Bangsa Tanpa Sepakbola
“Kemenangan 1-0 atas negeri dengan sejarah (sepakbola) yang kental seharusnya membuat kami kemudian mencintai permainan ini,” ujar Henry Kissinger mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sekaligus tokoh besar di neger Paman Sam. Tentu saja ia merujuk pada sensasi di Piala Dunia 1950 Brazil “Tapi saat itu kami adalah bangsa yang baru saja terbentuk dan sepakbola sangat Eropa, jika kami ingin menjadi Amerika maka kami harus bisa terlepas dari Eropa,” tegas Henry lagi, maka sejak saat itu ditinggalkanlah sepakbola oleh bangsa Amerika.
Bangsa Amerika datang dari berbagai latar belakang etnis di Eropa, Afrika dan kemudian Asia, secara sistematis mereka kemudian membentuk budayanya sendiri yang biasa kita sebut sebagai budaya pop. Tumbuh dari sesuatu yang sangat heterogen serta keinginan untuk “pergi” dari latar belakang Eropa yang sangat kental, orang Amerika kemudian seperti tercerabut dari akar budaya masa silam mereka.
Diciptakanlah American Football sebagai bentuk “perlawanan” terhadap Rugby dan Sepakbola, diciptakan pula Baseball untuk membedakan diri dengan Softball yang saat itu lebih ramai dimainkan di penjuru dunia. Semakin dipopulerkanlah permainan dalam ruang bernama Bola Basket demi menunjukkan ciri keAmerikaan. Pun ketika dunia juga keranjingan Bola Basket dan apapun yang mereka punya, orang Amerika kemudian mempunyai cara agar bisa berbeda dengan yang lain, misalnya lewat aturan main dan lain-lain.
Seperti apakah Amerika sekarang ini? Mereka memang memiliki hegemoninya sendiri dan seolah bertindak sebagai polisi dunia, tapi tahukah Anda seperti apakah pola pikir bangsa Amerika itu sendiri? Bahkan orang New York bisa tidak tahu dimana letak Chicago “Apa peduli orang New York terhadap letak Chicago?” sergah Michael Sheridan penduduk Boston. “Bahkan mereka bisa tidak tahu kalau British (orang Inggris) dan Australian (orang Australia) bicara bahasa Inggris,” ledek Jim (lewat pengalamannya sendiri) seorang teman asal Inggris serius.
Secara sistematis sepakbola dimatikan, liga nasional ditiadakan, permainan terindah ini tinggal bersemayam di sekolah-sekolah, pusat-pusat olahraga dan berbagai lahan olahraga lainnya. Liga Sepakbola Amerika Utara yang pernah memperkenalkan Pele atau Beckenbauer pun hanya berusia seumur jagung. Hanya dalam kurun waktu 30 tahunan setelah kemenangan atas Inggris di Piala Dunia, Amerika Serikat bagai lupa bagaimana caranya bermain sepakbola.
Namun, permainan 11 lawan 11 ini adalah symbol pergaulan dunia. Saat Jepang yang sudah memiliki seagalanya memutuskan untuk “mendalami” sepakbola agar bisa menjadi bagian dari pergaulan dunia, Amerika Serikat sang partner pun juga memikirkan hal yang sama. Lalu, Amerika yang digdaya yang paham betul bagaimana mengemas segala sesuatu agar bisa dijual kembali berpaling pada Sepakbola lewat Piala Dunia 1994.
Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini sanggup “mengisolir” dirinya pada dunia dengan baik. Juara NBA (National Basketball Association), MLB (Major League Baseball) atau NFL (National Football League) dengan lantang disebut sebagai Juara Dunia!!! Hanya karena merekalah yang memainkan permainan ini dengan cara dan aturan yang berbeda. Namun, pada akhirnya Paman Sam memang tidak melulu bisa lari dari kenyataan bahwa sepakbola adalah permainan sesungguhnya. Walau warga negeri tersebut masih saja tidak terlalu memahami keindahan sepakbola, namun tim nasional dan kompetisi yang dimiliki sudah mulai dipandang oleh kekuatan-kekuatan di kawasannya.
Sepakbola kita rusuh! Tentu saja, bahkan sepakbola di Eropa dan Amerika Latinpun kerap rusuh, karena sepakbola adalah olahraga kaum pekerja yang kemudian menerjemahkan tim yang dicintai sebagai identitas dan kebanggaan. Bedanya, di sepakbola kita tidak ada aturan yang benar-benar baku, tidak ada sesuatu yang patut ditakuti bahkan ketua yang (seharusnya) disegani pun hanya bisa ditemui setelah melewati penjagaan para sipir.
Pemerintah kita yang biasanya sibuk mengurusi masalah non olahraga tiba-tiba bagai kebakaran jenggot dan dengan lantang menyatakan “Kami siap menghentikan Liga sampai waktu yang tidak ditentukan,” Bayangkan jika ini benar-benar terjadi? Berapa juta orang yang akan kehilangan hiburan utamanya, berapa juta umat yang bagai kehilangan symbol yang setiap minggu menjadi tujuan hidupnya, atau kehidupan macam apa yang akan dijalani kebanyakan orang Indonesia yang pada dasarnya memang sudah tidak jelas identitasnya.
Amerika Serikat memang mampu menghapuskan sepakbola dari kehidupan mereka, namun mereka juga sanggup membentuk identitas baru bagi masyarakatnya. Bahkan ketika akhirnya mereka kembali berpaling pada permainan ini, secara umum orang Amerika tetap tidak kenal sepakbola secara utuh. Jika pemerintah benar-benar menghapuskan sepakbola dari tanah air, apakah mereka sudah siap dengan scenario mempopulerkan Sepak Takraw atau Bulu Tangkis sebagai bagian kehidupan kita misalnya.
Segala kerusuhan di dunia sepakbola selalu diawali dengan berbagai hal yang tidak saja terjadi di dalam lapangan, perkelahian antar pendukung bisa saja terjadi bahkan tanpa adanya pertandingan sepakbola. Sementara di negeri ini kita sibuk menyalahkan pendukung fanatik, maka di negeri orang mereka sibuk membenahi sistem keamanan, menyeimbangkan pasokan alcohol di bar-bar, semakin mempertegas aturan serta membenahi waktu pertandingan agar tidak rentan keributan.
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend
(kalo gak salah pernah dimuat di Top Skor edisi sekitar Februari 2008)
“Kemenangan 1-0 atas negeri dengan sejarah (sepakbola) yang kental seharusnya membuat kami kemudian mencintai permainan ini,” ujar Henry Kissinger mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sekaligus tokoh besar di neger Paman Sam. Tentu saja ia merujuk pada sensasi di Piala Dunia 1950 Brazil “Tapi saat itu kami adalah bangsa yang baru saja terbentuk dan sepakbola sangat Eropa, jika kami ingin menjadi Amerika maka kami harus bisa terlepas dari Eropa,” tegas Henry lagi, maka sejak saat itu ditinggalkanlah sepakbola oleh bangsa Amerika.
Bangsa Amerika datang dari berbagai latar belakang etnis di Eropa, Afrika dan kemudian Asia, secara sistematis mereka kemudian membentuk budayanya sendiri yang biasa kita sebut sebagai budaya pop. Tumbuh dari sesuatu yang sangat heterogen serta keinginan untuk “pergi” dari latar belakang Eropa yang sangat kental, orang Amerika kemudian seperti tercerabut dari akar budaya masa silam mereka.
Diciptakanlah American Football sebagai bentuk “perlawanan” terhadap Rugby dan Sepakbola, diciptakan pula Baseball untuk membedakan diri dengan Softball yang saat itu lebih ramai dimainkan di penjuru dunia. Semakin dipopulerkanlah permainan dalam ruang bernama Bola Basket demi menunjukkan ciri keAmerikaan. Pun ketika dunia juga keranjingan Bola Basket dan apapun yang mereka punya, orang Amerika kemudian mempunyai cara agar bisa berbeda dengan yang lain, misalnya lewat aturan main dan lain-lain.
Seperti apakah Amerika sekarang ini? Mereka memang memiliki hegemoninya sendiri dan seolah bertindak sebagai polisi dunia, tapi tahukah Anda seperti apakah pola pikir bangsa Amerika itu sendiri? Bahkan orang New York bisa tidak tahu dimana letak Chicago “Apa peduli orang New York terhadap letak Chicago?” sergah Michael Sheridan penduduk Boston. “Bahkan mereka bisa tidak tahu kalau British (orang Inggris) dan Australian (orang Australia) bicara bahasa Inggris,” ledek Jim (lewat pengalamannya sendiri) seorang teman asal Inggris serius.
Secara sistematis sepakbola dimatikan, liga nasional ditiadakan, permainan terindah ini tinggal bersemayam di sekolah-sekolah, pusat-pusat olahraga dan berbagai lahan olahraga lainnya. Liga Sepakbola Amerika Utara yang pernah memperkenalkan Pele atau Beckenbauer pun hanya berusia seumur jagung. Hanya dalam kurun waktu 30 tahunan setelah kemenangan atas Inggris di Piala Dunia, Amerika Serikat bagai lupa bagaimana caranya bermain sepakbola.
Namun, permainan 11 lawan 11 ini adalah symbol pergaulan dunia. Saat Jepang yang sudah memiliki seagalanya memutuskan untuk “mendalami” sepakbola agar bisa menjadi bagian dari pergaulan dunia, Amerika Serikat sang partner pun juga memikirkan hal yang sama. Lalu, Amerika yang digdaya yang paham betul bagaimana mengemas segala sesuatu agar bisa dijual kembali berpaling pada Sepakbola lewat Piala Dunia 1994.
Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini sanggup “mengisolir” dirinya pada dunia dengan baik. Juara NBA (National Basketball Association), MLB (Major League Baseball) atau NFL (National Football League) dengan lantang disebut sebagai Juara Dunia!!! Hanya karena merekalah yang memainkan permainan ini dengan cara dan aturan yang berbeda. Namun, pada akhirnya Paman Sam memang tidak melulu bisa lari dari kenyataan bahwa sepakbola adalah permainan sesungguhnya. Walau warga negeri tersebut masih saja tidak terlalu memahami keindahan sepakbola, namun tim nasional dan kompetisi yang dimiliki sudah mulai dipandang oleh kekuatan-kekuatan di kawasannya.
Sepakbola kita rusuh! Tentu saja, bahkan sepakbola di Eropa dan Amerika Latinpun kerap rusuh, karena sepakbola adalah olahraga kaum pekerja yang kemudian menerjemahkan tim yang dicintai sebagai identitas dan kebanggaan. Bedanya, di sepakbola kita tidak ada aturan yang benar-benar baku, tidak ada sesuatu yang patut ditakuti bahkan ketua yang (seharusnya) disegani pun hanya bisa ditemui setelah melewati penjagaan para sipir.
Pemerintah kita yang biasanya sibuk mengurusi masalah non olahraga tiba-tiba bagai kebakaran jenggot dan dengan lantang menyatakan “Kami siap menghentikan Liga sampai waktu yang tidak ditentukan,” Bayangkan jika ini benar-benar terjadi? Berapa juta orang yang akan kehilangan hiburan utamanya, berapa juta umat yang bagai kehilangan symbol yang setiap minggu menjadi tujuan hidupnya, atau kehidupan macam apa yang akan dijalani kebanyakan orang Indonesia yang pada dasarnya memang sudah tidak jelas identitasnya.
Amerika Serikat memang mampu menghapuskan sepakbola dari kehidupan mereka, namun mereka juga sanggup membentuk identitas baru bagi masyarakatnya. Bahkan ketika akhirnya mereka kembali berpaling pada permainan ini, secara umum orang Amerika tetap tidak kenal sepakbola secara utuh. Jika pemerintah benar-benar menghapuskan sepakbola dari tanah air, apakah mereka sudah siap dengan scenario mempopulerkan Sepak Takraw atau Bulu Tangkis sebagai bagian kehidupan kita misalnya.
Segala kerusuhan di dunia sepakbola selalu diawali dengan berbagai hal yang tidak saja terjadi di dalam lapangan, perkelahian antar pendukung bisa saja terjadi bahkan tanpa adanya pertandingan sepakbola. Sementara di negeri ini kita sibuk menyalahkan pendukung fanatik, maka di negeri orang mereka sibuk membenahi sistem keamanan, menyeimbangkan pasokan alcohol di bar-bar, semakin mempertegas aturan serta membenahi waktu pertandingan agar tidak rentan keributan.
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend
(kalo gak salah pernah dimuat di Top Skor edisi sekitar Februari 2008)
2 komentar:
Menarik sekali..
Semoga Indonesia bisa segera menjadi lebih baik.. :)
Amerika selalu saja ingin menjadikan dirinya sebagai yang tersuperpower, tetapi untuk urusan sepakbola rasanya perlu lebih banyak dikerahkan lagi sepasukan Robocop atau deretan para Superhero. Mereka harus mengakui kalau untuk menjadi juara dunia dalam hal sepakbola, perlu berguru lebih serius dengan budaya pop eropa atau gaya latin ala samba yang nyata-nyata kini berada jauh di atas mereka, apalagi melihat mereka memainkan sepakbola diatas lapangan American Football yang masih terlihat garis-garisnya, sungguh tak sedap dipandang mata, pun halnya dengan sepakbola di negeri ini, yang pada saat ini telah berada pada titik nadir, hal ini ditandai oleh kerusuhan-kerusuhan yang kerap kali terjadi, minimnya prestasi, bobroknya kepengurusan, tewasnya suporter dan masalah-masalah klasik yang terus melilit menjadi hantu rekayasa hingga berujung pada penantian palu Godam dari FIFA...
ihhh seram...
Post a Comment