Inilah pertandingan yang paling saya nanti-nantikan seumur hidup saya. Tanpa sadar, saya bagai kehilangan segala energi untuk melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya. Di kepala saya yang ada hanyalah “Indonesia yang bisa memenangkan pertandingan pertama,” Saya mungkin pernah menyaksikan berbagai partai besar kelas dunia, bahkan final Piala Dunia, namun saya belum pernah akan menyaksikan negeri saya sendiri di ajang dengan level setinggi Piala Asia.
Saya masih sangat ingat hari itu, Selasa dan saya sudah menegaskan dari seminggu sebelumnya bahwa saya tidak ingin melakukan apapun. Siang itu setelah melakukan sebuah transaksi di bank, saya, Bapuk, Mas Hari, Ipong dan Edmond bergerak menuju Senayan. Bendera merah putih pemberian Alesandro di Berlin kembali beraksi, satu bendera lain milik ibu saya saya pasang di kap depan mobil saya.
Di Hall Basket Senayan, saya melihat ribuan orang dengan pakaian merah siap memberi dukungan maksimal bagi Indonesia. Sore itu pula akhirnya saya memutuskan untuk bergabung bersama kelompok suporter dari berbagai daerah dan Jakarta. Saya ingin merasakan suasana hard core bersama mereka. Nyanyian tanpa henti dan wajah-wajah penuh semangat demi tim nasionalnya. Lalu, saya relakan perspektif stadion yang lebih nyaman seharga 75 ribu rupiah dengan sudut belakang gawang seharga 25 ribu rupiah.
Di dalam stadion saya melihat wajah-wajah penuh semangat, siap “membakar” Bung Karno dengan sorak sorai tanpa henti. Lagu kebangsaan yang sangat jarang kami senandungkan kini kami nyanyikan dengan lantang. Rasa kebangsaan tiba-tiba muncrat dari dalam dada ini, padahal dalam hidup sehari-hari saya selalu menyebut bahwa Indonesia adalah negeri terngehek di dunia.
“Orang hidup harus punya harapan, dan hari ini saya menemukan bahwa Indonesia masih bisa memberi kami harapan!” teriak saya pada Aldi yang menemui saya sekitar 25 menit setelah pertandingan. Saya bangga Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas mampu menuntaskan dahaga bangsa ini akan kemenangan berkelas.
Saya masih sangat ingat hari itu, Selasa dan saya sudah menegaskan dari seminggu sebelumnya bahwa saya tidak ingin melakukan apapun. Siang itu setelah melakukan sebuah transaksi di bank, saya, Bapuk, Mas Hari, Ipong dan Edmond bergerak menuju Senayan. Bendera merah putih pemberian Alesandro di Berlin kembali beraksi, satu bendera lain milik ibu saya saya pasang di kap depan mobil saya.
Di Hall Basket Senayan, saya melihat ribuan orang dengan pakaian merah siap memberi dukungan maksimal bagi Indonesia. Sore itu pula akhirnya saya memutuskan untuk bergabung bersama kelompok suporter dari berbagai daerah dan Jakarta. Saya ingin merasakan suasana hard core bersama mereka. Nyanyian tanpa henti dan wajah-wajah penuh semangat demi tim nasionalnya. Lalu, saya relakan perspektif stadion yang lebih nyaman seharga 75 ribu rupiah dengan sudut belakang gawang seharga 25 ribu rupiah.
Di dalam stadion saya melihat wajah-wajah penuh semangat, siap “membakar” Bung Karno dengan sorak sorai tanpa henti. Lagu kebangsaan yang sangat jarang kami senandungkan kini kami nyanyikan dengan lantang. Rasa kebangsaan tiba-tiba muncrat dari dalam dada ini, padahal dalam hidup sehari-hari saya selalu menyebut bahwa Indonesia adalah negeri terngehek di dunia.
“Orang hidup harus punya harapan, dan hari ini saya menemukan bahwa Indonesia masih bisa memberi kami harapan!” teriak saya pada Aldi yang menemui saya sekitar 25 menit setelah pertandingan. Saya bangga Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas mampu menuntaskan dahaga bangsa ini akan kemenangan berkelas.
0 komentar:
Post a Comment