzenegger dengan kacamatanya terus menguing di mata dan telinga saya.

Bagi saya, Terminator adalah contoh film action yang baik dengan pola penceritaan yang sangat standar……di masanya. Karakter baik yang ingin menyelamatkan sesuatu dari ancaman karakter jahat adalah pola umum yang berjalan lurus di nyaris semua film action yang saya pernah lihat di era 80an dan awal 90an. Tak terkecuali film action Indonesia yang umumnya memakai plot sangat sederhana, karena kemudian yang diinginkan film aksi adalah perkelahian, baku tembak dan darah…..maka cerita seolah menjadi bukan hal yang penting lagi.

Kemudian saya menyaksikan Year of The Dragon karya Michael Cimino. Sebuah karya berkelas yang saya pikir merupaka film aksi terbaik di masa itu dan kemudian saya sadari menjadi sebuah film aksi dengan plot cerita yang lebih rumit walau ujung-ujungnya juga aksi kekerasan dan baku tembak. Alur, subplot serta kekuatan karakter kemudian menjadi nilai tambah bagi kebanyakan film-film aksi di era pertengahan 90an hingga saat ini.

Saat semua orang memuja sebuah film aksi yang kini masih tayang di bioskop, saya menyebut sebagai film aksi terbaik namun bukan film yang baik, karena cerita menjadi nomer dua dan aksi menjadi hal yang diutamakan. Saya kemudian berkata pada teman-teman saya “Film aksi modern adalah film dengan kekuatan cerita utuh,”

Lalu Neil Blomkamp menegaskan pendapat saya lewat District 9. Kisah yang terus berkelok sampai pertengahan membuat saya bisa berkata bahwa inilah film aksi sebenarnya. Walau ketika Wikus pertama kali akan dipotong-potong saya sudah menduga kemana arah film akan berujung, saya dengan dua jempol terangkat memilih film ini sebagai film aksi terbaik saya tahun ini. Plot yang luar biasa, subplot yang sip, karakter yang kuat, alur yang komunikatif dan tentu saja darah serta aksi yang terus membuat saya tak henti bergumam menjadikan District 9 jauh lebih dahsyat daripada Transformers, Harry Potter serta berbagai blockbuster lainnya yang tentu didukung oleh studio-studio besar di Amerika.

Saat Hollywood menolak proposalnya, maka lelaki Afrika Selatan ini dibantu oleh Peter Jackson si sutradara dengan imajinasi liar untuk memujudkan filmnya yang bagi saya juga sangat liar ini. Tanpa dukungan studio besar di Amerika, Neil praktis mewujudkan mimpinya menuangkan kisah yang sudah ia tulis sejak beberapa tahun lalu ini dengan setting yang sebenarnya tidak banyak dan praktis sederhana.

Dengan cermat ia menertawakan negerinya sendiri yang sekian lama mendiskriminasikan kaum kulit hitam dengan representasi para alien yang ditampilkan seperti ras lain oleh manusia dalam filmnya ini. Film yang konon meraih box office  di Amerika Serikat ini dengan liar menyatiri situasi sosial, politis serta angka kekerasan dan kejahatan di negeri penyelenggara Piala Dunia 2010 ini dengan tegas. Bahkan darah yang terus memuncrat dari tubuh-tubuh yang pecah itu bagi saya adalah simbol bahwa pada saatnya, kezaliman harus dilawan dengan kekerasan dan diskriminasi adalah sebuah kezaliman absolut.

Neil memang tak pernah bercerita tentang mengapa para alien harus datang ke bumi, tapi itu memang tidak perlu. Dengan cara bercerita yang unik dan saya yakin ia siapkan dengan matang (tidak seperti Cloverfield yang mentah itu) Neil telah memberikan keabsolutan pada setiap karakternya bahkan subyeknya. Ia juga dengan prima menyajikan kerasnya Johannesburg  dengan  lugas dan kasar.

Imajinasi Neil memang menjadi termudahkan dengan uang yang tersedia dari Peter, tapi apa iya semudah itu? Saya yakin tidak, seperti banyak filmmaker baru yang ingin menunjukkan eksistensinya di peta sinema dunia, Neil menyuguhkan karyanya ini bukan dengan segala kemewahan. District 9 bukanlah sebuah kisah dongeng seperti kebanyakan cerita dengan genre sejenis, bagi saya ia adalah sebuah potret dokumentasi sosial dengan cara bertutur fiksi. Maka ketika tangan-tangan hitam di kota Johannesburg melambaikan tangannya pada pesawat induk yang berusaha kembali ke planetnya itu, saya seperti melihat lambaian tangan warga kulit hitam pada diskriminasi yang kini memang telah mati di selatan Afrika itu.

Jika Anda suka The Fly, Terminator Salvation, Alien Nation atau Rec  maka Anda wajib menonton film ini.

 

1 komentar:

Unknown said...

bang ucup selera gw kayaknya sama nih, lebih pilih film yang kuat alur ceritanya daripada film2 yg grafisnya keren sepertitransformer 2.
btw mnurut gw angels n demons is "my movie of the year so far ", klo mnurut lw gmana??