1/18/10

"Film Anda bagus, tapi akan lebih baik lagi jika Anda memotong beberapa bagian terutama sex dalam film Anda agar terlihat lebih pas bagi negeri kami," demikian bunyi email dari Ahmed Muztaba Jamal, Direktur Dhaka International Film Festival di Bangladesh. Dengan enteng saya menjawab "Di negeri saya juga dipotong kok, kebetulan dvd yang saya kirim itu memang versi penuhnya.....gimana kalo dipotong di Dhaka aja, karena kalian lebih tahu kebutuhannya," jawab saya pada email tersebut. Maka dimulailah dialog bagaimana memotong film ini sampai akhirnya panitia memutuskan untuk memutar Romeo Juliet dengan dvd seperti film-film lain yang akan ditayangkan di festival tersebut.

Festival pernah meminta saya untuk mengirimkan versi DVcam dari film ini yang kemudian dibatalkan (bisa jadi atas pertimbangan efisiensi festival). Tadinya saya kira dengan DVcam, panitia dan pihak sensor dari negara setempat akan lebih mudah melakukan pemotongan pada film tersebut. "Karena kami harus mendapatkan sertifikasi sensor dan akan dikenakan biaya untuk kegiatan ini," jelas Ahmed pada email-email selanjutnya.

Museum Nasional adalah tempat dimana pemutaran akan dilakukan. Lebih dari 300 orang duduk disana siap menunggu film ketiga saya (karya fiksi pertama) ditayangkan. "Kami memakai dvd yang belum dipotong, nanti kamu duduk dekat proyektor saat akan ada adegan yang harus ditutup dengan plastik dan tolong tutup ya," ujar Ahmed pada saya. Tentu saja saya mengiyakan karena akan sangat tidak sopan jika saya berkata tidak pada urusan tutup menutup itu. Masalahnya.....saya memulai semua ini dari menonton film dan di setiap penyelenggaraan JIFFEST (Jakarta International Film Festival) sejak penyelenggaraan pertama, saya rajin berteriak-teriak jika ada adegan dalam sebuah film ditutup dengan semena-mena oleh pihak festival (tentu atas permintaan LSF)

Saya memilih duduk di bangku penonton ketimbang duduk dekat-dekat dengan projectionist dan menonton lagi film saya "Untuk ke 458 kalinya," seloroh saya berulang kali. Lalu tibalah saat-saat menjelang saya harus mendatangi projectionist dan menutup adegan tersebut.....sendiri atau bisa minta tolong pada petugas. "Apa menurutmu saya harus menutup adegan itu?" tanya saya pada Russel yang mulai pandai berkata 'Anjing'--yang mengingatkannya pada nama sebuah restoran makanan Cina di Dhaka--sepanjang film. "Memang adegan apa?" tanyanya untuk kemudian saya jelaskan. Saat saya bilang "Kayak-kayak English Patient lha, ngens tapi pake pakaian lengkap kok," ia pun tersenyum dan bertanya "Lama gak?" dengan cepat saya jawab "Paling-paling 15 detik," ia pun tersenyum.

Maka pergilah saya ke toilet dan berlama-lama disana. Saya terus berada diluar menikmati Cha alias Teh Susu khas Bangladesh (yang sebenarnya sama dengan yang orang Sumatra biasa bikin, bedanya mereka lebih berani dalam porsi teh dan susunya) sampai menjelang film habis untuk mengambil bunga yang tadi diberikan oleh panitia saat saya memberi sambutan pada pemutaran perdana di Asia Selatan ini.

Saya melihat wajah Russel dan Robin kawannya, juga melihat wajah-wajah penonton lainnya termasuk beberapa tamu asing. Dengan enteng mereka berkata "Gak ada apa-apa kok, tidak akan mengganggu keamanan nasional lha kalo cuma begitu doang," senyum Russel dan Robin yang masing-masing adalah kawan filmmaker saya saat di Berlinale 2005 dan seorang Programmer di Stasiun TV Desh. Saya pun lega, sembari kembali teringat omelan dan makian saya dan kawan-kawan setiap ada adegan film yang ditutup oleh plastik buram atau apapun itu di JIFFEST.

5 komentar:

hedi said...

hehehe adegan apapun ga perlu sensor lah, biar penonton sendiri yg menilai.

Vita Viti Vutu said...

Aku udah nonton.. Uh, eneg banget sih nonton.. Adegan kekerana semua isinya, kecuali adalah beberapa adegan biasa... Udah gitu kata2 kasarnya itu2 mulu lagi, bosan tau!!.. Jadi ngebosinin, kalo isinya cuma berantem2am.. Masih bagus Green Street Hooligans, dramanya bagus.. Lah ini, Romeo & Juliet, haduh.. Bisa bikin yang lebih bagus ga?

Vita Viti Vutu said...

sorry, kekerasan maksudnya

Andibachtiar Yusuf said...

@vita
thx commentnya....tapi pretensi org bikin film beda2. terminator, predator atau bahkan filmnya jacky chan semua punya tujuan beda yg pasti gak sama
kalo mau dibandingin sama Green Street Hooligans kyknya gak pas d, film itu produksi hollywood dgn cara produksi dan tujuan yg beda

soal kata2 kasar dan kekerasan. anda ada dimana saja slama ini? bukannya dialog seperti itu sudah biasa di sekitar kita?
bukannya film2 hollywood jg penuh makian dll? bedanya mrk maki2 pake bhs inggris.

anyway, thx for the response and watching my work

astrajingga said...

sup, perasaan gue di Jiffest udah bisa liat memek sama puting bebas aja. Nggak tau kalo ngentot telanjang, pas kontol masuk memek apa masuk mulut, kayaknya film yang pake adegan ngentot kayak film keluaran Vivid atau private yang biasa lo tonton itu kagak bakal maen di Jiffest. Itu jiffest taon berapa masih pake plastik burem? Bukannya jaman masih bujang?