10/13/09






Paulo Costa memandang lekat bola di kakinya, sejenak matanya mengubah focus pandangan ke dua-tiga lelaki sebaya dengannya yang berdiri tak jauh darinya. Remaja berusia 14 tahun itu mengangkat bola yang seolah melekat di kakinya dengan sangat ringan, ia bergerak cepat melewati hadangan lawan-lawannya dengan cara yang luar biasa. Menimang bola dengan pahanya, menginjaknya sampai membawanya berputar seperti kaki dan bola usang itu adalah dua organ yang tak terpisahkan.

Tak satupun yang sanggup menghentikan Paulo, geraknya sangat ringan, kecepatannya luar biasa. “Ia menikmati apa yang ia lakukan, hatinya hanya terfokus pada bola di kakinya, mereka yang dihadapi tidak terdapat dalam benaknya,” ujar Fernando Costa, ayah Paulo.

Fernando adalah tukang parkir di jalanan kota Rio de Janeiro, bersama Miranda ayahnya (yang berarti kakek dan Paulo) Fernando mengutip uang bagi siapa saja yang menggunakan jasanya memarkirkan kendaraan. “Paulo memiliki kaki penuh bakat seperti kakeknya, ia adalah pelaku Ginga (semacam gerak kaki khas Brasil) yang luar biasa,” jelas Fernando. Maka mulailah Miranda memraktekkan apa yang disebut oleh Fernando sebagai anugrah dari Tuhan pada sisa usianya yang semakin renta itu.

“Jika Tuhan memberi Paulo bakat berlebih, saya rasa yang harus ia terus jaga adalah bahwa bakat itu hanya bisa dikembangkan dengan kesenangan, tanpa kesenangan hidup hanya akan menjadi beban dan kita hanya akan menjadi budak keinginan,” ujar Miranda, seorang mantan pelaku Capoeira di pantai Copa Cabana bertahun lampau saat ia masih sangat muda.

“Saya lebih baik dari Ronaldinho sekalipun!” tegas Paulo menjelaskan tekadnya. Kecepatan kaki, insting serta senyum di wajahnya menegaskan hal tersebut, Paulo memiliki potensi sedahsyat Ronaldinho, seniman sepakbola asal Brasil yang selalu tersenyum di atas lapangan “Jika Ronaldinho sudah tidak lagi tersenyum di atas lapangan, itu berarti kreativitasnya sedang menemukan hambatan,” ujar Rikon Gunadharmada, penggila bola asal Jakarta.

Sepakbola adalah permainan yang menyenangkan, sesuatu yang dikerjakan dengan antusiasme besar untuk menikmati apa yang disebut permainan terindah di muka bumi. Berlari, melompat, melepas umpan sampai melepaskan tendangan adalah kegiatan mendasar dari permainan dengan bekal bola kulit ini. Kesenangan dan kebahagiaan saat memainkannya adalah cara terbaik untuk menikmatinya, sehingga sepakbola menjadi lebih indah seperti saat kita menikmati apa yang selalu kita sebut sebagai hidup.

Siang itu Paulo Costa berlari di atas lapangan sesungguhnya. Ia menjadi bagian dari remaja-remaja masa depan bagi tim Portuguesa, salah satu tim professional yang bermain di liga utama Brasil. Mengenakan rompi merah, Paulo bergerak lebih berat dari biasanya, wajahnya terus berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan diatas lapangan. Tak ada lagi keriangan dalam dirinya, cita-cita besar untuk mengeluarkan keluarganya dari favela (rumah kumuh) di kota Rio jauh lebih besar membebaninya daripada kenikmatan pada si bola bundar itu sendiri.

Paulo memang bergerak lincah, melewati satu-dua-tiga bahkan empat orang sekaligus. Tapi ia lupa bahwa esensi sepakbola bukan melulu kesendirian, rasa sosial dan kolektivitas adalah ajaran utama permainan ini. Seperti hidup yang menempa kita untuk terus berinteraksi, sepakbola juga meminta kita untuk tidak melakukannya sendirian, karena manusia memiliki keterbatasan….tidak seperti sepakbola dan hidup yang memang sangat luas itu.

Terik matahari Rio membakar kulit remaja-remaja yang datang dari penjuru kota Rio, bakat-bakat masa depan bagi sepakbola Brasil serta keindahan permainan itu di mata dunia. Mereka tampak tegang menatap si pemandu bakat yang siap membuka kalimatnya.

“Siang ini saya melihat bakat-bakat hebat kalian dengan bangga, bakat-bakat yang bisa jadi suatu hari akan mengenakan kemegahan warna kuning tim nasional kita,” ujar lelaki berusia 40-an itu. Wajah Paulo tertunduk, ia terlihat tegang dan berharap sangat cemas.

“Pilihan ini tidak hanya didasarkan pada kemampuan individu saja, karena pesepakbola yang baik adalah mereka yang berguna bagi timnya, orang yang mau berbagi bola, membuka serta memberi ruang bagi rekannya serta ingat pada falsafah permainan ini…kolektivitas,” maka disebutlah 4 nama yang menyisihkan 23 nama lainnya. Dalam satu kalimat pendek, si pemandu bakat menegaskan bahwa seperti hidup, sepakbola adalah sebuah situasi interaksional, hubungan antar manusia yang dikecilkan dalam sebuah lapangan berukuran 110 m x 90 m.

Dalam bus yang membawanya pulang, Paulo memandangi kota Rio yang sibuk, pipinya dibasahi oleh air mata yang perlahan mengalir, impiannya kandas. Bukan sekedar mimpi menjadi seorang pemain besar, impian melepaskan keluarganya dari himpitan ekonomi sekaligus keluar dari favela terpaksa runtuh. Cita-cita meneruskan apa yang dilakukan Roberto Carlos, Felipe Melo, Juan dan banyak nama lainnya pada keluarganya kandas sudah.

Paulo mungkin tidak sadar, ketika impiannya menjadi semakin besar dan harapan keluarga tersandang ke pundaknya, sepakbola menjadi tidak lagi menyenangkan. Kesenangan bersama si kulit bundar menghilang begitu saja berganti dengan keinginan untuk sekedar mempertontonkan kemampuan diri sekaligus memamerkannya.

*dari dokumenter Ginga, segment Paulo Costa.

Ditulis untuk Piala  Coca-Cola turnamen yang lebih membawa kita pada kesenangan

 

 

 

0 komentar: