8/27/07








Pele memeluk ayahnya yang masih terus menangis “Jangan bersedih ayah, nanti akan saya bawakan piala itu ke tanah Brasil,” ujarnya. Saat itu stadion Maracana yang disesaki 205.000 pendukung Brasil sepi bagai berhantu “Bahkan suara lalat pun bisa Anda dengar dalam keheningan seperti itu,” ujarnya Gama Rodrigues penyiar siaran langsung pertandingan penuh emosi tersebut. “Tanpa sadar, saat itu saya sampai mengucapkan ‘Uruguay mencetak gol’ sampai enam kali!” ujar Gama sembari menjelaskan enam ekspresi berbeda, mulai dari tanpa sadar, tak percaya sampai kecewa.

Hari itu 16 Juli 1950 dan 11 menit kemudian wasit George Reader asal Inggris meniupkan peluit panjangnya. Stadion Maracana yang sejak menit pertama disesaki oleh aura dukungan mendadak sunyi senyap. Teriakan, nyanyian dan berbagai tetabuhan yang tak henti dibunyikan mendadak bagai membisu ditelan sorak sorai 20 pemain dan ofisial tim Uruguay. Adalah Ghiggia nama lelaki asal Uruguay yang membuyarkan impian Brasil untuk menjadi juara dunia. Lebih dari itu lelaki yang kini berusia lebih dari tiga perempat abad ini seolah dinobatkan sebagai “mimpi buruk bangsa Brasil” sampai hari ini.

Gustavo adalah seorang filmmaker asal Brasil, ia sempat bersekolah di Amerika Serikat, berproduksi di sana dan bahkan berbahasa Inggris dengan cara Amerika. “Tapi saya tetap orang Brasil,” ujarnya saat tak percaya timnya takluk di tangan Perancis di babak perempat final Piala Dunia setahun yang lalu. Saat itu kejuaraan dunia masih berlangsung sampai 10 hari ke depan, namun lelaki kelahiran Rio ini sudah menyatakan bahwa Piala Dunia telah usai dan ia terus berkubang dalam duka.

Sepakbola adalah permainan terindah yang pernah tercipta di segala bentuk evolusi dunia. Di sepakbola manusia menemukan sekaligus melakukan banyak hal yang bisa jadi sulit dilihat dan temukan dalamm kehidupan sehari-hari. Saat bola dimainkan dan fanatisme menggelora, sepakbola adalah agama dan layaknya agama, segala sesuatu menjadi sangat irasional.

Yuli Soemphil tinggal di Malang, hidupnya sehari-hari dihabiskan untuk merawat burung peliharaanya, berjualan air mineral galon dan mendukung Arema. Ia sama sekali bukan orang berpunya apalagi kaya, setiap saya bertemu dengannya ia selalu mengungkapkan keinginan “Saya ingin bekerja dan menikah… tapi tetap cinta Arema,” Tempat tinggalnya berjarak sekitar 900 km dari Jakarta, sepadan dengan jarak London – Hamburg yang sudah dipisahkan laut itu.

8 Juli 2007, Yuli dan ratusan Aremania lainnya berangkat ke Jakarta dengan satu tekad, mendukung negaranya langsung di Stadion Bung Karno. “Saya membawa beberapa kaos untuk saya jual, uang itulah yang nanti saya akan gunakan untuk hidup di Jakarta,” ujar Yuli yang bagi saya layak disejajarkan dengan conductor orkestra kelas dunia.

Dari Makassar datang Uki Nugraha, yang kerap disebut Daeng Uki. Seperti mewakili Pulau Sulawesi ia terbang ke Jakarta dengan modal yang tak kalah pas-pasan. “Pulang urusan nanti, yang penting bisa ada di Jakarta dan mendukung merah putih,” tegasnya. Tentu saja tak hanya mereka yang datang demi Indonesia, ribuan lainnya datang dari Bandung, Solo, Yogya, Sleman, Surabaya, Pontianak, Samarinda sampai Medan atau Palembang. Semua datang dengan satu alasan “Memenuhi panggilan negara, mendukung Indonesia,”

“Setiap Inggris bermain tandang semua serentak ingin pergi, hanya satu alasan yang kami punya…karena kami orang Inggris,” ujar Antony Sutton selepas menghabiskan tetes terakhir di gelas birnya. “Seorang patriot akan selalu mendukung dimanapun negerinya bertarung dan di tempat jauh seperti Eropa Timur sekalipun setidaknya 4000 orang patriot britania siap membela tim nasionalnya,” tegas lelaki asal Inggris yang menolak sebutan nasionalis dengan alasan “Di Eropa kata nasionalisme selalu mengacu pada Naziisme,”

“Era modern menjadikan perang dengan senjata sebagai sesuatu yang barbar, masa kini mengenal sepakbola sebagai bentuk lain dari sebuah peperangan,” tulis Simon Kuper dalam sebuah bukunya. “Hanya di stadion sepakbola kita bisa melihat nasionalisme sesungguhnya,” tegas Zvonimir Boban mantan bintang Kroasia yang pernah menendang polisi Serbia yang bertindak berlebihan pada pendukung asal Kroasia.

“Orang hidup butuh harapan dan sepakbola selalu memberi harapan-harapan akan kejayaan,” ujar Eduardo Galeano, sastrawan asal Uruguay yang menyejajarkan permainan ini setara dengan seni lukis, musik, tari dan seni modern lainnya.

Olympia Berlin 30 Juni 2006, beberapa menit sebelum kick off Jerman – Argentina. Sebuah partai besar di babak perempat final Piala Dunia 2006, dua kekuatan besar yang siap bertemu di babak krusial turnamen terbesar di dunia. Saya duduk di sudut stadion bersama gerombolan besar pendukung albiceleste, bendera Argentina dipajang besar-besar dan tak henti dikibarkan, lagu nasional dinyanyikan dengan penuh semangat seakan pertempuran sebentar lagi akan dimulai.

Hari itu saya bersama Martin Tibauzo dan Leandro Waisbord, dua pria asal Argentina teman baik saya. Sore itu saya seolah tidak mengenal mereka, dua seniman periang dengan penuh karya dan ide tiba-tiba berubah total menjadi dua orang patriot. Di musim panas itu, Leandro memilih untuk bertelanjang dada dengan balutan bendera Argentina, sementara Martin memilih untuk mencoreng wajahnya sewarna dengan bendera Argentina yang juga direpresentasikan di kaos yang ia kenakan.

Mereka tak pernah berhenti bernyanyi, berteriak dan memaki. Wajah mereka tidak sekali dua kali berubah-ubah mengikuti kecepatan drama yang tersaji di atas lapangan. Lalu, ketika Argentina akhirnya takluk di tangan Jerman, kedua teman saya dan ribuan orang Argentina lainnya seolah terpaku tak percaya.

Hampir 30 menit setelah pertandingan mereka masih menerawang dengan linangan air mata, tak percaya pada lintasan nasib yang baru saja lewat “Argentina tim besar, tak mungkin kami kalah dari mereka,” tangis Martin. Bendera besar yang membaluti tubuh Leandro kini terkulai lemas di lengannya.

Setahun kemudian, saya dan jutaan orang Indonesia lainnya merasakan kepedihan yang sama. Harapan seolah terbuka saat Budi Sudarsono dkk mampu memukul Bahrain 2-1, nama Indonesia kami teriakkan sampai ke langit ketujuh, bendera merah putih yang biasa tersimpan kami kibarkan di penjuru tribun stadion, lambang negara Garuda kami puja setengah mati. Berbeda pada saat upacara 17 Agustus, upacara bendera di sekolah, apel pagi ataupun kegiatan berbau militer lainnya… kali ini kami melakukannya dengan ikhlas!

Stadion dan sepakbola adalah tempat di mana nasionalisme menemukan tempatnya. Pra Olimpiade 1076, Pra Piala Dunia 1986, SEA Games 1989, SEA Games 1996,Tiger Cup 2002 dan 2005……atau Korea Utara dan Selatan rutin bertemu di lapangan sepakbola demi persatuan, warga Pantai Gading melupakan perang saudara di negaranya saat Didier Drogba dkk lolos ke Jerman 2006, para penganggur di Argentina melupakan kemiskinan di negaranya karena sepakbola, Partai Buruh di Inggris dalam kampanye politiknya menyebut “Have you ever realised that the only cup we win was when England under the Labor Party,” atau pasukan El Salvador yang bergerak menuju perbatasan Honduras sehari setelah perkelahian di atas lapangan 25 tahun lampau.

Di Bung Karno, saya melihat Yuli, Uki dan puluhan ribu orang lainnya yang beramai-ramai membanjiri stadion demi satu kata, Indonesia. “Hanya sepakbola yang mampu membuat sebuah bangsa bersatu, melupakan kelas sosial mereka masing-masing,” tegas Martin menjelang kick off Jerman – Argentina.


Bolavaganza, edisi Agustus 2007

1 komentar:

Anonymous said...

aku bukan penggemar sepak bola, tapi aku membenarkan tulisan anda... dan tampaknya kekisruhan Indonesia tercermin dengan pertengkaran fans sepakbola.. andaikan timnas bisa banyak bertanding dgn tim luar negri mungkin kita bisa sjenak melupakan fanatisme daerah dan menjadi nasionalis... trima kasih :)