7/14/08


"Football without supporters is life without sex," ujar Jock Stein, legenda sepakbola asal Skotlandia yang memahami betul arti pendukung dan penonton bagi timnya. Apalah arti sepakbola tanpa gemuruh dan sorak sorai penontonnya, bahkan industri itu sendiripun akan mati, apalagi yang selalu saya atau Eduardo Galeano sebut sebagai 'budaya baru umat manusia'. Tiga hari sudah Liga Super Indonesia berjalan dan saya melihat dengan jelas betapa Badan Liga Indonesia tidak terlalu memahami apa yang pernah dicetuskan oleh Jock bertahun silam.

Saya memahami bahwa untuk menjadi sebuah liga yang matang, kompetisi harus dikuti oleh tim-tim bermodal kuat, bisa dipertanggungjawabkan dan jika merunut tradisi di Inggris....maka sebuah klub sepakbola harus memiliki stadionnya sendiri. Tapi itu di Inggris, fondasi industri sepakbola mereka jauh melampaui kebudayaan kita sendiri. Manajemen sepakbola dan kompetisi profesional sudah mereka mulai saat Bung Karno masih berteriak-teriak soal nasionalisme dan Tan Malaka sibuk beradu debat dengan Sutan Sjahrir.

Lupakan bentuk ideal stadion yang tepat bagi klub peserta liga, yang terpenting adalah klub bisa mandiri dan tidak menetek pada pemerintah. Tiga hari sudah liga berjalan, dan saya menemukan Stadion Jalak Harupat yang sunyi senyap karena tim dari jauhlah yang datang menjadi tuan rumah.....atau Gelora Bung Karno yang bagai terlalu besar bagi nama besar PSMS yang mentereng di Medan atau Sumatera.

Hari ini saya melihat para Jakmania yang gagal berangkat hanya karena Badan Liga merasa bahwa pertandingan juga bisa ramai tanpa penonton. Bahkan Maradonna pun tidak akan pernah bisa besar tanpa pencinta sepakbola. Mengapa harus menyalahkan pendukung? Coba salahkan kesiapan perangkat pertandingan dan keamanan, karena sepakbola bukan sekedar permainan....sepakbola terlalu besar untuk hanya berdiri sendiri, terlalu banyak faktor yang membuat sepakbola jadi bernilai dan berharga atau sebaliknya ternista dan mati tanpa kemeriahan.

5 komentar:

percuma cakep klo ga lucu said...

kalo bole ikutan koment :
sepertinya mubadzir tv nasional nyiarin liga eropa bahkan piala eropa yang barusan usai. PSSI dan panitia lokal tidak siap meniru profesionalisme dan kesempurnaannya. terlalu megah kalo liga indonesia diberi titel Superliga sementara kinerja mulai dari induk sampai ke bawah masi berantakan. terlalu instant memang tapi inilah indonesia dan sepak bolanya.

hari Lazuardi said...

ISL cuma ganti logo doank... kelakuannya tambah parah..

arista budiyono said...

hehehehe bener bang hari cuma kaya pemilu aja, partai yang gak lolos pemilu kemarin pemilu besok, ganti nama. orang nya dan kelakuan itu itu aja padahal

malah ane sempat nulis di blog ane
soal lebih menjualnya kerusuhan dibanding hal 2 yang lain.
http://entah1982.blogspot.com/2008/07/kerusuhan-lebih-menjual.html

Anonymous said...

Ya memang susah ya kalau mengelola liga yang klub-klubnya masih "Semi-Profesional". Kalo boleh tau, di Klub Indonesia itu ada kayak "Board"-(Petinggi2 klub)nya ndak sih? Atau puncak Board-nya itu Walikota setempat?

Andibachtiar Yusuf said...

thx buat wiku yg udah blg liga indonesia udah semi pro. kelakuannya masih pada amatir lho, termasuk organisasi terbesarnya...cuma BLI yg sibuk niat baek skrg ini ;-)
btw, dah baca "Drama Itu Bernama Sepakbola"? keren! gw bener2 merasa terhormat bisa nulis kata pengantar disitu