2/12/10

"Do what you love and success will follow," ujar Rancho Ranchodas Chanchad, tokoh rekaan dalam film karya Rajkumar Hirani. Sebuah produk asal India yang memaksa saya untuk kembali mengenang masa kecil saya yang penuh kekaguman pada 3 sosok penting sinema India saat itu....Amitabh Bachchan, Dharmendra dan Shashi Kapoor. Tiga bintang yang setiap kehadiran filmnya di negeri ini selalu saya saksikan dan membuat saudara-saudara saya bilang "Anak kecil kok doyannya nonton film India?"

Saya mungkin tidak pernah benar-benar ingat kapan pertama kali menyaksikan film, tapi bayang-bayang sinema dalam bioskop pertama yang saya ingat adalah menonton Kabhi-Kabhie (1976) di sebuah bioskop di Jambi yang jika sesuai tahun rilisnya, maka saat itu saya masih berusia 2 tahun! Usia yang jauh lebih tua dari anak saya Abigail yang menyaksikan The Conductors (2007) pada usia 6 bulan dan American Gangster sebulan kemudian. Pada usia semuda itu, tentu saya tidak memahami betapa masyarakat perkotaan menganggap bahwa film India sangat norak, dipenuhi tari, rayuan atau perkelahian ala dagelan yang biasa dipertontonkan oleh Amjad Khan dkk.

Saya menyaksikan film India dimanapun saya berada, mulai dari Rivoli tak jauh dari rumah yang melegenda itu, hingga jika saya diajak orang tua saya bepergian...entah itu Jambi, Payakumbuh, Padang, Banjarnegara bahkan Wonosobo. Nama-nama itu melekat erat di kepala hingga suatu hari sinema India di Indonesia mendadak menjadi tertinggal. Film yang telah muncul 2-5 tahun sebelumnya tayang kembali di bioskop apapun itu di Indonesia. Saat itu saya mulai menginjak SMA, bioskop 21 mulai muncul dan saya ikut berpikir "Ah....film India sih isinya nyanyi doang," lupalah saya pada The Burning Train yang dahsyat itu, film yg memperkenalkan saya pada Vinod Khanna, ayah dari Rahul Khana si VJ MTV itu.

Sampai kemudian muncul Amir Khan dan Shakhrukh Khan saya masih belum kembali pada film India yang pernah membuat saya memajang poster Amitabh Bachchan di kamar saya dulu. Saya melewatkan Devdas, Laagan, Black dan banyak film lainnya hanya karena "Nyanyi doang ah....!" sampai suatu ketika saat Dhaka saya mendengar semua orang membicarakan 3 Idiots, kabarnya di Malaysia film yang sama menurunkan Avatar dari puncak pendapatan, kemudian saya mulai berpikir "3 Idiots adalah film pertama yang saya akan tonton setelah pulang dari festival film di Bangladesh,"

Maka dimulailah 3 jam penuh kekaguman pada sinema India. Bayangan kanak-kanak seperti kembali ke segala bentuk ingatan dan rasa kagum pada kemampuan bertutur mereka membuat saya merasa bahwa sinema India memang layak dihormati dan tak heran banyak dari mereka bekerja disini dan merasa bahwa kita berada jauh di belakang mereka. Tanpa segala pamer kemampuan teknis, 3 Idiots memberi saya kisah yang jauh lebih dahsyat dari Sherlock Holmes yang saya tonton 2 minggu sebelumnya.....jauh lebih berwarna dari Nine milik Rob Marshall yang saya saksikan beberapa hari kemudian. Bahkan juga melebihi Avatar yang sepertinya akan menggondol Oscar tahun ini.

Dengan segala kesederhanannya Rajkumar Hirani memilih untuk bercerita dengan cerdas, melakukan senda gurau bahkan memaksa kita menguras air mata dengan cara yang sangat brilian. Ia mampu memainkan setiap scene direction dengan caranya yang sangat apik. Rajkumar merasa tidak perlu untuk banyak bermain dengan segala tetek bengek teknis yang belakangan sering dipamerkan oleh Hollywood dan kemudian menular juga sampai ke Indonesia. Gambar-gambar yang ia hasilkan tidak lebih hebat dari yang biasa kita lihat di sinetron-sinetron di televisi, pergerakan kameranya pun sederhana, bahkan ilustrasi musik yang ia berikan pun serasa sama seperti saat saya tanpa sengaja menyaksikan Cinta Fitri misalnya......

Tapi kisah yang sangat membumi dengan segala kesederhanaannya disulap menjadi sebuah kedahsyatan oleh Rajkumar. Lokasi syuting yang berpanorama indah berhasil ia maksimalkan untuk membuat penonton bergumam "Gua musti pergi kesana," 3 Idiots kemudian bukan hanya sebuah maha karya yang luar biasa, ia juga sebuah film yang membuat saya merasa bahwa Menteri Pendidikan Nasional kita, tak peduli siapapun dia harus menyaksikan film ini. Sebuah tontonan yang wajib bagi para orang tua Indonesia, mereka yang bingung ingin menjadi apa dalam hidup.....atau bahkan orang-orang yang saat ini sedang mengelus perut mereka yang buncit di usia awal 40 dari balik meja kerja instansi pemerintahan.

3 Idiots adalah sebuah masterpiece sinema, tanpa perlu sibuk berfantasi atau berpamer teknik dan teknologi. Kesederhanaan yang membuat kita menjadi sangat dekat dengan apa yang ingin disampaikan oleh film ini.

6 komentar:

hedi said...

soal stigma nyanyi asal deket pilar dan pohon itu udah jaman, lha pelemnya yg masuk Indonesia gitu terus, padahal produksi Bollywood banyak yg keren dan baru masuk ke bioskop kita belakangan ini.

astrajingga said...

ah lo sok tau lo sup. Nonton tuh hundstag (Siedl), our daily bread, sweetmeat, dusan makavejev, WR: Mysteries of the Organismg, geyrhalter, unser taglich broch, kidlat tahimik perfumed nightmare, avi mograbi, emperor's naked army marches on.

Ah lu mah banyakan komersilnya...

Andibachtiar Yusuf said...

@astrajingga
hebat nya, tontonannya banyak. tapi gw kan ngecilin yg gw review ke film2 yg ada di bioskop doang. kalo mau bahas semua film, ya silakan aja. gw gak sehebat itu bisa nonton semua film yg ada di dunia....

dan kurun waktunya kan udah jelas banget. cuma di satu bulan itu aja.

astrajingga said...

Yang serius dikit ah, meluaskan wawasan, nonton topeng monyet, direview, apa bedanya yang pake uler sama yang pake anjing. Kenapa pake uler tambah 5000? Kenapa pake anjing nggak tambah? Apakah 'Sarimin sembahyang' termasuk penghinaan/penodaan agama? Lantas bagaimana dengan 'Sarimin jadi petani bawa cangkul'? Apakah ini tidak termasuk dalam penghinaan profesi tertentu dan diskriminatif?

Apakah menyamakan manusia dengan monyet termasuk penghinaan? Apakah Darwin menghina kita, manusia, menghina Tuhan Sang Pencipta manusia dan alam semesta, ataukah kita yang terlalu angkuh untuk melihat dengan jernih bahwa kita hanyalah spesies lain dari keluarga monyet-monyetan dan kera-keraan alias primata.

Apakah Tuhan menciptakan manusia dari monyet? Apakah Tuhan menciptakan manusia seperti cerita di kitab? Apakah manusia, keturunan monyet, yang menciptakan Tuhan?

Gitu, misalnya review tentang topeng monyet yang gue harapkan dari elu.

Capek gue nulis panjang-panjang, komen balasannya dari elu dikit. Gue udah nulis panjang-panjang dari jaman Viking vs Persija, polemik RomJul... ah... mana nih film baru lu?

astrajingga said...

singkat kata, film ini, sama avatar yang full teknologi dan fantasi dan fully budgeted and funded, bagus mana?

astrajingga said...

supaya lebih kompleks komparasinya, lebih bagus mana antara 3 idiots, avatar, sama topeng monyet?

Lebih ganteng mana elu apa monyet?