'Tadinya saya kira hanya untuk film dokumenter, gak taunya kok masuk bioskop? Malah komersil" komentar seseorang yang sebaiknya tidak saya kutip saja namanya disini. Maksudnya apa? Apakah dokumenter haram untuk bisa masuk ke bioskop atau gedung pertunjukan resmi? Lalu, apakah dosa jika sebuah karya independen dan kebetulan genrenya dokumenter mengutip tiket masuk bagi para penikmatnya? Saya jadi kembali berusaha menerjemahkan lagi "Apa sih itu idealisme? Haruskah seseorang rela sengsara secara materiil dan moril akibat kata idealisme tadi?"

Bagi saya, dokumenter hanyalah genre dan ia sama saja dengan fiksi, animasi atau fiksi ilmiah. Bagi saya dokumenter tak ubahnya musik klasik yang memang punya citra 'membosankan', tapi itu salah siapa? Masak lagi-lagi mau salahkan Orde Baru yang menjadikan dokumenter sebagai sarana propaganda luar biasa di eranya? Apakah mau menyalahkan cara berpikir orang Indonesia yang terlalu Hollywood, padahal dari tanah industri film nomer satu itu juga lahir banyak dokumenter-dokumenter yang menyenangkan untuk dinikmati.
Lalu, apakah saya berdosa besar saat saya "meminta" orang membayar tiket untuk datang ke setiap acara pemutaran? Apakah ini yang namanya komersialisasi? Ah....saya tidak membuat karya sampah kok, banyak orang di negeri ini atau bahkan di dunia ini membuat sampah-sampah audio visual dan kemudian mengutip uang dari kita agar kita bisa menikmati sampah-sampah itu. Banyak orang sibuk meminta tiket gratis pada saya, selain karena mereka merasa saya temannya mereka kira bahwa dokumenter memang sebaiknya jangan dikomersilkan.
Sementara untuk mendapatkan pendidikan saja kita harus bayar, kok mendapatkan hiburan harus gratis? Apakah bukan lebih baik sebaliknya saja? Lagipula apa teman-teman saya kira dokumenter-dokumenter di televisi lokal dan produk lokal itu (yang kebetulan banyak yang membosankan itu) sifatnya non komersil? Apa mereka lupa bahwa produk-produk yang bisa dinikmati gratis itu menarik tarif juga dari para pemasang iklan dan para pemasang iklan inilah yang membayari mereka agar bisa menikmati tontonan-tontonan itu secara gratis. Gak gratis juga kan jadinya?

Saya dipersalahkan karena kemudian saya memindahkan fakta tanpa gincu ke ruang publik oleh sosok-sosok yang tadinya saya kira intelek, di kemudian waktu mereka juga mempersalahkan saya karena karena saya dianggap "mempermainkan" mereka di ruang editing. Terpikir di kepala ini, apa sebaiknya dulu saya bikin saja fiksi tentang 3 sosok ini lewat interpretasi saya sendiri, sehingga saya kemudian terhindar dari sebutan "penyebar kebencian". Saya pikir, apa saya yang bodoh atau orang-orang yang saya yakin punya gelar dan reputasi jauh lebih tinggi dari saya ini saja yang merasa diri saya hebat dan jadi eksklusif dan harus selalu tampil sebagai sosok-sosok yang baik, benar, berwibawa serta penuh gincu.
Bagi saya, dokumenter hanyalah genre dan ia sama saja dengan fiksi, animasi atau fiksi ilmiah. Bagi saya dokumenter tak ubahnya musik klasik yang memang punya citra 'membosankan', tapi itu salah siapa? Masak lagi-lagi mau salahkan Orde Baru yang menjadikan dokumenter sebagai sarana propaganda luar biasa di eranya? Apakah mau menyalahkan cara berpikir orang Indonesia yang terlalu Hollywood, padahal dari tanah industri film nomer satu itu juga lahir banyak dokumenter-dokumenter yang menyenangkan untuk dinikmati.
Lalu, apakah saya berdosa besar saat saya "meminta" orang membayar tiket untuk datang ke setiap acara pemutaran? Apakah ini yang namanya komersialisasi? Ah....saya tidak membuat karya sampah kok, banyak orang di negeri ini atau bahkan di dunia ini membuat sampah-sampah audio visual dan kemudian mengutip uang dari kita agar kita bisa menikmati sampah-sampah itu. Banyak orang sibuk meminta tiket gratis pada saya, selain karena mereka merasa saya temannya mereka kira bahwa dokumenter memang sebaiknya jangan dikomersilkan.
Sementara untuk mendapatkan pendidikan saja kita harus bayar, kok mendapatkan hiburan harus gratis? Apakah bukan lebih baik sebaliknya saja? Lagipula apa teman-teman saya kira dokumenter-dokumenter di televisi lokal dan produk lokal itu (yang kebetulan banyak yang membosankan itu) sifatnya non komersil? Apa mereka lupa bahwa produk-produk yang bisa dinikmati gratis itu menarik tarif juga dari para pemasang iklan dan para pemasang iklan inilah yang membayari mereka agar bisa menikmati tontonan-tontonan itu secara gratis. Gak gratis juga kan jadinya?
Saya dipersalahkan karena kemudian saya memindahkan fakta tanpa gincu ke ruang publik oleh sosok-sosok yang tadinya saya kira intelek, di kemudian waktu mereka juga mempersalahkan saya karena karena saya dianggap "mempermainkan" mereka di ruang editing. Terpikir di kepala ini, apa sebaiknya dulu saya bikin saja fiksi tentang 3 sosok ini lewat interpretasi saya sendiri, sehingga saya kemudian terhindar dari sebutan "penyebar kebencian". Saya pikir, apa saya yang bodoh atau orang-orang yang saya yakin punya gelar dan reputasi jauh lebih tinggi dari saya ini saja yang merasa diri saya hebat dan jadi eksklusif dan harus selalu tampil sebagai sosok-sosok yang baik, benar, berwibawa serta penuh gincu.
8 komentar:
Membuat karya idealis yang bagus lalu mensosialisasikannya secara komersil menurut saya bukan dosa. Saya percaya komersil yang dituju sama mas Yusuf lwt 2 film mas bukan komersil dlm bentuk uang dan popularitas tp krn mas ingin karya2 mas diapresiasi banyak orang dan punya posisi yg setara dgn film2 tanah air lainnya yg diputer di bioskop dan gedung pertunjukan. Saya yakin kalo komersil yg mas tuju adalah uang dan popularitas, mas ga akan bikin film dokumenter, tp bikin film horor yg ga jelas atau film komedi dewasa yg vulgar dan mengada-ada.
Orang2 yg menyematkan label “penyebar kebencian” itu kayaknya ga bisa secara dewasa dan terbuka melihat film mas sbg karya seni utuh yg berbicara dgn jujur, tulus dan nyata. Mereka mungkin lupa kalo dokumenter itu ga bisa direkayasa dan ga melulu merupakan alat propaganda yg bertujuan mendiskreditkan siapa pun/ pihak mana pun.
Maju terus mas! Aku selalu mendukungmu ;)
-lia.adhi@yahoo.co.uk- (lia adhi bukan lia set pro, hehehe)
PS: 2 minggu lalu saya ktm sm orng Itali kenalan saya, Roberto, yg ngakunya kenal sm mas Yusuf. Dia blng sih blm nonton TC, baru liat thriller’nya aja di lap top mas waktu Jiffest thn kmrn tp ajaibnya dia ksh banyak komen dan kritik yg sumpah pedes bgt. Dia titip salam, sukses selalu katanya.
halo lia,
jadi gak neh mau bantuin bikin subtitle prancis?
kok emailnya gak dibales2? di telp ke kantor katanya lg cuti nomer hapenya brapa?
biarin aje lha kritiknya signore roberto itu, lha dia blm ntn kok nekat2nya kasih komentar, baru liat trailer trus ngerasa udah ntn. trailernya kan cuma 8 menit :-D , buat gw....cuma yg udah ntn yg boleh ngritik, maki, muji, sebel dan yang laen. yang belon....nonton dulu dong .
cheers
yusuf
lo knapa sam ucup? Aremania mau beli tiketnya kok, udah lupakan saja komentar2 kayak begitu. Terlepas dari kekurangan di sana-sini, film dokumenter kayak begini masuk bioskop itu sangat luar biasa bagi ayas penggemar dokumenter. salut, dan sudah lupakan komentar2 kayak begitu. aremanita
Film apa sih ? kok sampe heboh gitu ?
saya penggila film2 bioskop, hampil semua film saya tonton ? emang film apa sih yg heboh tsb ? kok bisa2nya film dokumenter masuk gedung bioskop lagi.. film apa coba dan topiknya apa ?
lho kok ada aremania berkomentar ? ooo pasti dokumenter pas ada aremania memukul wasit di kediri kemarin itu yah ? setuju deh ! emang bagus kok adegan kemarin itu. bila perlu di sebar ke seluruh dunia, dikasih tuh suporter 2 di eropa, biar mereka bisa mencontoh, bagaimana seorang suporter memukul wasit, kan seru kalau wasit-wasit di eropa pada mampus kena tinju suporter
bagus bagus !
Khan yang namanya pasang tiket khan bukan cuman gara2 alasan komersil ato buat keuntungan semata2, siapa tahu itu untuk menutupi biaya produksi atau yg lain. Tapi alasannya mas ucup masuk akal juga kok, supaya orang bisa lebih apresiatif terhadap karya orang laen dan tidak asal nonton trus ditinggal bolak-balik.
di kampusku -universitas muhammadiyah yoyakarta- bahkan ketika credit title penonton ga beranjak juga dari kursinya ...credit title selese tepuk tangan lagi...wah wah...ciamiiikkk deh! klo orang2 nangis pas di akhir -lagu indonesia raya- saya nangis dari tengah -pas yuli naik podium mimpin aremania nyanyi-, hehe...untung gelap...and disebelahku ga ada orang...jadi air mata itu kubiarkan saja. ga tau gimana...tau-tau meler aja gitu...aneh ga sih? pokoknya abis nonton ini saya ga nyaman lagi menjalani hari tanpa kekuatan percaya...percaya klo suatu hari bangsa ini bisa berubah..melalui sepak bola, musik, film...dan saya percaya kalo KITA akan berusaha! keep rockin' mas ucup...
Post a Comment