10/14/08



Pusan memang bukan festival besar saya yang pertama, tapi Pusan adalah kota pertama Asia dengan sebuah festival besar. Saya memang pernah ke Singapore dan festivalnya, tapi bagi saya skala mereka tidaklah sebesar Pusan. Makanya saat mereka terus memberondong saya pertanyaan dan aneka ragam orang yang saya temui disana, saya merasa harus segera kembali ke kota itu.
Kotanya cukup indah, mengingatkan saya pada Barcelona, kombinasi pegunungan, pantai, laut dan tata kota yang apik. Saya menikmati Pusan bisa jadi juga saya orang Indonesia, bagi saya kehidupan dan gaya disana tak jauh beda seperti saat kita berjalan di beberapa penjuru kota besar di Indonesia. Yang paling membedakan tentu saja, disana saya tidak merasakan polusi seperti di Jakarta atau kota besar lain, bahkan di Seoul yang saya nikmati beberapa hari kemudianpun saya tidak mengalami hal itu.

Lalu saya berpikir, apa beda kita dengan mereka? Bentuk tubuh saja kita sudah nyaris sama, bahkan dalam banyak hal kita sama sekali tidak kalah. Bisa jadi bagaimana cara kita memandang hidup serta mengeksplorasinya yang tidak sama dengan mereka. Sementara mereka membiarkan imajinasi bergerak liar namun tetap menghargai apa yang bangsa mereka miliki, kita justru terkungkung sembari lupa bahwa kita ini juga punya identitas.

Di Korea saya tak hanya menemukan bahwa karya-karya dari Asia selalu memiliki cirinya sendiri yang tak akan mungkin bisa ditiru oleh Hollywood sekalipun. Entah itu milik Chris Martinez dari Philipina atau Semri Anriki dari Iran atau saya sekalipun yang ada di kategori generasi baru, atau nama-nama penuh legenda macam Tsui Hark dan Wong Kar Wai dari Hongkong atau Majid Majidi dari Iran yang melihat mereka saja saya sudah merasa lumpuh. Sinema Asia memang memiliki cirinya sendiri dan itulah yang terus saya coba perkenalkan pada mereka. Rasa lokal yang hanya bisa dibuat oleh orang lokal itu sendiri yang bahkan tak akan bisa dikerjakan oleh Steven Spielberg sekalipun jika ia ingin mendaur ulang Tutur Tinular misalnya.

Di sebuah malam di pinggir pantai, Edward Cabagnot seorang kawan lama asal Philipina berkata "Kita harus membuat sesuatu bersama!" dan Chris memberi respon, sama seperti saya yang selalu antusias untuk berkarya. Kami sepakat untuk membuat sesuatu dan peer kami bertiga adalah, menyelesaikan proyek kami masing-masing, mencari sekurangnya 2 sutradara asal Asia Tenggara lainnya (dari negara yang berbeda) dan kemudian merumuskan sesuatu di salah satu negeri kami. Kamipun berjanji untuk menghentakkan udara Asia Tenggara di awal 2010.

2 komentar:

arista budiyono said...

adakah engkau seperti "imigran" kita yang di jerman cup, dibuang dinegeri sendiri tapi berkiprah luar biasa di negeri orang... tapi semoga bisa 2 2 nya luar biasa, di dalem negeri Oke di luar oye

Anonymous said...

Bung ucup, saya kepingin melihat keindahan alam tropis Indonesia dalam sebuah film internasional.

Bisa kan?