1/15/10

“In my country it’s impossible to have our President to open a film festival,” ujar saya terkagum-kagum sembari juga terheran-heran “Nothing is impossible in my country,” jawab Rashedul Hafiz yang sepert banyak orang Bangladesh selalu memiliki panggilan ala barat, Russel…demikian kami memanggilnya. Kekaguman saya adalah rentetan dari kekagetan beberapa menit sebelumnya saat tiba-tiba seseorang berpakaian jas lengkap dengan handy talkie meminta saya untuk menitipkan handphone dan kamera digital saku yang saya punya.
Pada awalnya saya kesal, karena rutinitas tweeting saya lewat blackberry milik saya tentu saja akan terganggu. Tapi saat kemudian melangkah ke gedung National Museum di kota Dhaka, ibukota Bangladesh tersebut, kekesalan ini berubah menjadi kekaguman. Bukan karena mereka memberikan saya handphone baru kamera baru yang lebih keren dan mahal, tapi karena sama sekali tidak ada penjagaan berlebihan yang saya lihat disitu. Bahkan…..sama sekali tak ada jalur jalan yang ditutup demi kepentingan sang Perdana Menteri, orang nomor satu di negeri itu.
Sore itu adalah pembukaan Dhaka International Film Festival yang ke 11. Sebuah festival yang sangat liliput jika dibandingkan dengan festival serupa di Pusan atau Tokyo. Bahkan bisa jadi hanyalah kuman jika coba diperbandingkan dengan yang pernah saya datangi di Berlin. Tapi festival ini kemudian jauh memberi saya kesan mendalam dalam 6 tahun usaha keras saya untuk bisa menjadi seorang filmmaker. Obrolan singkat yang jauh dari kesan dialog antara pemimpin sebuah negara dan seorang tamu asing memberi saya pengalaman yang saya rasa tidak bisa saya lupakan begitu saja. Sebuah kado ulang tahun yang luar biasa…….
“You have to be special to meet, talk or even being at the same room with my President,” kata saya lagi “You are special…..but in my country, everyone is special according to Mrs Hasina,” jawab Russel tersenyum menyebut nama pemimpin negerinya, yang terlihat sekali sangat ia dan seluruh warga Bangladesh yang ada di ruangan itu. Mereka yang terus merespon dengan rileksnya apapun perkataan yang keluar dari mulut Sheikh Hasina sang pemimpin….dan saya yang tidak mengerti satupun yang beliau ucapkan, menemukan rasa bahwa beberapa kali Mrs Hasina melakukan kesalahan penyebutan yang harus dibetulkan oleh tamu, yang direspon olehnya lewat celetukan lain.
Bangladesh adalah sebuah negeri dengan jumlah penduduk sekitar 163 juta jiwa yang nyaris seperempatnya mendiami ibukota Dhaka demi rejeki dan kehidupan yang lebih baik. “Our country is so poor, that’s why life is so tough for everyone,” jelas Russel dari atas becak yang membawa kami mengelilingi kota ini. Saya membuktikan betapa sulitnya hidup mereka untuk kemudian merasa bahwa di banyak tempat di negeri saya….kita tak kalah susahnya. Peminta-minta dimana-mana, sampah yang terus berserak, pedagang asongan yang berkeliaran, bau pesing di pinggir jalan sampai jalan yang luar biasa macet….lengkap dengan suara klakson yang terus berbunyi dari pagi sampai lewat tengah malam.

Setelah Budapest di Hongaria, saya kembali menemukan negeri yang sangat murah. Sebuah Coca-Cola yang berulang kali saya minum hanya berharga 15 Taka alias sekitar 1700 Rupiah. Makan siang saya yang porsinya dahsyat sekali hanya berharga 50 Taka alias hanya sekitar 8000 Rupiah. Inilah Dhaka, pusat dari kehidupan di Bangladesh, negeri ke sekian yang saya kunjungi. Kunjungan demi kunjungan yang kemudian membuat saya merasa bahwa Indonesia adalah negeri yang tak kalah hebatnya.

Jika saat di Eropa dulu saya merasa bahwa kita adalah negeri yang gagal mengurus dirinya sendiri, disini saya merasa bahwa kita bukanlah satu-satunya pesakitan di dunia. Setidaknya saya menemukan jauh lebih banyak kelas menengah atas ketimbang di Dhaka. Jumlah mobil yang sangat banyak di negeri ini sama sekali tidak mencerminkan ukuran jalanan mereka yang kalah jauh dibanding lebar ruas jalan di Jakarta misalnya. Mall terbaik mereka sama sekali tidak sebanding dengan Blok M Plaza atau Tunjungan Plaza sekalipun. Bahkan bioskop berkualitas dolby saya, baru mereka miliki 1 buah.

Di negeri sesulit inilah Sheikh Hasina memimpin, putri tertua dari 5 bersaudara keturunan Sheikh Mujibur Rahman, pendiri Bangladesh sekaligus Presiden pertama negeri itu. Di tangannya terletak jutaan orang yang terus mengais kehidupan di negeri dengan angka pengangguran yang sangat tinggi, orang-oran yang tidak berpendidikan yang bisa mencapai 70%. Negeri yang sering dilanda banjir, wabah sampai tingkat kepercayaan bangsa asing (seorang teman konon selalu menolak setiap diminta berangkat ke Dhaka) dan berbagai kesulitan hidup lainnya yang saya lihat sendiri mereka hadapi dengan senyum.
“Dia bilang negeri lo sama aja, susah dan miskin juga seperti kami,” Russel tersenyum menerjemahkan ucapan pedagang Teh Susu di toko miliknya. Saya tersenyum kecut meresponnya, Russel pun tertawa….ia juga membayangkan Indonesia yang sama sulitnya dengan mereka “Tentu dengan cara dan tingkat kesulitan yang berbeda, karena kalian pernah punya Sukarno seperti kami pernah memiliki Sheikh Habibur Rahman,” ujarnya. “We love Sukarno….he’s much better than anyone in Asia on his era,” sahut Abdul, teman kuliah Russel sembari menikmati Fuska miliknya.

2 komentar:

hedi said...

makanya gw ga mau ngeluh terus soal Indonesia, Cup...semua negara punya kesulitan sendiri, bahkan Jerman & Jepang yg segitu majunya jg dikeluhkan warganya -- tentu dalam kapasitas & level kesulitan yg berbeda :D

astrajingga said...

makanya kalo ngeluh bayar pajak. tuntut tuh uang lo supaya dipake dengan benar oleh pemerintah.

Jangan berenti ngeluh. Kalo semua orang berenti ngeluh, pemerintah/negara bakal mengira kalo semuanya baek-baek saja.