1/30/09


“Indonesia akan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022!!!” adalah berita yang menghiasi banyak media utama di tanah air. Selang 2 hari setelah itu, kawan saya Michal yang rajin mengupdate sebuah website sepakbola berbahasa Polandia mencoba mengonfirmasi berita ini pada saya. Salah sat upoin pertanyaan dia bahkan lebih bombastis lagi, bahwa kita akan bersatu dengan Jepang untuk menjadi tuan rumah bersama. Info yang ia sendiri tidak percaya tapi ia dapatkan dari sebuah surat kabar di negerinya, Polandia.

Saya dan Michal belum pernah bertemu, tapi kami beberapa kali menulis bersama tentang sepakbola. Saya memberi dia info tentang seperti apa negeri kita dan aura sepakbolanya yang dahsyat itu, saya juga menjelaskan sepanjang 23 halaman artikel tentang perjalanan panjang para supporter sepakbola di negeri ini. Mulai para Bonek yang dengan “gagah berani” menuju Jakarta hanya dengan bekal 15 ribu rupiah alias lebih sedikit dari 1 euro, sampai puluhan atau kadang ratusan kapal yang berlayar di laut Arafuru demi satu nama terkenal disana Persiter dari ternate.

Michal dengan penuh antusias mencoba mengonfirmasi berita ini dari saya dan seperti Obe kawan saya yang sangat antusias, Michal berkata pada emailnya “I hope I can live 13 years older to see with my own eyes the greatest football passion story that you told me,” Saya bangga pada keinginannya, seperti saya senang pada kalimatnya pada saat kami pertama kali berkenalan “Your film showed me that football is not about those stupid merchandise or business like what we have here in Europe,”

Tapi, cerita Indonesia mengajukan diri menjadi Piala Dunia 2022 bagi saya adalah lawakan paling tidak lucu di dekade ini. Saya skeptis? Tidak juga, saya selalu berkata pada Cemong dan Edmond kawan baik saya bahwa cita-cita terbesar saya adalah melihat tim nasional berlaga di Piala Dunia dan saya membuat dokumenter tentang perjalanan panjang para supporter yang saya yakin akan berangkat dengan Kapal Induk pinjaman (mungkin) dari Singapura, karena negeri yang garis pantainya terpanjang di dunia ini memang tidak punya kapal induk. Saya yakin, 2 kapal induk pinjaman itu akan membawa hampir 20 ribu orang Indonesia menuju Eropa atau benua Amerika atau bahkan ke belahan lain Asia untuk mendukung 23 lelaki dengan lambang Garuda di dadanya. Saya akan pergi bersama mereka untuk membuat dokumenter perjalanan luar biasa yang hanya pernah terjadi di masa Viking dan di masa kakek moyang saya Daeng Karaeng Patingaloang.

“Apakah kita akan pernah melihat negeri kita di Piala Dunia?” Tanya Edmond suatu ketika, “Rasanya sampai kita mati, tidak akan,” ujar seseorang teman yang saya lupa siapa. Apakah kami pesimis dan skeptis? Rasanya tidak, kami hanya realistis karena lagi-lagi “Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” dan hanya bangsa yang mampu menghargai hidup serta sepakbola saja yang memiliki kemampuan untuk mendorong negerinya pergi ke Piala Dunia.

Lalu mengapa kami harus realistis dan merasa bahwa lawakan norak ini seharusnya segera dihentikan? Saya yakin, kita tidak sendirian sebagai negara dengan format kompetisi yang terus berganti, tapi saya yakin hanya sedikit Negara yang kompetisinya jadwalnya tidak pernah pasti…..dan kita adalah salah satunya “Ada 154 pertandingan di putaran pertama dan 114 diantaranya berubah jadwal,” ujar seseorang dari pihak sponsor yang lebih baik namanya saya simpan saja. “Kita tidak pernah belajar, Liga kita tidak pernah tepat waktu,” ujar beberapa manajer tim Liga dengan nada yang berbeda-beda.

Kita juga bukan Negara kaya. Ingat saja, uang 100 ribu yang disebar setiap bulannya untuk orang-orang miskin masih terus saja menimbulkan korban jiwa karena mereka berebut, saling sikut dan saling injak. Jadi, dari mana uang itu akan kita dapatkan? Sponsor kah? Bisa jadi, APBN kah? Mungkin saja….tapi apa iya pihak swasta rela mempercayakan uang dengan jumlah luar biasa itu untuk mereka yang selalu saja mengubah jadwal dan bentuk dan aturan seenak maunya? Atau…apakah Negara kita sudah merasa bahwa gengsi jadi tuan rumah jauh lebih penting daripada merapikan sepakbola negeri itu sendiri?

Jepang dan Amerika Serikat sebelum menjadi tuan rumah Piala Dunia memang telah memulai kampanyenya dengan turun ke kejuaraan ini 4 tahun sebelum mereka akhirnya menyelenggarakan kejuaraan ini. Mereka turun sebagai tim yang gamang tapi tidak memalukan. Mereka datang dengan percaya diri dan sadar bahwa permainan terindah ini bisa dimainkan dengan kebahagiaan, strategi dan kepandaian. Mereka pun telah menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa jauh sebelum kejuaraan terbesar itu dilaksanakan di negeri mereka.

2022 memang masih13 tahun lagi dan mereka yang akan turun di kejuaraan itu kini masih berusia di kisaran 9-21 tahun. Maka siapakah orang Indonesia yang akan turun ke lapangan saat kita menjadi tuan rumah itu? Apakah Syamsir Alam dkk yang kini sedang bertapa ke Uruguay, atau justru nama-nama baru yang kini belum kita dengar sama sekali? Tak ada yang bisa menebak, karena program Primavera yang katanya akan menjadi landasan sepakbola Indonesia masa depan itu nyatanya hanya menghasilkan maksimal 4 pemain berkualitas dan hanya 1 yang bisa disebut konsisten.
Jadi…pantaskah kita menjadi tuan rumah Piala Dunia? Atau lebih sederhana lagi, bisakah kita lolos ke Piala Dunia 2018 sehingga saya dan ribuan orang Indonesia itu akan berada di Kapal Induk yang sama karena kebanyakan dari kami bukanlah orang berpunya yang sanggup naik pesawat yang mahal itu untuk tiba di negeri-negeri jauh demi Merah Putih? Lebih baik, kita jawab dulu pertanyaan itu, karena jika pun kita akhirnya terpilih, sanggupkah kita menjadi tuan rumah yang baik.

Jaka Baring, Si Jalak Harupat, Bung Karno, Maguwohardjo, Kanjuruhan dan Manahan adalah stadion-stadion yang layak untuk memperoleh kesempatan menyelenggarakan pertandingan kelas dunia seperti Piala Dunia. Tapi, pantaskah kita sendiri menyelenggarakan kejuaraan suci ini? Karena…sepakbola bukanlah sekedar permainan tapi adalah hidup itu sendiri.

“Football is not a continuation of life, rather….life is a continuation of football,” Ror Wolf

2 komentar:

Anonymous said...

Saya setuju dengan bang Ucup. Jadi tuan rumah Piala Dunia nggak cuma soal stadion, tapi juga tempat latihan bintang lima, transportasi, kesehatan, akomodasi, konsumsi, polusi dan hak publik lainnya. PSSI memang sudah kehilangan orientasi, bang. Tragis banget.

Anonymous said...

Tuan rumah World Cup 2022 is a big joke.
But, tuan rumah bersama Jepang ? Ha ha ha... that is a bigger joke. Dipikir Indonesia - Jepang = Indonesia - Timor Leste apa?
Knapa ga sekalian aja Indonesia - Brazil, arungi samudra sana.
Tapi gapapa lah. Orang asing ini yang bicara ya ? Mereka lebih tahu Bali daripada Indonesia. Huh, sebel.