1/10/10


Saya memanjat tubuh-tubuh yang terus bergerak di hadapan saya. Kaki saya menginjak mereka, tangan saya bahkan tanpa sengaja menghantam wajah seorang pemuda berusia sekitar 20 tahunan. Saya bergerak diatas tubuh-tubuh yang bagai kerasukan itu, saling menghantamkan tubuh mereka kesana dan kesini, beradu mengikuti kecepatan garukan gitar musisi yang sedang beraksi di atas panggung. Saat tubuh saya terjatuh, beberapa tangan menarik saya bangun dan mengajak saya kembali menghantamkan tubuh saya dengan keras kearah mereka. Sesekali kami menggerakkan kepala dengan tak kalah kerasnya. Seseorang diantara kerumunan itu mengucurkan darah segar dari hidungnya yang terhantam kepala seseorang lainnya.

Musik terus meraung dan kami terus bergerak. Inilah saat di kala kami hidup tanpa segala kerikatan dan aturan yang mengikat....norma yang kemudian membuat banyak dari kami menjadi cepat merasa tua dan berhenti berkeinginan. Keadaan yang sejak kecil mengajarkan kami pada sikap "Sekolah yang bener, naik kelas, kuliah negeri, IPK besar, lulus cumlaude, kerja, banyak duit, rumah gede, mobil bagus, istri cakep, mati masuk sorga," telah membuat banyak dari kami menjelma sebagai budak uang. Mesin yang hanya bisa digerakkan oleh uang dan tanpanya keinginan kami jadi seolah terhenti.

Band itu belum pernah saya lihat sebelumnya, karena panggung macam ini praktis telah cukup lama tidak saya mampiri. Tak satupun lagu yang mereka bawakan bisa saya kenali dengan baik, kecuali satu-dua kata yang menunjukkan bahwa antara mereka dan saya memiliki persamaan yang sangat sama "Kami anti jadi budak, bahkan oleh budak uang yang telah meninabobokan gagasan kawan-kawan kami," karena kami memilih untuk "Mati demi cita-cita yang hidup daripada hidup untuk cita-cita yang sudah mati,"

Malam itu di sebuah sudut Jakarta yang terus diguyur hujan. Di ruangan yang tak lebih besar dari ruangan kelas saat saya bersekolah di SMA dulu, terdapat sekitar 150an orang yang dipenuhi gairah. Mata-mata yang memancarkan gairah besar bahwa hidup hanya sekali dan kemapanan membuat kita lupa pada gairah itu.....norma yang ditanamkan pun bisa mematikan api gairah hidup kita.

Malam itu saya melihat beberapa band yang saya yakin tidak pernah mau tahu pada istilah "selebriti", jauh dari kata popularitas. Jika seorang frontman penampil utama bisa jualan merchandise band nya di depan pintu masuk tanpa gangguan penggemarnya, saya yakin.....orang-orang seperti inilah yang bisa mewarnai dunia seni modern.....para penonton yang tak peduli padanya (dan hanya membeli barang dagangannya) yang kemudian bagai liar bergerak kesana kesini, serta hafal setiap baris lirik yang ia nyanyikan.....saya menyebut mereka sebagai penggemar sejati, karena selalu ada batas tegas antara Karya dan Kehidupan Pribadi.


2 komentar:

Anonymous said...

Just subscribed to RSS feed of this nice blog, mbok yao tulisannya pake judul to mas :P.

Untitled semua nanti di feed saya. Tapi ya ndak papa, udah subscribe protes pula, cuekin aja emang saya lagi angot.

Andi said...

straight answer di Rossi ini ya?? :D