8/26/09


TERTULIS DI BOLAVAGANZA JULI “Anda aneh, tentu Anda bisa menyaksikan sepakbola di Singapura,” ujar Mahmoud Salim, supir taksi yang mengantar saya menuju kawasan perkantoran di Bukit Merah. Ia kemudian menjelaskan tentang ESPN, Star Sports dan beberapa saluran lokal yang biasa menyiarkan sepakbola di negeri singa. Tentu saja dua saluran televisi olahraga yang ia sebut itu dianggap biasa menyiarkan pertandingan sepakbola, tapi Mahmoud tidak menangkap maksud saya dengan jelas. 


Entah Bahasa Inggris saya yang payah atau sebaliknya Bahasa Inggris dialek Melayu miliknya yang membingungkan saya, pastinya ia tidak memahami pertanyaan saya—yang sampai saya ulang 3 kali—dalam sebuah kalimat tanya yang berarti “Di Singapura kalau mau nonton sepakbola semifinal Piala Konfederasi dimana (saluran) mana ya,? Dan itulah jawaban yang saya dapat. Malam itu, di hotel saya gagal menemukan saluran yang menyiarkan pertandingan semifinal Afrika Selatan vs Brasil, tidak di ESPN tidak juga Star Sports, apalagi di saluran TV lokal yang malah sedang live Wimbledon. Jadilah, streaming internet yang bisa saya lihat, itupun hanya di babak pertama. “Kamu benar-benar paham semuanya,” puji Michael Mandl, seorang musisi asal kota Regensburg FC yang mengaku tidak terlalu menyukai sepakbola. Sama seperti Maximilian kawannya, ia juga terheran-heran pada pengetahuan saya tentang informasi terkini klub-klub di Jerman atau Eropa. Dua warga kota yang hanya berjarak 125 km dari Muenchen ini semakin terkejut saat saya berkata bahwa saya akan nonton Bayern Muenchen vs Kaiserlautern di Olympia Stadion 1 hari setelah malam di Leurer Beutel itu, “Kamu pasti sudah gila,” ujar Max sembari menghentakkan birnya. 

Mari pulang ke Indonesia dan berikan pertanyaan itu pada siapapun yang Anda temui di jalan, atau sekurangnya kalau mau adil kita tanyakan pada supir taksi juga. Saya yakin saya akan mendapatkan jawaban yang memuaskan, nama dua stasiun televisi itu akan disebut dengan tegas, bahkan kalau perlu nama komentatornya. Itulah Indonesia, negeri saya, tempat dimana orang-orang tahu pasti jadwal pertandingan sepakbola dunia. Di Indonesia jangankan sekedar jadwal pertandingan, info terkini pemain Eropa, isu jual beli sampai bahkan nomer sepatu pemain normal diketahui oleh pencinta sepakbola. “Tim dari Jakarta main di London?” tanya Leonardo teman saya asal Italia saat saya menunda janji bertemu dengannya karena saya ingin menyaksikan Charlton Athletic vs Aston Villa. Saat akhirnya kami bertemu, ia sibuk menceritakan pengetahuan saya yang luar biasa tentang sepakbola di berbagai negara di Eropa dengan penuh antusias.  

Well…di negeri saya sendiri, orang seperti saya justru normal-normal saja, karena pengetahuan tentang sepakbola Eropa adalah hal yang sangat biasa. Bahkan ada sebagian masyarakat yang justru lebih paham tentang sepakbola Eropa daripada apa yang terjadi di negerinya sendiri. Seorang pendukung Aston Villa bisa perlu mengecek nama pemain yang menggunakan nomer punggung 14 dari Chelsea yang hanya dengan melihat larinya saja saya sudah tahu si pemain adalah Arjen Robben. Tapi itulah Eropa, disana fanatisme sangat bersifat lokal. Negeri-negeri adi daya sepakbola itu memang menganggap bahwa sepakbolanyalah yang terbesar di dunia. Jangan heran jika seorang Inggris bisa baru sadar bahwa Brasil sangat kuat saat Juninho pertama kali datang ke Inggris sekitar 14 tahun lalu. “Hanya negara dengan budaya sepakbola yang tinggi yang bisa menikmati film dokumentermu,” sembari melahap pizzanya, Francesco dari Roma berkata pada saya tentang film saya The Jak (2007) yang baru saja ia lihat di bioskop Muvez Mozi di kota Budapest. 

Maka disebutlah Italia dan Inggris “Bagaimana dengan Spanyol atau Jerman,” tanya saya, ia berpikir sebentar “Spanyol lumayan tapi Jerman kayaknya sih gak…” jawabnya yakin. Apa salah untuk lebih memuja liga asing ketimbang liga sendiri? Tentu tidak, Hongaria yang pernah saya singgahi delama hampir satu tahun memiliki kecenderungan yang sama dengan negeri kita. “Buat apa nonton liga Hongaria, paling-paling brantem….hooligannya banyak,” ujar Peter Toth saat tahu saya akan pergi menyaksikan sebuah partai liga lokal. Semakin terbelalak saat saya menyebut Riz, operator di rumah produksi kami “Riz itu hooligan, hati-hati!” Bandingkan dengan saat dengan begitu antusiasnya, ia menggalang semua rekan sekantor untuk nonton bareng final Liga Champions 2006, Barcelona – Arsenal. 

Apakah kemudian patriotisme mereka meluntur? (saya menghindari kata nasionalis, karena kata ini di Eropa berkonotas Naziisme) Tidak juga, karena stadion tetap ramai saat Norwegia bertandang ke Budapest. Walau kalah 0-5 di partai yang sangat berat sebelah itu, pendukung tim Magyar tetap mengibarkan bendera Merah Putih Hijau. Di Singapura saya menemukan masyarakat seperti terbelah, “Bangsa ini sendiri aslinya pendatang semua kok, apa salahnya kalau mereka jadi bagian dari kita?” komentar Zhang Wen Jie yang kini menjadi direktur festival film di Singapura. Baginya, keberadaan warga berkulit putih atau hitam tak hanya mengharumkan Singapura di dunia sepakbola, tapi juga membuktikan bahwa negerinya memang seragam.

Segala diskusi tentang rasa patriotisme pada negara yang terus meluncur di berbagai media sejak negerinya mendadak menjadi pesaing serius kekuatan mapan Asia Tenggara baginya tidak perlu terlalu diperdebatkan. Ia juga tak peduli saat mantan pemain nasional Sundramoorthy muncul di televisi dan meminta pemerintah untuk berfikir ulang pada isu naturalisasi yang sangat mudah itu “Toh mereka bermanfaat bagi negeri ini, warga Singapura butuh rasa cinta pada negaranya, olahraga bisa membantu mereka ke arah sana,” ujarnya sambil terengah-engah menyeka keringatnya di lapangan Tampines, tempat kami bermain sepakbola. Di mata dunia, Singapura adalah salah satu negeri mapan. Pendapatan per kapita mereka jauh melebihi kebanyakan negeri lain di kawasan ini, bahkan Asia lainnya. 

Tak usah heran jika pendatang dari berbagai bangsa terus datang untuk mencoba peruntungannya di sana. Seperti Hongkong, Singapura adalah gerbang dunia menuju Asia. Berbagai perusahaan multinasional berkantor regional di salah satu dari kedua negara ini. Situasi mereka yang mapan membuat olahraga di negeri itu juga menjadi mapan, dan sepakbola adalah satu diantaranya. Seperti kita, sebentar lagi mereka juga akan didatangi oleh tim papan atas asal Inggris. Jika Manchester United yang akan mampir ke Jakarta, maka Si Merah lain, Liverpool lah yang akan sowan ke negerinya Lee Hsien Liong itu. Sementara di negeri itu sama sekali tidak ada isu pelarangan pertandingan. Di Jakarta, stadion termegah milik bangsa itu dilarang digunakan untuk pertandingan sepakbola tapi malah diberikan pada para politisi untuk meraih kekuasaannya.  

Tetangga kita tidak punya isu sensitif soal pelarangan pertandingan liga nasional. Tentu ini tidak ada hubungannya dengan situasi politik mereka yang memang adem-adem saja. Tapi saya percaya bahwa hanya Indonesialah negara yang bisa melarang sebuah kompetisi saat pemilu berlangsung. Bahkan kompetisi di Togo atau Pantai Gading bisa terus berjalan saat perang saudara berlangsung. Jadi, jangan heran jika di Singapura hanya ada suara positif tentang kedatangan rutin tim elit asal Eropa. Berbanding terbalik dengan di Jakarta, saat tidak hanya antusiasme yang muncul, atau antusiasme yang kemudian berubah menjadi cercaan. 

Tapi juga sumpah serapah, bahkan ajakan untuk memboikot kehadiran Manchester United melawan Tim All Stars (ingat, mereka ini dipilih oleh SMS, jadi mereka bukan representasi terbaik negeri ini!!!) Kutipan milik Ferry Siagian yang saya ambil dari sebuah catatan yang terus menyebar di internet membuktikan bahwa pendukung tim nasional sebenarnya, justru merasa antipati terhadap kehadiran MU yang mereka sebut sebagai Mencret United.  

BERIKUT ADALAH CATATANNYA YANG TERMUAT DI BERBAGAI MEDIA VIRTUAL “Atas nama rumput stadion gelora bung karno,dan demi bangku2 yang sering saya duduki selagi menonton pertandingan PERSIJA ,dan pagar yang sering kami koyak-koyak ketika Bambang Pamungkas dkk membuat gol..saya bersumpah tak akan menyaksikan pertandingan tersebut,dan jika memang diharuskan untuk melakukan intimidasi maka saya akan melakukan hal tersebut.. hampir 1 bulan PERSIJA tidak diijinkan untuk melakukan pertandingan digelora bung karno,dimana stadion tersebut adalah home base dari PERSIJA sendiri,hal tersebut dikarenakan tidak mendapat ijin dari pihak yang dikatakan berwajib (A.C.A.B).bagaimana mungkin home base sendiri tidak bisa dipakai,dan bisa dipakai ketika club yang dibilang besar datang untuk melawan timnas..bangsat....”

1 komentar:

hedi said...

hahaha Indonesia memang negeri unik (dalam sepakbola), dari sudut apapun pasti bikin terkejut...jut...jut