11/12/06

Bernd Schuster adalah seorang petualang sejati, ia dicintai dan dihargai di Spanyol. Atletico Madrid, Real Madrid dan Barcelona berturut-turut menganggapnya dewa. Kini giliran Getafe yang menganggapnya sang messias. "Matthaus, Klinsmann dll adalah generasi saya, bisa jadi saya adalah bagian dari juara dunia 1990," ujarnya beberapa waktu lalu. Schuster memang sang legenda, dipuja di negeri orang, tapi di negeri sendiri ia malah dianggap pembangkang. Ia dikucilkan dari lingkungan tim nasional karena sikapnya yang membangkang. Tim nasional Jerman menjauhi dirinya dan hanya mencatat namanya di Piala Eropa 1980. Tapi nama Schuster tetap dikenang sebagai seniman asal Jerman, el diablo bagi orang Spanyol sekaligus pemain terjenius di masanya.

Tentu saya tidak menganggap Hardline berdiri sejajar dengan Schuster, Hardline hanyalah film pendek berdurasi lima menit yang rajin sowan ke negeri orang. Siapapun yang melihat sangat mencintainya. Franz Beckenbauer bahkan sampai menghampiri saya dan menyalami saya "Saya tidak pernah menyangka Indonesia juga sama dengan kami (di Eropa)," lalu Gertjan Zuilhoff di katalog International Rotterdam Film Festival menulis "The most beautiful supporters's song ever recorded in video," Sukses di dua festival besar Eropa itu, Hardline sempat mampir ke Rio de Janeiro, Buenos Aires, New York dan berbagai kota lainnya.

Tentu bukan pujian itu ukuran untuk lalu berkata bahwa karya saya ini bisa sukses di tanah air. Nyatanya penghargaan Konfiden lari ke Joki Kecil yang saya akui memang lebih baik dari Hardline atau 60 Years yang sama-sama masuk nominasi film terbaik kategori dokumenter. Gagal sebagai pilihan juri, saya agak kecewa saat gagal di kategori pilihan penonton. Saya percaya lebih dari seratus Jakmania menyaksikan film saya dan semua saya jamin memilih Hardline, tapi nyatanya film yang saya sebut sebagai "filmnya anak Jak" ini gagal menuai kemenangan.

"Nanti saya akan bicara, saya yakin ada sesuatu," ujar Mirwan Andan, anak muda kritikus seni asal Makassar yang kini berdomisili di Jakarta. "Sesuatu?" pikir saya, wah....saya belum sekeren Teguh Karya atau SBY yang melulu coba dijegal orang. Yang terpikir oleh saya adalah, tidak semua Jakmania mengisi formulir pilihan pemirsa. Kenapa? Saya paparkan sedikit cerita ini.

Hari Rabu 8 November 2006 saat pemutaran di Teater Kecil TIM saya bertemu Irlan, karakter utama di film The Jak nanti. "Anak-anak banyak ngumpul di luar dan katanya malu mau masuk kesini," kisahnya. Saya jadi terkenang pada kejadian beberapa tahun lalu saat saya melihat empat anak kecil dan seorang usia tanggung (sekitar 17 tahun) yang tampak ragu berdiri di depan Mc Donald Cipulir. "Loe aja yang masuk, gue malu, pake sendal jepit," ujar si sekitar 17 tahun tak peduli mereka bersama sudah memegang uang 15 ribu rupiah (saat itu ice cream cone masih berharga 500 rupiah).

Mayoritas anak Jakmania adalah kaum marginal di Jakarta, mereka yang bisa dibilang terpinggirkan. Bahkan saat mereka memasuki pelataran Teater Kecil, Daniel Rudy seorang filmmaker berkomentar pada saya "Wah, loe mindahin stadion kesini (TIM) cup?" Lalu, malamnya seorang kawan (yang saya lupa siapa) berkata "Anak-anak tukang semir disini tadi pada nonton pas Hardline dipasang lho,"

Fakta ini tentu membuat saya bangga, sebaliknya saya jadi semakin yakin bahwa banyak dari mereka yang memang tidak mengisi formulir pemilihan. Alasannya sederhana, jika masuk ke tempat macam TIM saja mereka merasa "tidak nyaman" tentu saja mengisi polling adalah hal yang aneh bagi mereka. Jadi, saya pikir ada konspirasi untuk menjegal saya adalah hal yang sangat berlebihan. Apalah gunanya? Mending juga mikirin Slingshortfest di depan mata daripada menjegal Andibachtiar Yusuf yang namanya tidak dikenal ini. Di Jakarta saya kalah, bisa jadi ini untuk pertama kalinya di pemunculan resmi Hardline di kategori kompetisi. Toh kekecewaan saya sudah hilang, karena terlalu banyak hal yang harus saya kejar ke depan, merilis The Jak dan tentu saja menyiapkan produksi selanjutnya.

1 komentar:

Anonymous said...

Mirwan Andan tidak berlebihan. Bukan sesuatu yang bersifat konspirasi, tapi mungkin saja masalah administrasi yang kurang rapih.

Misalnya, pembagian form polling yang tidak menyentuh seluruh penonton. Atau form polling sudah dibagi rata tapi tidak disertai pulpen/pensil, padahal penonton jarang yang bawa alat tulis. Akhirnya mereka 'malas' mengisi atau memilih cepat2 pulang. Bisa saja toh?

Btw, jadi film apa yang keluar sebagai film pilihan penonton?

(tika)