8/28/09


TERPAJANG DI BOLAVAGANZA EDISI AGUSTUS “Negerimu membuat kami sadar bahwa sepakbola bukanlah apa yang belakangan kami pahami sebagai komoditi, merchandise, hiburan dan segala perlambang konsumerisme…..sepakbola adalah masalah harga diri dan kejayaan,” tulis Michal Karas, jurnalis asal Polandia yang kerap berkorespondensi dengan saya. Kalimat itu adalah bagian dari awal-awal emailnya beberapa hari setelah ia menyaksikan dokumenter tentang fanatisme milik saya, The Jak (2007) dan The Conductors (2008). Konon Mischa mencari nama saya dan kemudian segera mengirim email pada saya setelah menyaksikan The Jak di sebuah bioskop di kota Krakow. Ia pun menyebut saya “The Yusuf” hanya karena ia dan kawan-kawannya terpukau pada atmosfer luar biasa yang dipancarkan oleh penonton sepakbola Indonesia. Ia pun kemudian membuat thesis tentang sepakbola Indonesia setelah beberapa bulan kemudian menyaksikan The Conductors di sebuah festival di negeri tetangganya.  


“Saya baru membaca paragraf awal dari emailmu, tapi saya sudah merasa betapa bahagianya hidup di negara seperti Indonesia,” tulisnya saat ia mulai mewawancarai saya untuk thesisnya yang kurang lebih berjudul “Sepakbola dan Bagaimana Dunia Mencintainya,” ia kemudian juga mulai mencari satu persatu informasi tentang klub-klub di Indonesia dan bagaimana para pendukung terus meneriakkan nama mereka di hari-hari pertandingan. “That’s what we can call a country,” ujar Sebastian Alfie, filmmaker asal Argentina yang menetap di Spanyol. Ia terkejut saat saya bercerita tentang segala liga yang bisa kita tonton secara gratis di televisi “Praktis sulit bagi saya untuk menyaksikan Boca Juniors sejak pindah ke Madrid,” ujar pendukung Boca Juniors yang sedang berada di Jakarta saat bom teros merontokkan sebagian Ritz Carlton dan JW Marriot. Di malam itu Seba menyambangi saya yang sedang bekerja untuk VCSS, sebuah agensi berita yang bermaskar di Kairo. Ia berkeliling melihat keadaan, mulai dari bekas ledakan, pecahan kaca, masyarakat yang terus ramai di depan lokasi sampai pedagang asongan dan tukang ojek yang mengalami kenaikan pendapatan hari itu. 

“Jadi Manchester United tidak akan datang ke Indonesia,” saya mengangguk pada pertanyaan tersebut. Bagi saya kedatangan Setan Merah tidak terlalu relevan dengan apa yang terjadi di pagi hari itu, karena saat kota London digemparkan oleh ledakan bom yang terjadi berturut-turut, mereka tetap saja datang ke London 4 hari kemudian untuk menghadapi Arsenal. “Mengapa mereka harus tidak jadi datang?” tanya Seba lagi. Pertanyaan ini tentu harus dijawab sendiri oleh para petinggi klub sepakbola terkaya dunia versi majalah Forbes itu. Saya memandang Seba dan bertanya balik padanya “Kamu sendiri? Kenapa datang ke sini (lokasi), apa kamu tidak merasa takut?” dengan gesturenya yang khas Amerika Latin, Seba menjawab “Saat bom di stasiun Madrid meledak dan menewaskan lebih banyak orang dari Jakarta saya berada tak jauh dari lokasi, ketika Argentina dilanda resesi besar dan kerusuhan tiap saat, saya juga berada disitu dan merasakan betapa beratnya saat kami tidak bisa mengambil uang kami sendiri di ATM,” saya jadi teringat saat di babak kedua sebuah pertandingan Real Madrid, para pemain mendadak dipulangkan dan pertandingan di bubarkan. Saya juga teringat ketika televisi kita terus menyiarkan kekerasan dan kekacauan di Buenos Aires bertahun lampau “Intinya, dunia ini sama saja....dimanapun kita berada, bahkan New York juga tidak aman,” jawabnya sembari keheranan melihat pedagang mie di gerobak yang sedang memasak nasi goreng “It’s Indonesian fast food,” saya bilang.

“I’m an agent of chaos,” ujar karakter Joker dalam kisah action dahsyat Dark Knight. Joker adalah karakter teroris, karakter yang tidak menginginkan tatanan dunia menjadi sempurna, sosok yang ingin selalu menentang keamanan dan keteraturan menjadi ketidak aturan “Kenyamanan dan kekacauan hanya dibedakan oleh satu pijitan pada tombol,” ujarnya bahkan saat si jagoan Batman sedang berada dalam posisi yang lebih menguntungkan untuk membunuhnya. Sebelum diskotik di Bali diledakkan oleh bom pada tahun 2002, siapa pernah menyangka bahwa Indonesia adalah kawasan target teroris? Negeri kepulauan yang selalu disebut sebagai The Tropic of Emerald ini adalah sebuah kawasan yang baru terbuka setelah rontoknya rezim Orde Baru dan sanggup memberi rasa aman di kawasan yang praktis berukuran jauh lebih raksasa daripada negeri-negeri di Pasifik atau Karibia. 

Semuanya pun berubah saat Amrozi dkk dengan sukses menewaskan ratusan orang di diskotik yang dikhususkan oleh turis asing tersebut. Bom di Ritz Carlton meledak tepat satu hari menjelang kedatangan salah satu klub terbesar di dunia saat ini. Media internasional yang terus mengarahkan matanya pada tim bernama Manchester United ini tentu saja mau tak mau menuliskan kejadian memilukan di ibukota tersebut. Berbagai website sepakbola yang saya pastikan nyaris tidak pernah menyebut nama Indonesia, “terpaksa” mengaitkan pembatalan kedatangan Ryan Giggs dkk dengan ledakan bom yang memang menakutkan itu. “Jika Manchester United adalah pendukung demokrasi, HAM dan ingin ikut memerangai terorisme, mereka seharusnya tetap datang,” tegas Seba beberapa hari kemudian di sebuah warung kopi di kawasan Jakarta Selatan.  

Saya tersenyum pada komentarnya sembari kemudian menjelaskan betapa masalah kedatangan atau tidak datang ini hanyalah urusan bisnis semata. Dengan tidak datang, tim asal Old Trafford ini memang kehilangan kesempatan bertemu langsung dengan pasar mereka di Indonesia dan beberapa juta poundsterling yang bisa mereka tambahkan ke kocek mereka lewat beberapa rangkaian acara terpisah yang konon sudah terjual ke beberapa stasiun televisi yang berbeda. Wayne Rooney juga kehilangan kesempatan adu kemampuan main bulu tangkis melawan juara Olimpiade 2002 kita dan pastinya mereka juga kehilangan kesempatan untuk berkata “Budi belajar main bola di depan ribuan penggemar mereka,” sembari menikmati kerak telor atau nasi Padang yang mungkin kemudian membuat perut mereka jungkir balik.

Bandingkan dengan kehilangan kita. Sponsor tentu sudah kehilangan miliaran rupiah, ongkos produksi seri iklan TV komersial yang saya berani pastikan tidak dilakukan di Indonesia. Pihak penyelenggara yang di hari kami itu sedang sibuk menghitung alur pendapatan sekaligus memfinalisasi berbagai kontrak, tentu sedang setengah mati berpikir keras bagaimana mengembalikan uang penggemar yang sudah membeli tiket sekaligus kerugian-kerugian lain yang bisa jadi sangat panjang. Saya yakin Manchester United tidak mengembalikan match fee yang sudah mereka terima entah berbentuk uang muka ataupun bea penuh, karena mereka memang saya yakin memang tidak punya kewajiban untuk itu. 

Jadi, apakah mereka tidak kehilangan apa-apa? Harusnya tidak juga, tapi mari menganalisa dan berpikir sejenak tentang apa itu sepakbola seperti yang dikatakan oleh Mischa pada saya di awal tulisan ini. Pembatalan Setan Merah ke negeri ini bisa jadi “menyelamatkan” uang masyarakat negeri miskin ini untuk terbang ke kota Manchester. Kedatangan mereka tentu akan diimbasi dengan penjualan merchandise, hak siar yang dijual ketengan dan lain sebagainya. Walau kemudian teori saya tentang penjualan merchandise bisa gugur akibat kita memang lebih suka barang bajakan, tapi setidaknya ada uang yang akan diemut-emut oleh sebuah tim kaya dari negeri kaya dari hasil negeri miskin bernama Indonesia.  

Tapi, itulah kapitalisme….kadang kita memang tidak pernah merasakan bagaimana terjajahnya kita.

0 komentar: