"Apa cita-citamu saat besar nanti?" tanya Linda pada Cahyono, "Apa saja, asal bukan jadi Cina," jawab lelaki berbentuk fisik sangat oriental dengan usia sebaya dengan Linda, sekitar 10-12 tahun. Inilah kalimat yang paling saya ingat sepanjang film Babi Buta Yang Ingin Terbang karya Edwin, teman baik saya yang pertama kali mempresentasikan karyanya ini di Pusan International Film Festival, Oktober 2008 lalu. Sebuah premis yang lantas mengingatkan saya pada sebuah kalimat yang keluar dari seorang teman kakak kelas Edwin di sebuah rumah makan saat ia menghisap membakar rokoknya setelah kami baru saja selesai makan siang, pecel lele di sebuah daerah di Jawa Tengah "Abis makan gak ngerokok, sama aja ditampol Cina tapi gak bales,"
Babi Buta adalah karya panjang perdana Edwin dan tentu saja kemudian menjadi berbeda dengan karya-karya pendeknya. Lewat durasi yang menembus angka 70 menit lebih, Edwin berusaha menjelaskan segala gagasannya lewat cerita yang tentu saja menjadi jauh lebih panjang dari semua film pendek yang biasa ia buat. Seperti Kara miliknya yang pernah dipresentasikan di Cannes, saya melihat Babi Buta sebagai karya yang memiliki muatan pesan sangat besar.....bahkan saat pertama kali Edwin menuliskannya ke dalam bentuk naskah.
Sayangnya saya tidak memiliki sentimen terhadap etnis apapun. Beberapa orang memang pernah menyebut saya sebagai rasis, tapi bukan karena saya membenci Cina, Arab, India atau lainnya, tapi karena saya sering menyebut Jawa sebagai lamban, Aceh sebagai malas, Makassar sebagai suka berkelahi, Bugis sebagai pemberani, Minang sebagai banyak gaya dan lain sebagainya. Walau kemudian saya sebenarnya memiliki akar sejarah darah yang kuat dari beberapa etnis yang saya sebut diatas.
Saya sempat besar di Sumatera dan di kawasan ini kami memperlakukan etnis Cina sama saja dengan siapapun. Tak jauh dari rumah nenek saya, seorang tukang tahu goreng berasal dari etnis ini, abang becak yang mengantarkan nenek saya jelas-jelas bermarga Liem....dan karena masalah etnis di Indonesia umumnya berasal dari masalah kelas sosial, maka saya sama sekali tidak pernah terganggu oleh sentimen etnis.
Saya menjadi kurang dekat dengan apa yang Edwin buat, tentu saya tidak akan menyebutnya sebagai karya yang tidak penting. Tapi berbeda dengan Edwin yang tampak sangat personal dengan karyanya kali ini, saya justru sangat jauh dengan apa yang saya lihat malam itu. Saya justru merasa terasing dalam sebuah dunia yang sebenarnya ada di dekat saya, karena kemudian saya memang hidup di Pulau Jawa yang memang memiliki sentimen etnis sangat besar. Masih terngiang di kepala saya kalimat dari mantan pacar saya dulu tentang komentar orang tuanya terhadap saya "Orangnya keliatannya baik, ganteng juga....tapi sayang Padang,"
Pilihan kata yang bagi saya tentu saja salah, karena Padang adalah kota dan Minang adalah etnis kami. Tentu saja sang orang tua masih berprasangka separuh pada saya, karena jika kemudian ia sadar bahwa saya juga adalah keturunan Bugis bisa jadi ia akan berpikir bahwa saya adalah tukang kawin alias siap beristri banyak.
"Tidak ada bangsa Indonesia, itu adalah harapan yang sangat utopis," ujar Hasan Tiro dalam sebuah tulisannya yang pernah saya baca. Tentu ia kemudian merujuk pada aksi-aksi kekerasan yang sering dilakukan mulai jaman Sukarno sampai Suharto terhadap segala bentuk pergolakan berbau etnis. "Sebuah bangsa adalah kesatuan dan mereka akan melakukan segala upaya damai untuk mencegah perang saudara, bukan sebaliknya," tegasnya lagi. Saya merasakan getaran saat membaca tulisan itu, getaran amarah....terhadap begitu banyaknya korban yang tercipta dari setiap aksi militer "dengan kedok" menciptakan perdamaian di wilayah luar Jawa itu.
Bagi kebanyakan kita, Hasan adalah seorang pemberontak besar, namun bagi masyarakatnya, ia adalah orang besar yang berupaya melepaskan diri mereka dari dominasi etnis tertentu di Nusantara ini. Indonesia adalah sebuah entitas yang lahir dari sedemikian banyak etnis.....lalu saya pun menjadi sangat terganggung jika bahkan standar sopan santu dan cara bicara kita saja harus disesuaikan dengan sebuah etnis yang kebetulan dominan di kawasan ini.
Babi Buta adalah karya panjang perdana Edwin dan tentu saja kemudian menjadi berbeda dengan karya-karya pendeknya. Lewat durasi yang menembus angka 70 menit lebih, Edwin berusaha menjelaskan segala gagasannya lewat cerita yang tentu saja menjadi jauh lebih panjang dari semua film pendek yang biasa ia buat. Seperti Kara miliknya yang pernah dipresentasikan di Cannes, saya melihat Babi Buta sebagai karya yang memiliki muatan pesan sangat besar.....bahkan saat pertama kali Edwin menuliskannya ke dalam bentuk naskah.
Sayangnya saya tidak memiliki sentimen terhadap etnis apapun. Beberapa orang memang pernah menyebut saya sebagai rasis, tapi bukan karena saya membenci Cina, Arab, India atau lainnya, tapi karena saya sering menyebut Jawa sebagai lamban, Aceh sebagai malas, Makassar sebagai suka berkelahi, Bugis sebagai pemberani, Minang sebagai banyak gaya dan lain sebagainya. Walau kemudian saya sebenarnya memiliki akar sejarah darah yang kuat dari beberapa etnis yang saya sebut diatas.
Saya sempat besar di Sumatera dan di kawasan ini kami memperlakukan etnis Cina sama saja dengan siapapun. Tak jauh dari rumah nenek saya, seorang tukang tahu goreng berasal dari etnis ini, abang becak yang mengantarkan nenek saya jelas-jelas bermarga Liem....dan karena masalah etnis di Indonesia umumnya berasal dari masalah kelas sosial, maka saya sama sekali tidak pernah terganggu oleh sentimen etnis.
Saya menjadi kurang dekat dengan apa yang Edwin buat, tentu saya tidak akan menyebutnya sebagai karya yang tidak penting. Tapi berbeda dengan Edwin yang tampak sangat personal dengan karyanya kali ini, saya justru sangat jauh dengan apa yang saya lihat malam itu. Saya justru merasa terasing dalam sebuah dunia yang sebenarnya ada di dekat saya, karena kemudian saya memang hidup di Pulau Jawa yang memang memiliki sentimen etnis sangat besar. Masih terngiang di kepala saya kalimat dari mantan pacar saya dulu tentang komentar orang tuanya terhadap saya "Orangnya keliatannya baik, ganteng juga....tapi sayang Padang,"
Pilihan kata yang bagi saya tentu saja salah, karena Padang adalah kota dan Minang adalah etnis kami. Tentu saja sang orang tua masih berprasangka separuh pada saya, karena jika kemudian ia sadar bahwa saya juga adalah keturunan Bugis bisa jadi ia akan berpikir bahwa saya adalah tukang kawin alias siap beristri banyak.
"Tidak ada bangsa Indonesia, itu adalah harapan yang sangat utopis," ujar Hasan Tiro dalam sebuah tulisannya yang pernah saya baca. Tentu ia kemudian merujuk pada aksi-aksi kekerasan yang sering dilakukan mulai jaman Sukarno sampai Suharto terhadap segala bentuk pergolakan berbau etnis. "Sebuah bangsa adalah kesatuan dan mereka akan melakukan segala upaya damai untuk mencegah perang saudara, bukan sebaliknya," tegasnya lagi. Saya merasakan getaran saat membaca tulisan itu, getaran amarah....terhadap begitu banyaknya korban yang tercipta dari setiap aksi militer "dengan kedok" menciptakan perdamaian di wilayah luar Jawa itu.
Bagi kebanyakan kita, Hasan adalah seorang pemberontak besar, namun bagi masyarakatnya, ia adalah orang besar yang berupaya melepaskan diri mereka dari dominasi etnis tertentu di Nusantara ini. Indonesia adalah sebuah entitas yang lahir dari sedemikian banyak etnis.....lalu saya pun menjadi sangat terganggung jika bahkan standar sopan santu dan cara bicara kita saja harus disesuaikan dengan sebuah etnis yang kebetulan dominan di kawasan ini.
0 komentar:
Post a Comment