9/25/09



Saya memandangi wajah-wajah itu. Saya memandangi ayah yang membesarkan saya berbicara di depan mereka, namanya Mohammad Nurul Hadi, hari itu ia berusia 57 tahun dan nyatanya kini ia sudah menjadi sesepuh di tempat ini….suka atau tidak suka.

Ingatan saya terlempar jauh ke 31 tahun lalu saat saya pertama datang ke daerah ini, saat itu saya, Pak Nurul dan ibu saya pindah ke sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah yang 4 tahun kemudian saya tempati. Pak Nurul masih cukup muda, usianya saja saat itu baru 26 tahun, bahkan secara angka ia beberapa tahun lebih muda dari saya sekarang. Saya masih ingat, ia masih rajin main sepakbola di sebuah lapangan di depan rumah kami dulu setelah sebelumnya tak jarang mengusir Kerbau yang meloncat ke lapangan dari sawah di sisinya. Malamnya Pak Nurul dan istrinya yang tentu saja ibu saya, menjelaskan pada saya tentang para pencari kodok di rawa yang letaknya berdempetan dengan sawah di depan rumah kami. Mereka berdua menemani saya dan menjawabi semua pertanyaan saya dengan rajin, berbagai pertanyaan yang kinipun saya lupa apa saja bentuknya.

Hanya 1 tahun berhadapan dengan lapangan sepakbola, sawah dan rawa…pembangunan kemudian menyulap tanah berair itu menjadi 2 buah sekolah dan rumah tempat tinggal. Kemudian pun saya menjadi lupa akses masuk satu-satunya menuju rumah kami itu, yang saya ingat hanya bahwa ongkos becak saat itu adalah 50 rupiah dari Pasar Cempaka Putih lengkap dengan putaran-putarannya.

3 tahun kemudian, setelah anggota keluarga bertambah di tahun 1979 “Karena kamu terus saja minta adik,” ujar ibu saya, kami pindah ke rumah yang terus ditempati oleh orang tua saya tempati sampai sekarang. Saya menghabiskan berbagai siang dan malam di rumah itu. Perkenalan sebenarnya dengan Budi Syahbudin, lelaki yang sempat menginspirasi saya tentang cita-cita saya dan apa yang sebenarnya harus saya lakukan di masa itu. Teman baik yang menemani saya kemanapun saya pergi di usia remaja dulu, mendorong saya untuk melakukan apa yang tidak terpikirkan untuk saya lakukan di masa itu.

Saya masih ingat bagaimana saya, Budi, Asep dan beberapa teman lain memanjat pintu stadion Senayan untuk menyaksikan pertandingan Persib-PSMS di final Perserikatan 24 tahun lalu, saat saya masih mudah takut pada keramaian karena tubuh saya yang tidak sebesar orang-orang lain. Saat saya dan Budi bersama-sama menyaksikan satu pergelaran drama ke pergelaran puisi lainnya antar panggung yang memperkenalkan kami pada kesastraan yang tadinya kami pikir hanya dunia alam mimpi.

Saat kemudian—seperti kebanyakan calon lulusan SMA—saya tidak mengerti harus memilih jurusan apa pendidikan lebih tinggi, saya melihat Budi yang muncul di pagar rumah saya setelah satu tahun menganggur dan hari itu adalah bulan keduanya menjadi mahasiswa “Jadi wartawan ‘sis! Dunia wartawan tuh luar biasa, lo cobain deh masuk kampus gue,” ujar Budi di pertengahan 1990 saat ia akhirnya berkuliah dan saya setahun kemudian harus memilih jurusan yang saya inginkan.

Lalu diterimalah saya di pilihan kedua saya, Jurnalistik Universitas Padjadjaran di tahun 1991. Jika di usia 1 tahun saya dan ibu saya menuju Jambi, kini saya meninggalkan Jakarta seorang diri untuk pertama kalinya. Sekali lagi Budi menemani saya, mengubek-ubek Bandung untuk menemukan tempat kost yang seperti saya pikirkan. “Jadi seperti ini kampus negeri yang lo banggain? Mana bisa wartawan handal lahir dari tempat kayak gini???” tawanya saat menemukan betapa kancutnya gedung kampus saya di Sekeloa, dibandingkan dengan kampusnya di Lenteng Agung.

Bertahun di Bandung, saya tidak pernah benar-benar kembali ke rumah, karena kemudian saya merasa terlalu dewasa untuk terus berada satu atap dengan kedua orang tua saya. “Mending loe cabut aja ‘wo, daripada brantem mlulu,” ujar Panji adik bungsu saya yang sampai hari ini selalu saya yakini paling mengerti apa yang saya pikirkan dan inginkan. Mulai dari coba tinggal di rumah susun sampai akhirnya menempati sebuah rumah di gang yang sama dengan kedua orang tua saya (yang sebenarnya rumah mereka juga sih hehehehe).

Di Rawamangun saya dilahirkan, mungkin 1 tahun pernah saya habiskan di Jambi dan Payakumbuh untuk kemudian tumbuh dan besar di Cempaka Putih. Saya melihat kawasan yang terus berubah, orang yang terus berganti. Teman-teman masa kanak-kanak yang perlahan berganti, berpindah tempat tinggal, orang tua kami yang satu persatu meninggalkan kami. Ayah-ayah atau ibu-ibu mereka yang satu persatu melambaikan tangan perpisahan.

 Sementara bayangan akan Pak Nurul, ayah saya yang dulu pemain sepakbola handal di RT masih terus ada di bayangan saya, lelaki yang setia menemani saya nonton film India kesukaan saya atau film-film Barry Prima aktor kesayangan saya, tak peduli ibu saya sudah melarang saya, karena saya dianggap kebanyakan nonton film. Pak Nurul yang saat awal-awal kali bertemu dengan celana cutbraynya selalu meletakkan saya di bagian depan motor Cbnya. Membelikan saya kaset Koes Plus kesayangan saya atau bahkan kue soes yang sampai hari masih saya suka.

Pak Nurul atau lelaki yang terus saya panggil “Papah” karena cintanya pada saya, kini sudah menjadi sesepuh RT, Budi Syahbudin yang pernah menginspirasi saya dan menemani saya mengenal WS Rendra kini telah tiada dan terpatrikan di pemakaman Tanah Kusir, saya tidak menemaninya di hari terakhirnya, tak hanya karena saya jauh, tapi juga karena saya entah mengapa selalu memiliki rasa tak nyaman saat menemani jenazah seseorang masuk ke liang akhir “Gue kangen abang,” tangis Dimas, teman kami, adik kecil, karena ia seusia adik pertama saya. Di lebaran ini kami kehilangan Budi untuk pertama kalinya, pemimpin tongkrongan di gang kami dalam kurun lebih dari 10 tahun belakangan, sumber utama kenikmatan sesaat serta narasumber yang tepat saat saya mengerjakan dokumenter tentang obat-obatan.

10 bulan saya terakhir tidak lagi tinggal di Cempaka Putih, pindah ke daerah lain yang harus Jakarta “Karena saya tidak mau menukar kewarganegaraan saya!” ujar saya pada Swastika atau “Kalau cuma mau ke Bekasi atau Tangerang atau Depok atau Bogor, mending kamu pulang lagi aja ke Padang, ke Jambi, ke Pekanbaru, ke Makassar, ke Banjarnegara, ke Pacitan atau kemana saja ke tempat nenek moyang kamu sebelum datang ke tanah ini,” ujar ibu saya, seorang Sumatera turunan Bugis, seorang pendatang sejati yang sampai hari ini masih menganggap Jakarta sebagai tanah Jawa, dan tanah Jawa adalah negeri orang lain, bukan negerinya.

Hari itu di hari lebaran, pertama kali bagi saya “pulang ke kampung halaman” saya di Cempaka Putih. Daerah dengan miliaran kenangan bagi saya, teman-teman lelaki sepermainan sepakbola atau voli, teman-teman wanita yang ternyata tak pernah henti mengagumi saya atau para orang tua yang ingin anak gadisnya saya pacari karena ibu saya seorang religius sejati dan papah saya putra kiai terkemuka di Banyumas, Masjid yang di bulan Ramadhan sering membuat jantung saya berdegup lebih kencang karena tambahan pengunjung berjilbab sering berbanding lurus dengan kecantikan dibalik kain putih itu, nyamuk-nyamuk yang kehilangan rumahnya akibat rawa yang telah terurug jadi perumahan dan tentu saja kenangan lainnya yang sulit saya lupakan.

Rumah pertama kami di ujung sana kini telah bertambah besar, tempat yang menjadi saksi perkenalan saya pada sepakbola. Saya memandangi rumah itu sebentar dan mengenang para tukang becak yang tidur persis di sebelah rumah. Atau para kondektur dari pangkalan Metro Mini depan rumah yang sibuk memacari pembantu rumah saya…..ah, Cempaka Putih selalu memicu kenangan saya.

Apa mending gue nulis memoar aja ya kayak si Orhan? 

1 komentar:

gloria natalia dolorosa said...

kisah lalu hidup lagi. manis..